14. Empat Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku terbelalak, dia tertawa.

Aku mengerutkan alis, dia mengangkat bahu.

"Sibuk?" tanyanya kemudian. Roy. Entah angin apa yang menghantarkannya ke tempat ini.

Aku secara tidak sengaja berpapasan dengannya saat sedang membuka gerbang rumah untuk mengeluarkan mobil. Belum sempat mengabarkan keberadaannya sebelumnya, tahu-tahu dia sudah berdiri menghalangi tanganku membuka gerbang. Terkejut? Tentu saja. Ini pertemuan pertama kami setelah kubekuk dia dengan, "Aku bukan Diana, Roy" seminggu yang lalu.

Kupikir sejak hari itu kami sudah sama-sama tahu kalau hubungan ini tidak bisa dipaksakan. Dia juga tidak pernah menghubungiku lagi sejak hari itu.

Berusaha menguasai diri pasca terkejut, aku mengecek arloji di pergelangan tangan kiri, lantas menjawab pertanyaannya dengan, "Ada briefing di LookUp sih."

Setelah ber-oh panjang, dia bertanya, "Mau ada event?"

"Ia, mau nge-MC di acara launching produk kecantikan, minggu depan, di PIM."

Dia menarik senyum maklum setelah mendengar jawabanku. Tak urung tampangnya menunjukkan kekecewaan, membuatku tidak tega dan merasa perlu memberi kesempatan.

"Briefing-nya jam tiga sih, tapi tadi udah janji sama Siva mau makan siang bareng. Kalau kamu mau ngomong penting, aku bisa kok batalin janji makan siang sama Siva."

Senyumnya langsung terbit lagi, "Bukan ngomongin penting sih. Ehm, mungkin nggak penting buat kamu, tapi penting buat aku. Tapi aku bakal senang sekali kalau kamu bersedia batalin janji makan siang itu. Aku janji ini bakal jadi pertama dan terakhir kalinya aku bikin kamu batalin janji sama temen-temen kamu."

Sebagai tanda persetujuan aku langsung meraih ponsel dan menghubungi Siva untuk membatalkan janji makan siang kami. Siva yang tidak pernah ribet itu langsung setuju-setuju saja.

Setelahnya, aku dan Roy sudah duduk di restoran di kawasan Kemang, dekat dengan kantor LookUp untuk menghindari macet yang potensial membuatku telat briefing.

"Aku minta maaf, Len ...." Roy mulai mode serius setelah menghabiskan chicken cordon bleu yang menjadi pilihan menu makan siangnya.

"Untuk?"

Pelayan datang menginterupsi perbincangan, mengangkat piring kotor kami dan menyisakan gelas kopi milik Roy yang tersisa setengahnya, dan gelas lemon tea milikku yang nyaris belum tersentuh.

Roy baru melanjutkan lagi perkataannya setelah pelayan menjauh, "Untuk ketidaknyamanan kamu karena aku selalu membanding-bandingkan kamu dengan Diana."

"Aku tahu kamu nggak bermaksud. Sama seperti aku tahu kalau itu artinya kamu gagal move-on."

Roy terkekeh. Ya, seperti Roy yang selalu.

"Terlepas dari segala kemiripan kamu dengan Diana, aku sebenarnya nyaman banget sama kamu, Len. Aku bisa aja menganggap semua nggak pernah ada di antara kita dan menjauh begitu saja. Tapi aku lebih memilih untuk datang dan meminta maaf, karena aku mau persahabatan kita berlanjut. Aku suka sama kamu."

Aku menaikkan alis.

"Maksudku suka. Benar-benar suka karena aku nyaman, bukan berarti aku pengin miliki kamu," tambah Roy buru-buru, "Aku yakin kita bisa berteman baik."

Aku mengangguk, "Aku juga yakin kita bisa berteman baik. Kamu pasti bakal dapat perempuan yang kamu cintai apa adanya Roy. Kamu hanya perlu berdamai dengan luka di hatimu sendiri dulu."

"Kamu bicara seolah-olah kamu sudah lupa sama Gery, Len?"

Aku mengendikkan bahu, "Dibilang lupa, aku nggak amnesia. Tapi nama itu udah nggak se-angker dulu, Roy. Kurasa aku sudah mulai move on."

Dia manggut-manggut, "Boleh bagi rahasianya?"

Berpikir keras, aku bergumam, "Apa ya ...?"

"Apa karena William?" tebak Roy.

"William?!" tak habis pikir, kenapa justru nama itu lagi yang muncul.

Roy tertawa, entahlah karena ekspresi terkejutku yang berlebihan, atau Roy sedang mengembangkan hobinya, "Semenjak sekian lama usia pertemanan kami, baru malam itu dia liat aku dengan tatapan singa lapar."

"Malam itu ...?"

"Malem aku nganterin kamu pulang dari radio, dia kan nungguin tuh di depan teras rumah kamu. Kalau aja di tangannya ada golok, mungkin leherku nggak bakal selamat," Roy bercerita diiringi tawa geli, "Udah lama dekat sama William?"

"Justru aku yang mau tanya, kamu udah lama dekat sama William?" Rasa penasaranku selalu membuatku tidak bisa menahan diri. Aku seharusnya tidak menunjukkan ketertarikan pada William dengan membahas tentangnya sementara ada banyak hal lain yang bisa kubahas dengan Roy. Tapi seperti yang sudah-sudah otakku selalu eror kalau sudah kemasukan virus William!

"Deket banget sih enggak. Kita cuma mulai dekat karena dulu dia pernah terpaksa numpang di flat-ku, di Amrik," jawab Roy apa adanya.

"Terpaksa numpang gimana maksud kamu?"

"Iya ... jadi dulu dia sempat kecopetan di Amrik. Passport dan dompetnya raib. Dia jadi disaranin Om Yudha untuk numpang di tempatku dulu, nyambi ngurusin berkas-berkasnya di Embassy. Sejak itulah kita mulai akrab. Kita sama-sama lagi patah hati waktu itu. Jadi nyambung banget."

"Orang kayak robot gitu bisa patah hati juga?"

"Ya, dia enggak bilang secara gamblang sih kalau dia lagi patah hati. Tapi aku cukup mengertilah kondisi dia. Dia banyak melamun, pikirannya kayak nggak fokus gitu, aku sih nggak heran kalau dia bisa kecopetan." Roy memberi jeda untuk menyeruput kopinya, "Kadang rasanya nggak adil buat kami kaum pria yang nggak dikasih hak yang sama kayak kaum wanita."

"Maksud kamu?"

"Ya gitu, kalau kaum pria lagi patah hati, bawaannya cuma bisa menyimpan sendiri bebannya. Nggak kayak kaum wanita yang bisa bebas nangis dan curhat sana-sini. Coba kalau kaum pria yang begitu? Pasti dikatain banci kan? Makanya enggak heran kalau perempuan bisa lebih gampang move-on, sakit hatinya udah dibagi lewat tagisan dan curhat, sih."

Ya, analisa Roy seperti ada benarnya juga. Baru kali ini rasanya aku mendengar sendiri curhatan pria patah hati. Sialnya, bukan analisanya yang memenuhi pikiranku melainkan tentang patah hati-nya William. Dia sampai jauh-jauh terbang ke Amerika untuk mencari pelarian? Dia pasti cinta mati sama mantannya itu.

Jadi kenapa bukan mantannya itu saja yang dipinangnya?

**

Akhirnya kesempatan itu muncul juga.

Kesempatan untukku bertemu dengan dua orang mantan pacar William. Aneh mungkin menjadi kata yang tepat untuk mewakili cara pendekatan William. Dua minggu sudah berlalu sejak terkahir kali aku berinteraksi dengan William. Dia kembali pada pekerjaannya di Batam seusai pembicaraan tentang pinangan kami diskusikan. Dan sekarang dia tiba-tiba hadir dengan agenda memperkenalkanku dengan mantannya.

Dia benar-benar tahu memilih waktu yang tepat. Muncul di depan rumah saat sedang ada Mama. Aku yang sudah terlanjur mengatakan pada Mama kalau jadwalku hari ini hanya siaran, langsung heboh menyuruh mandi dan bersiap-siap. Mama mengira William akan mengajakku kencan. Siapa sangka dia malah mengajakku untuk bertemu mantannya.

Huh, pendekatan macam apa ini?

Kalau saja aku berpikir untuk melakukan hal yang sama dengan Will, memperkenalkannya dulu pada Gery untuk membuatnya yakin meminangku, bisa kubayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Baku hantam. Bagaimana tidak, kalau agenda mempertemukan mantan ini sama saja seperti mempertemukan dua petarung di dalam satu ring tinju. Bukan dua, mungkin tiga. Aku versus Gery, dan Will versus Gery. Entahlah untuk memenangkan apa? Yang jelas, ini terdengar seperti bencana.

Aku benar-benar tidak mengerti cara berpikir Will.

"Kan kamu yang bilang mau memastikan sendiri dengan mantan-mantanku kalau aku tidak se-brengsek mantanmu," kata William saat kutanyakan tentang kegilaannya ini.

"Jadi apa perlu, kuperkenalkan juga kamu sama Gery untuk membuat kamu yakin kalau aku ini perempuan baik-baik?" kukembalikan boomerang yang baru dilemparkannya.

"Nggak perlu. Aku percaya sama kamu."

Apa dia tidak punya cara lain untuk meyakinkanku? Kenapa justru aku takut mantan pacar Will akan menghajarku karena menganggap aku merebut Will dari mereka?

Perasaan was-was yang memenuhi pikiranku karena harus bertemu dengan kedua mantan pacar Will bertahan selama perjalanan, karena begitu kami sampai di tempat temu janji, yang terjadi justru jauh dari kata bencana. Mantan-mantan William sangat baik dan ramah. William bahkan tampak sangat akrab dengan dua orang mantannya itu. Seolah tidak menyisakan lagi segala sakit hati yang menoreh luka saat perpisahan mereka. Tanpa canggung William membalas cipika-cipiki dari dua orang itu. Mereka tampak ... terbiasa.

Bertemu dengan dua orang mantan William sama seperti bercermin pada dua cermin besar sekaligus. Aku, Anna dan Fey (nama dua orang mantan pacar William) memiliki kemiripan secara kasat mata. Sama seperti wanita metropolis pada umumnya. Kulit putih, tubuh tinggi semampai, rambut panjang, dan pakaian trendy adalah beberapa istilah yang mewakili penampakan kami. Lesung pipi menjadi satu kesamaan kami yang paling identik.

Anna punya lesung pipi yang besar dan dalam pada kedua belah pipinya, sementara Fey hanya memiliki satu lesung pipi di sebelah kanan pipinya.

"William laki-laki yang bertanggung jawab. Aku bisa jamin itu," nasihat Anna di akhir pertemuan kami di Starbucks siang itu.

Tidak jauh berbeda dengan nasihat Anna, Fey pun menambahkan, "Kamu hanya perlu lebih sabar. Will bukan tipikal laki-laki yang mudah dihadapi. Apalagi kalau lagi marah. Selebihnya aman. Dia laki-laki baik."

Tak pelak kenyataan itu membuatku tak habis pikir, kalau William memang sebaik itu, lantas mengapa mereka berpisah?

"Bukan jodoh," jawab William saat kutanyakan padanya. Kami sedang dalam perjalanan kembali ke stasiun radio setelah menyelesaikan pertemuan aneh itu. Bukan aneh, tapi langka. Aku benar-benar tidak menyangka kami akan se-nyambung itu saat membicarakan tentang kesibukan masing-masing, sampai kepada banyaknya hoax yang beredar di sosial media. Kebersamaan selama satu jam lebih itu jadi lebih mirip acara perkenalan dengan teman baru.

Lalu aku tiba-tiba teringat pada cerita Roy tentang patah hati William. Roy bilang 'Pria akan menghindari percakapan tentang patah hati, Lena. Tapi sebagai sesama pria, aku tahu kalau William benar-benar terpuruk waktu itu. Dia sampai mau aku ajakin mabuk-mabukan di kelab setiap malam'.

Perempuan manakah yang sekiranya berhasil membuat William harus terbang ke Amerika karena berhasil mematahkan hatinya? Aku harus memberi selamat pada perempuan itu. Tidak bisa dipungkiri perempuan itu pasti cinta matinya William.

"Kamu cuma punya dua mantan?"

Will mengangguk, "Aku bukan tipe pria yang mudah jatuh cinta."

"Jadi perempuan mana yang bikin kamu harus lari ke Amrik saking patah hatinya, Will?"

Will menatapku sekilas sebelum kembali lagi menatap jalanan di depan kemudinya, "Bukan keduanya."

Wajah datar itu ... sungguh sulit ditebak. Aku tidak bisa memastikan kalau dia sedang bicara jujur. Tapi cinta bertepuk sebelah tangan cukup masuk akal sebagai alasannya kabur jauh menyebrangi benua dan mabuk-mabukan.

Kata Naya, cinta bertepuk sebelah tangan itu berat! Naya sudah terjebak dalam zona itu dua tahun belakangan, dan aku lebih dari sekedar tahu bagaimana sakitnya perasaan Naya.

Aku jadi penasaran ... pada wanita seperti apa Will patah hati?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro