13. Tiga Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku resmi berhenti mengandalkan Roy sebagai pelarian. Dia jauh lebih pantas untuk mendapat perempuan yang benar-benar menyayanginya. Dan kurasa aku juga pantas untuk bersanding dengan laki-laki yang benar-benar mencintaiku karena apa adanya aku, bukan karena merasa aku mirip dengan perempuan yang diinginkannya.

Seperti kata Mama, "Kalau perlu, cari yang lain lagi saja, Len. Pokoknya inget pesan Mama, kamu berhak bilang enggak. Mama cuma berusaha membukakan jalan, syukur-syukur kalau jodoh, kalau enggak ya cari saja yang lain."

"Yang jelas bukan Roy, Ma. Dia itu pria gagal move-on, Lena nggak mau lah dibanding-bandingin terus dengan mantannya," aduku.

"Kalau William?" Mama memang selalu bilang aku berhak bilang enggak, tapi entah kenapa setiap kali berbicara tentang laki-laki, pasti nama William diseret-seret.

"Dia juga kayaknya enggak, Ma. Semalam Lena tawarin makan di sini, dianya nolak tuh," kesalku. Nah lho? Kenapa aku malah kesal sendiri?

"Ah masa? Dia bilang apa waktu nolak kamu?" penasaran Mama.

"Katanya udah malam. Dia suruh aku istirahat aja," nadaku kuusahakan datar, tapi jariku tidak bisa mengelebui Mama karena gerakanku saat menggonta-ganti saluran televisi mendadak kasar. Seperti sedang menyalurkan kekesalan melalui setiap tombol remote.

"Yeee ... kamu kecewa ya?" tuduh Mama. "Kamu tahu nggak kenapa seseorang bisa kecewa? Itu karena adanya harapan. Kamu pasti berharap dia bersedia makan malam di sini kan?"

"Bukan gitu, Ma. Lena cuma ngerasa nggak enak aja, karena dia udah sengaja nungguin Lena siaran, tapi Lena malah biarin dia kelaparan. Lena jadi nggak enak hati," dalihku.

Mama lantas memperbaiki posisi duduknya agar lebih merapat pada tubuhku di sofa panjang. "Mama justru ngerasa dia pengertian banget lho, Len. Dia lebih mentingin waktu istirahat kamu daripada mentingin isi perutnya. Artinya, dia mendahulukan kamu, Lena."

"Susah ah, ngomong sama Mama! Pro William mulu!" gerutuku.

"Roy dan William sebenarnya sama-sama bagus sih, Len. Tapi entah kenapa Mama lebih suka William. Dia lulusan UI soalnya," lagi-lagi Mama membela William.

"Roy juga pinter kali, Ma. Lulusan Columbia University. Master lagi."

"Itu dia masalahnya, Len. Mama nggak suka sama anak-anak yang kuliah di luar. Gaya hidupnya kan beda. Takutnya nanti pas kamu udah nikah tiba-tiba ada perempuan datang bawa-bawa anak sambil minta pertanggungjawaban lagi. Kan repot."

"Ya ellah, Mama ... di Indonesia juga anak mudanya pada liar kali, Ma. Liat aja tuh, Gery." Ajaib! Aku bisa dengan mudah mengucapkan nama yang sudah beberapa bulan ini kuharamkan dalam hidupku, tanpa getir berlebihan di dalam dada. Sepertinya aku sudah memasuki fase move-on.

"Itu dia maksud Mama, Lena ... Mama nggak mau ah, kamu ketiban sial kayak sama Gery dulu. Roy sopan sih, tapi lihat deh rambutnya aja gondrong. Nggak kayak William, rambutnya pendek dan rapi." Mama dan jiwa marketing-nya.

"Kan daritadi juga Lena udah bilang sih, Ma ... bukan Roy orangnya. Jadi nggak usah dibahas lagi. Juga kayaknya bukan William, jadi berhentilah mengangung-angungkan dia," dumelku sambil konsisten menggonta-ganti siaran televisi. Dengan kasar.

Dumelanku kali ini tidak berbalas. Mama tiba-tiba bungkam seribu bahasa. Ada yang lain dari mimik wajahnya. Dia seperti sedang merenung, atau lebih tepatkah kusebut bersedih? Oh ayolah, Mama memang selalu sensitif, tapi tidak masuk akal kalau dia sampai se-baper ini hanya karena aku menolak memilih William kan?

Perlahan kuganti posisi dudukku merapat pada tubuh Mama. Kulingkarkan tanganku memenuhi pundaknya, lantas membuat gerakan naik-turun pada telapak tanganku yang beradu dengan pangkal lengannya.

"Mama sayang kamu, kamu tahu itu kan?" tanya Mama saat menimpa tanganku yang mengusap lembut pangkal lengannya, menyalurkan kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhku.

Aku meletakkan daguku pada pangkal lengannya yang lainnya dan mengangguk di sana.

"Perasaan Mama saat memilih kamu di panti asuhan dulu benar-benar kuat, Lena. Melihat kamu memilih untuk duduk sendiri di pinggir taman, tidak ikut berlari-larian dengan anak-anak lainnya, membuat Mama merasa kalau kamu perlu rumah untuk berlindung. Kamu perlu tempat untuk pulang. Dan Mama merasa kalau Mama pasti bisa menjadi tempat yang kamu andalkan ...."

Aku ikut menerawang mengikuti setiap kata yang dilafalkan Mama. Sejak dulu, aku memang lebih memilih sendiri karena ada perasaan tidak diinginkan, perasaan dibuang, perasaan tidak berarti yang memenuhi hatiku. Aku masih ingat jelas bagaimana peluh membasahi seluruh tubuhku saat aku sekuat tenaga mencari-cari sosok yang meninggalkanku di pasar malam, sebulan sebelum aku menjadi penghuni panti. Bahkan hingga pasar malam itu mulai sepi, aku masih saja berkeras pada penjaga gerbang taman itu untuk membiarkanku memutar sekali lagi untuk mencari sosok itu. Sekali lagi yang berakhir menjadi berkali-kali, hingga aku kehabisan tenaga dan pingsan di tempat.

Itu sebabnya aku benci berkeringat. Peluh itu hanya akan mengingatkanku pada perasaan sepi dan sendiri. Aku tidak ingat lagi sosok seperti apa yang telah tega meninggalkanku di keramaian itu, tapi aku masih ingat jelas bagaimana perasaan sakit karena dibuang. Tidak diinginkan.

"Mama merasakan hal sama, saat melihat William pertama kali, Lena ...." Ucapan Mama berhasil membuyarkan kenangan pahit itu. Saat Mama menolehkan wajahnya menghadapku, Mama melanjutkan, "Mama bisa merasakan perasaan William saat mencari kamu, seperti sedang mencari tempat untuk pulang ...."

**

Percakapan dari hati ke hati minggu lalu dengan Mama, berakhir pada persetujuanku untuk bertemu kembali dengan William. Aku bisa berkeras pada apapun yang menjadi keinginanku di muka bumi ini, selain membantah Mama.

Dia sudah lebih daripada seorang malaikat pelindung untukku. Tidak pernah sekalipun aku merasa hanya seorang anak pungut yang tidak berarti di depan Mama. Kasih sayangnya overload, membuatku merasa tidak bisa membalasnya dengan nyawaku sekalipun.

Pernikahan konyol ini ... tidak sebanding dengan semua kasih sayang Papa dan Mama.

Maka di sinilah aku sekarang. Duduk berseberangan dengan William di tempat yang sama dengan pertama kali aku bertemu dengannya lagi di Jakarta; coffeeshop di gedung perkantoranku.

"Kata Mama kamu sudah sejak lama kamu datang sendiri ke rumahku untuk meminangku, betul?"

William mengangguk, "Tante Lidya awalnya menolak, masih terlalu cepat, katanya."

Kepalaku langsung pening. Jawaban dari kalimat-kalimat pendeknya sama sekali tidak menjawab kenapa dia ingin meminangku, kenapa dia senekat itu, kenapa dia bisa sampai tahu tentang putusnya aku dengan Gery, dan bagaimana sebenarnya perasaannya padaku?

Alih-alih mempertanyakan langsung tentang semua pertanyaan yang bercokol di kepalaku, aku lantas memberi pernyataan, "Mama memintaku untuk menerima pinanganmu."

Pada akhirnya semua pembicaraan panjang akan berakhir pada penyataan itu kan? Menikah. Jadi untuk apa berbelit-belit?

"Aku dan keluargaku akan senang sekali kalau kamu bersedia menerima," jawab Will lugas. Tanpa menyisakan senyum ataupun kecewa. Aku benar-benar tidak mengerti isi kepalanya.

"Aku masih belum memutuskan," singkatku.

"Aku masih bisa menunggu," singkatnya.

Pembicaraan dengan mode gantung ini benar-benar menguras tenaga, akan lebih mudah kalau aku bisa merepet seperti apa adanya aku. Tapi entah kenapa, aku malah ketularan pelit bicara siang ini.

"Aku nggak melanjutkan kuliah S2 bukan karena otakku nggak mampu, tapi karena aku sudah terikat kontrak dengan perusahaan," sambung Will ke arah yang melenceng. Aku yang baru saja menyesap kopi nyaris tersedak. "Aku cukup cerdas, kalau itu bisa memberi poin ekstra terhadap penilaianmu. Aku nggak pernah gagal meraih peringkat sepuluh besar semasa sekolah, IPK-ku juga bagus, 3,88. Lulusan UI, jalur seleksi umum."

Oh tidak! Jangan bilang dia masih tersinggung tentang isi siaranku seminggu yang lalu. Lantas dia merasa perlu membeberkan segala prestasinya? Diam-diam aku jadi kagum dengan kemampuanku untuk membuatnya bicara panjang lebar seperti ini. Hhmm.

Cara William membeberkan prestasinya praktis membangkitkan jiwa ceriwisku, "William, dengar! Aku sama sekali nggak bermaksud membanding-bandingkan kamu sama Roy dengan isi siaran minggu lalu. Itu murni bahan siaran yang udah disiapin scriptwriter. Kalau aku berimprovisasi, sama sekali bukan untuk menyindir siapa pun, kecuali Gery mungkin!" Ups, keceplosan.

William tidak segera merespons. Malah menatap permukaan cangkir cappucinonya yang belum tersentuh. Aku menduga egonya kepalang terusik berhari-hari sampai-sampai dia menghentikan kebiasaannya untuk mengirimiku pesan setiap harinya setelah kejadian itu, dan mungkin sekarang dia sedang menyesal.

Yang paling membuatku bingung dari situasi ini adalah; kenapa pula aku harus repot-repot menjelaskan pada Will tentang kesalahpahaman itu?

"Kalau begitu, mulailah untuk mempertimbangkan lamaranku, Lena," kata Will kemudian.

Kalau sedari tadi Will tampak acuh tak acuh, kali ini Will tampak lebih bersahabat. Kalau sedari tadi dia hanya berbicara datar dengan pandangan mata yang tak tentu arah –menatap apa saja asal bukan aku—kali ini dia sudah lebih menunjukkan keseriusannya dengan menatap kedua boda mataku mantap.

Kembali menjadi jadi diri sendiri yang blak-blakan, aku mulai mengutarakan isi hatiku, "Aku nggak ngerti kenapa aku harus mempertimbangkanmu, Will. Akan lebih mudah kalau kamu masih sama seperti William gendut yang murah senyum dan rajin membagi makanannya untukku ... penampilanmu seperti ini, membuatku bingung. Kamu terlalu banyak berubah Will."

"Semua orang berubah, Lena ... dan nggak ada alasan yang lebih kuat untukku berubah selain kamu ...."

Aku tertawa sinis menanggapi mulut manisnya, "Setelah berbulan-bulan kamu cuma ngomong seperlunya, sekarang kenapa kamu tiba-tiba kedengaran gombal? Mau mengubah strategi? Supaya apa? Supaya aku masuk ke dalam perangkapmu sekali lagi?" sindirku, mati-matian mengangkat dagu ke arah AC agar wajah yang menghangat segera dingin kembali.

Mengabaikan sindiranku, Will melanjutkan pernyataannya, "Menurutmu kenapa aku memilih untuk memutuskan pertemanan kita, Lena? Itu karena sikap heroikmu hanya membuatku merasa seperti pecundang. Aku yang seharusnya melindungimu. Bukan sebaliknya. Selain itu, aku juga sama sekali tidak suka keberadaanku mengancam keselamatan kamu."

Mengarahkan wajah pada AC pun tidak bisa menahan hangatnya wajahku sekarang. Aku hanya bisa berdoa semoga warnanya tidak sampai kemerahan dan membuat William bisa membaca perasaanku. Siapa juga yang menyangka dia sengaja menjauhiku karena takut mencelakaiku?

"Menurutmu kenapa aku memilih untuk mengubah penampilanku menjadi lebih enak dipandang, Lena? Itu karena aku tidak ingin ada alasan yang membuat orang lain menindasku, supaya aku tidak tersiksa karena kehilangan lagi ...."

Kalimat terakhir yang diucapkan Will dengan setengah suara itu tidak hanya menambah rona pada pipiku tetapi juga berhasil menumbuhkan gelenyar aneh dalam tubuhku. Seperti sedang besar kepala, aku merasa kalau Will sedang menyiratkan kalau dia cukup tersiksa kehilangan aku.

Oh tolong hentikan pikiran buruk itu, Lena! Mana mungkin William merasa kehilangan kalau dia sendiri yang memutuskan untuk pergi???

"Aku ini Martalena, Will. Orang yang jelas-jelas kamu usir dari kehidupanmu sejak kecil!" tegasku. Mengingatkan.

"Aku menyesal. Aku seharusnya datang lebih awal untuk meminta pengampunanmu. Walaupun dengan mengucapkannya sekarang sudah sangat terlambat ... aku minta maaf, Lena."

Kalau saja William sedikiiiiiiiiit saja lebih ekspresif, aku mungkin tidak meragukan wajah datarnya itu. Tapi dengan wajah seperti itu, aku jadi curiga, jangan-jangan, "Kamu hanya menginginkan pernikahan ini untuk menghapus rasa bersalahmu?"

"Kalau alasan itu cukup untuk membuat kamu setuju menikah denganku, anggaplah begitu."

"Kamu gila, apa? Ini urusan sehidup semati, Will. Bukan main-main! Kamu nggak seharusnya mengorbankan perasaanmu hanya karena rasa bersalah. Dengar Will, kalau hanya karena alasan luka masa kecil itu ... hari ini juga, detik ini juga, kamu kumaafkan. Oke?" Tidak benar-benar semudah itu sesungguhnya, tapi mungkin pilihan itu lebih baik daripada membuatnya tetap nekat untuk meminangku.

Will menggelengkan kepalanya, "Bukan hanya karena rasa bersalah, Lena."

Ha? "Lalu apa?"

"Aku cinta sama kamu."

Ramai. Ada beberapa barista sedang sibuk membuat pesanan. Ada segerombol pekerja yang baru saja masuk ke dalam coffeeshop. Ada sekelompok anak muda sedang bercengkrama di meja pojok. Dan ada banyak pengujung lain sibuk dengan gadget mereka. Tapi rasanya hanya ada aku dan William di tempat ini.

Hening.

Pernyataan cintanya, diiringi tatapan matanya yang menunjukkan keseriusan, menciptakan suatu dimensi yang tidak bisa ditembus suara-suara bising oranglain. Mengunci pandanganku lurus dalam bola matanya. Membuat seluruh kesatuan tubuhku kaku dan membeku.

Tringgg!!!

Kekakuan itu akhirnya terselamatkan sebuah notifikasi dari ponselku. Kulirik layar pipih itu untuk mengucapkan terimakasih pada siapapun yang baru saja berhasil menarikku dari dimensi ciptaan Will. Ternyata operator seluler. Oh, ingatkan aku untuk tidak pernah mengganti provider selulerku sebagai tanda terimakasih atas bantuannya kali ini.

"Jangan harap aku percaya tipu muslihatmu, William!" angkuhku setelah memeriksa isi notifikasi.

Mengabaikan protesku, William menggunakan kartu joker miliknya, "Kamu harusnya percaya, karena Tante Lidya juga percaya padaku."

Shit! Dia tahu kelemahanku!

Berdeham untuk melancarkan suara, aku melanjutkan, "Kalau bukan karena Mama, aku pasti nggak akan pernah mempertimbangkan ini. Tapi cobalah jujur Will, apa aku bisa mengandalkanmu?"

"Tentu saja."

"Gimana aku bisa percaya sama kamu? Gimana kamu bisa menjamin kalau kamu nggak akan melakukan hal yang sama kayak Gery?"

"Kita bisa menemui mantan-mantanku sebelum menikah. Aku nggak sama seperti mantanmu. Aku laki-laki bertanggung jawab. Kamu yang akan memastikan sendiri kalau aku tidak pernah mempermainkan perempuan mana pun."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro