2. Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku suka kamu yang apa adanya, dan blak-blakan." Roy Gutawa.


Kalau Mama berjasa mengorek luka hatiku menjadi semakin parah karena tidak pernah bisa berhenti membahas tentang Gery, Papa justru menjadi yang paling pengertian dengan mengalihkan semua pembicaraan yang berkaitan dengan si brengsek itu.

Perjalanan berlibur ke Kuala Lumpur pun sebenarnya atas inisiatif Papa. Beliau sendiri yang membelikan tiket pulang-pergiku. Sengaja tidak memilih destinasi jauh, karena Papa khawatir terjadi sesuatu denganku dan sulit menemukan radarku.

Orangtuaku memang kadang-kadang seprotektif itu.

Papa ternyata cukup berlebihan dalam mempersiapkan liburan ini, dia sampai memilihkan bangku di kelas bisnis untukku. Bangkunya yang nyaman praktis membuat tubuhku rileks hingga tanpa kusadari aku terlelap bahkan sebelum pesawat take off. Ini pasti akumulasi dari tangis tak berkesudahan malam tadi hingga membuatku gampang terlelap.

Hanya dua puluh menit aku tertidur, sampai akhirnya terbangun karena memimpikan Gery sialan itu. Dia memakai tuksedo hitam layaknya pengantin pria yang sedang berdiri di depan altar Gereja sambil menungguku di mimpi itu. Yang benar saja? Bukan aku yang akan menjadi pengantinnya! Memikirkan kenyataan itu saja, mataku langsung memanas lagi.

Untuk mengalihkan pikiran, aku memilih untuk membaca buku yang terselip menyedihkan di antara bangkuku dan bangku sebelahku.

"Critical Eleven," gumamku saat meraih buku itu dan melafalkan judulnya. Aku tidak ingat sudah mengeluarkan buku ini dari tas tanganku sebelumnya. Patah hati benar-benar membuat fokusku buyar.

Di ruangan boarding sebelum berangkat tadi, aku sudah membaca sebagian dari isi buku ini. Seingatku, aku menandai halaman khusus dengan menyelipkan sebuah postcard. Bagian khusus yang menceritakan pertemuan Ale dan Anya –yang menjadi tokoh utama di dalam novel— tapi aku tidak berhasil menemukannya, bahkan setelah membolak-balik hampir di setiap halaman.

Saat sedang sibuk mencari-cari bagian yang ingin kubaca tersebut, seorang pramugari datang menawarkan minuman, praktis aku memilih orange juice. Sebelah tanganku sedang terulur menyambut minuman yang disodorkan pramugari, sementara tanganku yang lainnya menahan bagian buku dengan posisi terbuka. Tiba-tiba pesawat goyang, tidak terlalu hebat, tapi berhasil membuat minumanku tumpah membasahi buku.

"Ck!!!" kudengar decak dari arah samping.

Orang yang sedari tadi duduk tertidur di sebelahku ternyata sudah bangun. Aku tadi tidak sempat melihat wajahnya karena posisi tidurnya menoleh ke arah berlawanan dengan posisiku. Sekarang aku jadi bisa mengamatinya, karena dia sedang menatap kesal ke arah bukuku yang sudah basah.

Dia ... tampan. Cukup tampan untuk membuat waktu tiga detik dalam hidupku terbuang sia-sia hanya untuk mengamati ketampanannya. Bukan mirip Gery yang selenge'an ala anak band, ah, lupakan Gery! Tapi dia sekilas mengingatkanku pada Chris Evans versi brewok tipis dan parlente.

"Bukunya jadi basah," katanya memperdengarkan suara seksinya.

Wah, suaranya pun berhasil membuatku terkesima.

"Enggak pa-pa," balasku sambil terus memandanginya.

Dia tampak sedikit takjub dengan jawabanku, sehingga merasa perlu untuk melihatku. Dengan alis bertaut, dia mengamati wajahku, "Enggak pa-pa?"

"Iya, nggak pa-pa. Saya udah baca kok. Ini lagi baca ulang saja, buat ngisi waktu selama perjalanan."

Dia mengangguk kecil, tapi masih dengan dahi berkerut, "Oke."

Aku seharusnya sedang patah hati. Aku seharusnya melihat penampakan Gery di mana-mana, tapi entah kenapa penampakan Chris Evan KW yang satu ini tidak berhasil mengalihkan pandanganku. Aku seperti pernah melihatnya sebelumnya. Aku masih saja menikmati setiap sudut wajahnya yang sempurna sampai dia bersuara lagi, "Apa ada sesuatu di wajah saya?"

Sadar terciduk, aku menggeleng cepat, "Enggak kok."

Dengan gerakan sedikit gusar aku mulai menepuk-nepuk buku yang basah dengan tisu dan mulai membolak-balik-nya guna menyamarkan salah tingkah. Saat sedang membolak-balik, tampaklah tulisan Will pada halaman depan.

Jelas itu bukan namaku. Juga bukan tulisanku.

Aku mengamati tulisan itu lebih seksama, siapa tahu aku lupa pernah meminjamkannya pada seseorang dan tanpa sengaja dinamai oleh sang peminjam. Tapi aku tidak berhasil mengingat kenalan bernama Will sama sekali.

"Itu buku saya," kudengar Chris Evans KW bersuara.

Mampus!

Pantas saja aku tidak berhasil menemukan pembatas buku yang seharusnya menandai halaman bacaku. Astaga, bukunya juga sudah kubuat basah, dan dengan entengnya aku mengatakan 'nggak pa-pa' bukannya 'maaf'?

"Hadiah dari salah seorang teman saya," Chris Evans KW menambahkan saat aku membalas tatapannya.

"Maaf ...," desisku.

Sekali lagi aku memeriksa buku yang kupegangi, kali ini pada bagian yang terlanjur basah tertumpah orange juice. Sial, tulisannya jadi buram.

Saat aku ingin meminta maaf sekali lagi, kudapati wajah Chris Evans KW juga sedang mengamati objek yang sama. Aku tidak mengerti maksud ekspresinya karena wajah itu tampak datar tanpa emosi.

Mencoba berpikir cepat, aku memeriksa isi tas tangan dan menemukan buku yang sama persis masih terselip rapi di dalamnya. Syukurlah.

Aku pasti masih di bawah pengaruh mimpi buruk saat memungut buku milik Chris Evans KW sebangun tidur tadi. Terkutuklah Gery. Hadir di mimpi saja dia bisa membawa petaka! Sialan!

Kuperiksa sekilas buku yang baru kukeluarkan dari tas dan menghela napas lega ketika mendapati kondisi bukuku masih sama bagusnya dengan buku baru.

"Kamu keberatan nggak kalau bukunya ganti pakai punya saya aja?" tawarku.

Dia menyambut buku yang kusodorkan, mengamati lembar demi lembar dan berhenti pada lembar yang terselip sebuah postcard.

"Hadiah postcard deh, sebagai tanpa permintaan maaf saya,"

Dia mengangguk kecil, "Oke."

**

Setibanya di Kuala Lumpur International Airport, aku mengaktifkan kembali ponselku. Bunyi notifikasi berlomba-lomba menyambut. Sambil mengantri di imigrasi, aku membalas pesan satu per satu. Kebanyakan isinya menanyakan tentang ketibaanku di negeri Jiran. Dari Mama, Papa, Naya dan Siva.

Aku membalas pesan mereka dengan menjawab sekadarnya.

Aku sedang malas berbasa-basi. Tujuanku berlibur adalah untuk menikmati kesendirian, pesan-pesan dari mereka hanya akan membuatku kembali teringat pada hal-hal kutinggalkan di Jakarta. Termasuk Gery.

Setelah membalas pesan-pesan mereka, gerakan jempolku mendadak kaku satu senti di atas permukaan layar ponsel saat mendapati pesan dari Gery. Lusa adalah hari pernikahannya, dan bisa-bisanya dia mengirimkan pesan dengan isi sarat rindu. Gila!

Aku seharusnya memakinya habis-habisan, tapi aku malah menangis. Aku juga merindukannya.

Menyedihkan sekali.

**

Hari pertama ketibaanku di Kuala Lumpur hanya kuhabiskan dengan selonjoran di kamar. Papa sudah memesan kamar hotel yang cukup mewah untuk kutempati seminggu ke depan. Adalah bijaksana kalau aku menikmati fasilitas hotel ini dulu daripada melancong ke sana - ke mari. Aku masih punya cukup waktu untuk keliling KL besok-lusa.

Jam lima sore waktu setempat, aku beranjak dari posisi malas-malasan untuk berenang di kolam renang hotel, lalu berendam zacuzii dan sauna. Untuk tiga rangkaian kegiatan terakhir, kuhabiskan waktu sekitar dua jam.

Makan malam di hari pertama kunikmati dengan memesan Mee Siam dari hotel. Aku benar-benar malas keluar hari ini.

Saat akan menyendok suapan terakhir ke dalam mulut, ponselku tiba-tiba berdering. Menunjukkan nama pemanggil yang adalah Papa. Tumben.

"Ya, Pa?" kujawab telepon setelah meletakkan sendok. Urung menghabiskan suapan terakhir yang seharusnya sudah mendarat mulus di pencernaan.

"Kamu lagi di mana?"

"Di hotel."

"Oh, bagus! Kamu turun ke lobby dong. Temuin Roy."

"Roy?"

"Roy Gutawa. Anaknya Om Raka Gutawa."

"Oh, Roy ... temuin buat apa, Pa?"

"Dia lagi di KL, nginap di hotel yang sama dengan kamu. Besok mau berangkat ke Langkawi. Katanya ada wisata alam yang bagus di sana. Untuk bisa mencapai tempat itu, kamu harus trekking beberapa kilo, mungkin cocok buat kamu."

Aku menghela napas panjang. Sejak kapan Papa punya ide untuk menawarkan wisata yang menguras tenaga padaku? Dia seharusnya tahu kalau aku paling malas mengeluarkan keringat.

"Pa, hotel tempat Lena menginap sekarang ini udah dibayar full sampai enam hari ke depan, kalau Papa lupa," kataku mengingatkan.

"Hotel sama sekali bukan masalah, Lena. Coba kamu temui saja dulu Roy. Coba kamu dengarkan dulu penjelasannya. Kalau setelah mendengar penjelasannya kamu masih lebih memilih Kuala Lumpur ya nggak masalah."

**

Tanpa merasa perlu memperhatikan penampilan, aku turun menuju loby menemui Roy. Masih dengan celana pendek dan baju kaus kebesaran –baju favorit untuk nyantai. Rambut panjangku pun hanya kusisir seadanya dengan jemari sebelum mengikatnya asal-asalan membentuk bun di belakang kepala.

Aku langsung bisa mengenali sosok Roy, karena dia sebenarnya sudah tidak asing lagi denganku. Ayahnya adalah rekan bisnis Papa. Sama-sama bergelut di bidang properti. Kami sebenarnya sering mengikuti acara-acara penting bersama, dulu. Dia dengan keluarganya dan aku dengan keluargaku. Walau begitu, kami tidak cukup akrab untuk saling bertatap muka dan mengobrol hanya karena kebetulan menginap di satu hotel seperti ini.

"Marthalena?" sambutnya sambil berdiri dari duduk.

Penampilannya sangat mewakili anak muda petualang. Celana cargo, baju kaus, bahkan sandalnya pun sandal gunung. Rambutnya bahkan gondrong, tapi masih dalam kategori rapi karena dia menguncirnya di belakang kepala. Secara kasat mata, dia mengingatkanku pada Jack Gyllenhaal di film Everest. Minus brewok tebalnya, karena Roy hanya memiliki brewok samar.

"Roy Gutawa?" balasku. Mengulurkan tangan, aku membalas jabatannya.

Setelah sama-sama duduk di bangku loby dengan jarak berdekatan, aku langsung memberinya peringatan tanpa aba-aba, "Saya harap kamu nggak cukup terkejut, saya sebenarnya nggak tertarik sama sekali dengan wisata alam sekarang ini. Apalagi wisata yang menguras tenaga dan keringat. Jadi kalau kamu cuma menemui saya untuk menawarkan wisata trekking nggak masuk akal itu, saya rasa saya memilih untuk tinggal di hotel ini saja. Terimakasih."

Roy hanya menatapku dengan tatapan mata penuh binar saat aku sibuk mengoceh, dia lantas mengambil alih percakapan saat kesempatan muncul, "Saya nggak menemui kamu untuk menawarkan wisata alam, Lena. Saya bukan tour guide."

"Ya?" aku menatapnya takjub.

"Tadinya saya juga protes pada Papa yang memaksa untuk menemuimu di lobby, tapi saya rasa saya tidak menyesal mengikuti perintahnya."

"Maksud kamu?"

"Saya suka kamu yang apa adanya"–Roy memindai penampilan asalan-asalanku barang sejenak- "dan blak-blakan," sambung Roy sambil mengembangkan senyum cemerlang.

Aku seharusnya menjadi orang yang paling beruntung di dunia karena disodorkan lelaki setampan Roy sebagai pengalihan dari Gery si brengsek itu. Tapi nyatanya aku tidak bisa menerimanya begitu saja.

"Maaf Roy, tapi saya nggak suka kamu yang terlalu cepat menilai." Kuharap senyumku tidak terlalu terlihat terpaksa saat mengakhiri pembicaraan ini. Aku sungguh malas menghadapi laki-laki yang terlalu cepat menilai. Belum apa-apa sudah bilang suka? Dia pikir aku perempuan gampangan, apa?

Maka setelah dua detik –yang serasa seperti dua abad— mempertahankan senyuman paksa itu, aku bangkit dari dudukku dan beranjak pergi. Tapi baru tiga langkah aku menjauh, Roy sudah meneriakkan namaku.

"Lena!"

Aku sempat mendengkus kesal sebelum memutuskan untuk membalikkan badan dan sekali lagi memasang senyuman paksa, "Ya?"

"Apa kamu tahu kalau wisata alam sangat bermanfaat untuk menyembuhkan luka hati?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro