3. Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu sadar nggak sih, layaknya perjalanan yang baru aja kita lewati,kadang-kadang kita berusaha terlalu keras untuk pencapaian yang sebenarnyatidak seberapa. Tidak sesuai ekspektasi. Tapi kamu tahu nggak apa yang bakalmembuat semua ini jadi berbeda? Cara kamu menikmatinya!" Roy Gutawa

Hanya karena Roy mengiming-imingiku penyembuhan dari luka hati, aku akhirnya ikut dengannya ke Langkawi. Dengan menumpang sebuah pesawat dengan penerbangan pagi, kami akhirnya tiba di Langkawi menjelang siang.

Setelah meletakkan barang-barang di resort tempat kami menginap, Roy menawarkan untuk menemaniku mencari makan siang. Ikan bakar di tepi pantai Cenang, yang jaraknya tidak jauh dari resort tempat kami menginap menjadi pilihan menu di siang terik itu.

Setelahnya, Roy mengajakku untuk ikut dengannya untuk melakukan olahraga ekstrim. Skydiving.

Sejatinya aku bukan tipe petualang. Jangankan melakukan olahraga ekstrim untuk diriku sendiri, menontonnya saja sudah membuat jantungku bermasalah. My trip My advanture yang menjadi program acara fenomenal karena ke-ektrimannya itu jelas tidak akan pernah masuk daftar tontonanku. Aku lebih suka menikmati kulit-kulit licin nan mulus para aktor Korea daripada tubuh kekar kecoklatan milik petualang.

Tapi aku tidak menolak saat sekali lagi Roy mengiming-imingi penyembuhan luka hati. Tidak bisa dipungkiri status Gery yang bukan lagi milikku masih saja mengganggu hingga hari ini. Aku harus mencari cara terbaik, dan kalau bisa tercepat untuk menghilangkan rekam jejaknya dari dalam memori otakku.

"Kalau ketakutan akan maut aja bisa kamu taklukin, apalagi sekadar benda lembek yang kayak kampret ini," Roy menunjuk dadanya saat menegaskan kata 'ini' di akhir kalimatnya. Tak pelak garis-garis wajahnya tampak semakin keras. Seperti sedang menahan emosinya sendiri.

Aku jadi menyadari sesuatu. Roy sedang menantang maut bukan untuk membuktikan padaku tentang teorinya, melainkan untuk membuktikan pada dirinya sendiri. Roy adalah satu korban hati yang terluka lainnya.

Aku ikut dengan Roy naik ke helikopter yang akan menerjunkannya dari ketinggian 5000 kaki nanti. Bukan karena aku mengkhawatirkan Roy, juga bukan karena aku akan ikut bunuh diri bersamanya, tapi aku hanya sedang menguji nyaliku sendiri. Apakah aku akan sekuat itu melihat Roy mengantarkan nyawanya ke ambang batas?

Sekaligus belajar dari pengalaman Roy, kalau dia berhasil turun dengan selamat dengan membawa hati yang sehat, mungkin aku bisa mencoba olahraga gila ini besok.

Masih di ketinggian dua ribu kaki saja, rasanya tungkaiku sudah lemas tak berdaya. Penampakan orang-orang di bawah sana tak lebih besar dari ujung kukuku. Tidak bisa kubayangkan apa jadinya kalau aku terjun bebas sekarang. Mungkin ragaku akan hancur tak berbentuk saat mencapai permukaan.

Kucoba untuk melirik Roy sekilas. Dia malah melamun.

"Kamu masih yakin mau terjun?"

Roy sempat tersentak karena pertanyaanku membuat kesadarannya kembali dari lamunan panjang, lantas dia mengangguk mantap.

"Kalau beneran mau terjun, jangan melamun kayak gitu! Bisa-bisa kamu lupa buka pasasutnya nanti. Aku nggak mau jadi saksi kematian kamu di negeri orang, ya!"

Roy tergelak mendengar repetanku. Sehari kebersamaan ini membuat kami mulai akrab. Panggilan formal semacam 'saya' pun sudah kami hapuskan dari setiap percakapan. Sialnya Roy lebih memilih untuk menggunakan istilah 'aku-kamu' alih-alih 'lo-gue'. Sedikit tidak nyaman untukku, karena membuat kami terkesan seperti sepasang kekasih, eugh!

"Kamu yakin nggak mau tandem aku? Turun-turun mungkin kita bisa jadi pasangan baru, lho," goda Roy.

"Pasangan baru dengkulmu! Yang ada kita ini cuma barisan patah hati."

Sekali lagi tawa Roy berderai, "Jadi kamu tahu, kalau aku juga lagi patah hati?"

"Kondisi hatimu mungkin lebih kronis daripada aku, Roy. Karena aku nggak senekat itu mempertaruhkan nyawa untuk meyakinkan diriku baik-baik saja."

Roy bergeming. Matanya mulai menerawang. Senyumnya pudar. Aku bisa merasa kalau Roy sedang memikirkan orang itu sekarang. Orang yang menoreh luka di hati Roy.

Setelah menghabiskan beberapa menit menikmati lamunannya, Roy kembali memasang senyum manisnya. Dia lantas mengarahkan wajahnya menghadapku dan memberiku tatapan intens, "Kalau hatiku sedikit membaik setelah terjun bebas dari sini, kurasa aku akan mempertimbangkan kamu untuk menjadi pemilik barunya."

Player! Adalah kesimpulan yang bisa kutangkap dari mulut manis Roy. Apalagi dengan kedipan matanya itu. Dia seperti sudah terbiasa melakukannya. Jangan harap aku terpedaya, Roy! Maka aku hanya memberi respons dengan memutar bola mataku malas.

Roy tergelak lagi. Dia sepertinya mudah sekali dibuat tertawa.

Tepat setelah tawa Roy reda, petugas memberi isyarat pada lelaki bertato itu untuk bersiap-siap. Kami ternyata sudah berada di ketinggian 5000 kaki. Sekali lagi petugas itu memeriksa segala peralatan pengaman yang melilit tubuh Roy. Aku tidak mengerti fungsi alat-alat itu. Yang jelas, Roy terlalu nekat mempercayakan nyawanya pada benda-benda mati itu. Bodoh.

Petugas itu sekali lagi membetulkan letak kacamata Roy sebelum akhirnya membuka pintu di sisi kiri Heli. Ketika pintu heli terbuka, aku bisa merasakan terpaan angin yang begitu kuat menyapu seluruh permukaan kulitku. Aku bahkan tidak bisa mendengar suara Roy yang berteriak kencang kepadaku. Tidak terjun bebas saja, aku sudah mau pingsan. Jantungku memompa begitu kuat, sampai kurasa setiap degupannya potensial meletuskan jantung itu sendiri. Napasku jadi panjang-pendek. Tubuhku basah oleh keringat yang entah darimana datangnya.

Di saat aku belum bisa menguasai tubuhku sendiri, Roy sudah melambaikan tangannya siap untuk terjun.

Dia sempat menyeringai kecil sebelum akhirnya tubuhnya benar-benar menghambur keluar Heli. Yang aku ingat, aku cuma bisa menyampaikan selamat jalan dengan sebuah teriakan histeris.

"Aaaaaaaahhhhhhhhhhh ...."

**

Saat pertama kali membuka mata, aku mendapati Roy sedang duduk di tepi ranjang sambil menekuri ponselnya. Kuharap penampakan Roy ini bukan hasil imajinasiku, karena terakhir kali aku melihat Roy, dia di antara hidup dan mati. Tolong jangan bilang aku sedang bertemu dengan rohnya sekarang.

"Roy ...?" desisku. Harap-harap cemas.

Sontak Roy mengalihkan pandangannya dari ponsel, "Udah sadar?" tanyanya ketika kedua manik matanya bertemu dengan milikku.

Aku menjawab Roy dengan anggukan kecil.

Roy tertawa riang saat aku berusaha mengubah posisi baringku menjadi duduk.

"Lihat apa yang terjadi, Lena? Aku yang terjun bebas, tapi malah kamu yang pingsan. Hahaha."

Aku memberi Roy tatapan malas, "Sekarang bukan saatnya ngetawain aku, Roy. Sekarang saatnya kamu buktiin teorimu. Apa setelah meregang nyawa kamu benar-benar ngerasa lebih baik?"

Senyap. Tawa Roy hilang ditelan kebisuan.

"Nggak semudah itu, Lena ... tapi harus kuakui kalau aku merasa sedikit lebih baik," jawab Roy setelah hening beberapa saat.

Aku memberi jeda untuk membiarkan Roy menikmati pikirannya sendiri. Aku diam mengamati luka yang terpancar pada tatapan matanya. Entahlah luka seperti apa yang dialaminya. Tapi aku cukup tahu kalau itu bukan perasaan yang menyenangkan. Ingin rasanya aku menyatukan lukaku dan luka Roy untuk diaduk dan digulir di atas tepung panir. Menggorengnya hingga kecokelatan hingga menjadi makanan yang siap disantap menjadi makanan yang enak sekaligus sumber energi yang baik bagi kesehatan tubuh. Karena pada kenyataannya luka tidak bisa diproses demikian, kupikir akan lebih bijaksana kalau kami saling membagi kesedihan ini, untuk sekedar membuat kami sadar, kalau kami bukan satu-satunya orang yang bersedih saat ini.

Aku menghela napas panjang sebelum memutuskan, "Besok aku temenin kamu trekking, deh."

"Kenapa berubah pikiran? Katanya nggak suka olahraga. Jangan bilang karena kasihan sama aku?" Roy menyungging senyum sinis di akhir pertanyaannya.

"Bukan. Aku cuma mau kamu sadar, kamu bukan satu-satunya yang patah hati sekarang. Walau nggak bisa saling menyembuhkan, paling enggak kalau barengan, kamu bakal merasa kalau kamu bukan satu-satunya orang yang paling menyedihkan di dunia ini. Aku juga."

**

Aku menyesal telah menawarkan diri untuk ikut trekking dengan Roy.

Aku sudah ragu mampu mengatasi ini karena olah fisik memang bukan teman baikku. Tapi aku membulatkan tekad saat Roy mengatakan kalau rute ini hanya akan memakan waktu sekitar dua puluh menit untuk tiba di puncaknya.

Puncak yang dimaksud Roy adalah tempat air terjun Telaga Tujuh.

Mana yang katanya dua puluh menit? Sudah setengah jam kami menapaki hutan hujan tropis, tapi masih belum ada tanda-tanda kalau kami sudah mendekati puncak. Napasku sudah nyaris kehabisan stok. Terlalu banyak dihambur-hamburkan pada setiap helaannya.

"Segitu doang, udah loyo, gimana sih?" ledek Roy sepanjang jalan.

Aku curiga kami tersesat. "Kamu beneran tahu jalan nggak sih? Kenapa nggak pilih pakai guide aja? Jangan-jangan kita salah jalan ini!" protesku sambil ngos-ngosan.

Roy sang petualang itu memang memilih untuk tidak menggunakan paket tour yang dilengkapi dengan guide untuk perjalanan kali ini. Egonya selaku petualang mungkin tertantang untuk menaklukkan hutan dengan kemampuan instingnya. Oke, jalur ini memang tidak terlalu sulit karena jalan setapak menuju puncak sudah dirancang cukup bersahabat untuk para pendaki. Tapi tetap saja ... kalau ditemani guide, mungkin mereka bisa menunjukkan jalan pintas. Iya kan?

"Udah bener ini jalannya. Kamunya aja yang loyo, bikin perjalanan kita jadi lebih lama," balas Roy.

Dasar rekan barisan-patah-hati-ku ini tidak berperasaan, bukannya membantu dia malah sibuk meledek. Bantuin angkat tas kek, papah kek, apa kek. Dasar!

Oh aku lupa, dia memang mungkin sedang dalam mode tidak berperasaan. Perasaannya kan sedang hancur tak berbentuk. Seharusnya aku maklum.

Sudah syukur dia tidak berpikir untuk meninggalkanku. Dan syukur sekali lagi, karena area yang kami lewati dipenuhi dengan pepohonan rindang sehingga suasana yang memenuhi justru sejuk dan asri.

Aku sempat meminta waktu untuk beristirahat pada Roy ketika seekor monyet tiba-tiba muncul di dekat jalan setapak. Monyet itu kemudian bergelayut di satu pohon dan pindah dengan kekuatan tangannya ke pohon lain. Aku buru-buru mengabadikan kelakuan monyet itu dalam ponselku. Tidak lupa kuunggah dalam ig stories.

Sebuah pesan seketika masuk menanggapi unggahanku.

Naya :
Tontonan lo jelas lebih berfaedah daripada tontonan gue.

Me:
Lo nonton apa emang?

Naya :
Mas Daus, Manager Jibril panggil gue khusus untuk Turun tangan bantuin ngurus Gery.

Me:
Gue sengaja ninggalin Indonesia untuk menghindari semua hal tentang Gery,

Kalo lo lupa Nay.

Naya :
Tapi mungkin berita yang satu ini bakal bikin liburan lo makin menyenangkan.

*send picture*

Me:
Pada ngapain di depan pintu kamar Gery?
Kenapa?

Naya :
Calon pengantin laki-lakinya ngurung diri dari semalam.
That's your ex.

Aku terperangah membaca pesan terakhir Naya. Hubungan Naya dengan beberapa manager artis memang akrab, terutama dengan Mas Daus yang notabene sudah bekerja bersama Gery sejak band-nya debut, lima tahun yang lalu. Seharusnya aku tidak heran kalau Mas Daus sampai meminta bala bantuan dari Naya, tapi bukan untuk urusan personal seperti ini! Naya lebih cocok membantu untuk kegiatan promo album band Jibril, bukannya mengurusi pengantin ngambek begini.

Tapi entah kenapa informasi Naya yang memperlihatkan cara Gery mengurung diri di hari pernikahannya sendiri membuatku merasakan sensasi aneh. Entahlah bagaimana aku mendeskripsikan perasaan ini ....

Mungkin terdengar jahat, tapi aku benar-benar ingin tertawa sekarang.

"Kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Roy saat melihatku mengulum senyum, "Udah sanggup jalan lagi dong? Itu air terjunnya udah dekat kok."

Kalau begini ceritanya, aku langsung semangat untuk melanjutkan perjalanan lagi.

Benar saja. Kali ini Roy tidak berbohong. Telaganya sudah terlihat pada menit ke sepuluh kami menyusuri jalan setapak. Ini tidak sesuai ekspektasiku, sebenarnya.

Untuk semua keletihan fisik yang kubayar untuk sampai di puncak, aku jelas mengharapkan pemandangan yang jauh lebih mempesona daripada ini. Di Indonesia juga banyak yang lebih indah daripada ini, lho.

"Gini doang?" protesku.

"Gini doang apanya? Keren gini," kilah Roy.

"Keren apanya?" kataku sambil mengedarkan mata menyapu pemandangan.

Tempat ini standart pemandangan alam pada umumnya. Airnya memang jernih, tapi tidak cukup luas (menurutku). Perbatasannya juga oke karena ditumbuhi pepohonan hijau yang dipayungi langit biru yang cerah. Batu-batuannya juga tertata rapi dan mempesona. Menambah kesan asri, sebuah aliran air terjun mengalir menghasilkan suara gemercik yang memanjakan indra pendengaran. Hanya saja ... aku mengharapkan lebih untuk semua keringat yang sudah kubayar.

"Kamu sadar nggak sih, layaknya perjalanan yang baru aja kita lewati, kadang-kadang kita berusaha terlalu keras untuk pencapaian yang sebenarnya tidak seberapa. Tidak sesuai ekspektasi. Tapi kamu tahu nggak apa yang bakal membuat semua ini jadi berbeda?"

Aku diam menunggu Roy selesai dengan kuliahnya. Dia benar-benar kesambet flying lemur –salah satu binatang penghuni hutan yang baru saja kami lewati—hingga membuatnya mendadak mirip filsuf.

"Yang membuat beda itu, cara kamu menikmatinya, Lena. Nih ...." Roy menangkup air dalam telapak tangannya untuk dicipratkan ke wajahku.

Segar.

Detik pertama air telaga yang dingin bersinggungan dengan kulit wajahku, aku merasa sensasi kesegaran yang tidak bisa kudefenisikan. Nyaman. Ringan. Bugar. Harga untuk semua kepenatan untuk sampai pada titik ini ternyata tidak seburuk itu.

Baru saja aku ingin membalas Roy dengan menyipatkan air telaga, lelaki itu ternyata sudah menceburkan dirinya sendiri ke dalam dinginnya air. Dia hanya perlu menanggalkan jaket dan baju kaus yang dikenakannya untuk kemudian bercengkrama dengan air telaga. Dengan gerakan cepat dan lincah, Roy sudah mengeksplorasi telaga dari ujung ke ujung.

Sementara aku, aku butuh cukup waktu untuk mempersiapkan diri terlebih dahulu. Aku harus membuka jeans dan menyisakan celana pendek di dalamnya. Lalu membuka jaket dan menyisakan baju kaus berlengan pendek, baru kemudian memilih area bebatuan yang cukup tinggi dan kedalaman telaga yang cukup untuk mencelupkan kaki hingga sebatas lutut.

Sensasi dinginnya benar-benar menyegarkan.

Tapi kenapa pijakan ini terasa lebih lembut daripada batu pada umumnya ya?

Saat aku menunduk ke arah kakiku berpijak, permukaan pijakan itu mendadak limbung, sebelum akhirnya menggelembung naik bersama kedua kakiku. Tubuhku kehilangan keseimbangan seketika.

Pijakan tempat kakiku menumpu ternyata bukan batu, melainkan punggung seseorang. Demi Tuhan aku memijak punggung seseorang!!!

Orang itu lantas bangkit karena posisi kakiku yang menumpu di atas punggungnya mengusik kegiatan berendamnya. Saat dia bangkit, tubuhku nyaris terjerembap. Tapi pemilik punggung refleks menempatkan tangan kukuhya di balik punggungku hingga tubuhku terselamatkan topangan tangannya.

Semuanya berlalu terlalu cepat.

Aku tidak ingat bagaimana tanganku sudah melingkar di lehernya. Tapi yang aku ingat jelas, tetesan air dari rambutnya yang dipotong pendek jatuh membasahi pipiku, hembusan napasnya yang hangat menyapu permukaan kulitku, wangi tubuhnya yang beraroma kayu berpadu citrus menyeruak ke rongga hidungku. Memberi sensasi maskulin dan sensual sekaligus.

Saat matanya menatap tajam mataku, aku ingat di mana pernah melihatnya. Dia ....

"Chris Evans?!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro