26. Dua Puluh Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lena!!!" Will melambaikan tangannya tepat saat aku melangkahkan kaki menapaki pintu keluar terminal kedatangan luar negeri Bandara Changi, Singapura.

Hari ini, Will membuktikan lagi kasih sayangnya padaku. Will yang katanya kurang bersahabat dengan acara di keramaian, kupaksa ikut menonton konser Coldplay yang akan diadakan di National Stadium, di Kota Singa ini. Tidak tanggung-tanggung, aku bahkan memilihkan posisi bagian festival, di mana para penonton harus berdiri sepanjang acara, berbaur dengan penonton lainnya di depan panggung megah itu nanti. Will jelas-jelas menunjukkan ketidaknyamanannya saat kuceritakan tentang posisi festival ini, namun dia akhirnya tetap setuju menemaniku.

Will sebelumnya sudah bolak-balik mencoba mengusulkan agar aku ditemani Naya atau Siva saja. Bukan tidak ingin menuruti saran sang suami, hanya saja kedua sahabatku itu pun berhalangan untuk menonton konser ini. Padahal mereka juga nge-fans berat pada Band asal Inggris itu, sama seperti aku.

Berhubung hari diadakannya konser bersamaan dengan hari kepulangan Will seharusnya ke Jakarta, aku memintanya untuk bertemu di Singapura saja. Dia bisa menyebrang dari Batam, sementara aku akan menyusul dengan pesawat dari Jakarta. Dan di sinilah kami sekarang, dipertemukan oleh janji yang sudah disepakati bersama.

"Kangen aku nggak?" todongku saat membalas pelukan Will.

"Banget," balasnya.

Selalu begitu. Setiap kali, hanya aku yang perlu dipastikan tentang perasaan Will. Tentang cintanya, tentang rindunya, dan jawabannya tidak pernah mengecewakan. Will sendiri tidak pernah merasa perlu memastikan perasaanku. Entahlah karena dia cukup percaya diri, atau mungkin merasa keberadaanku di sisinya saja sudah cukup baginya.

Beriringan, kami berjalan ke gerai makanan cepat saji terdekat. Ini sudah jam makan siang, kami akan mengisi perut dengan makanan sampah sebelum kembali ke Jakarta dan mulai makan makanan sehat lagi. Sebagai pasangan yang hidup di kota metropolitan, makanan pilihan kami tergolong sehat. Kami lebih sering makan masakan rumah daripada makan di luar.

"Kamu yakin nggak mau menginap aja?" tanya Will di sela-sela kegiatannya mengunyah burger.

Aku memang berencana untuk kembali ke Jakarta dengan pesawat besok subuh. Bukan tidak ingin menyempatkan waktu untuk sekalian berlibur dengan Will di sini, hanya saja, aku sudah kepalang janji dengan Mama Yoana untuk berkunjung ke rumahnya besok malam.

"Nggak enak sama Mama Yoana, Will. Udah lama banget kita nggak main ke sana. Dia pasti kangen kamu juga. Kamu kan anaknya satu-satunya."

"Aku bisa bilang sama Mama untuk ketemuan besok lusa aja, kalau kamu emang pengin nginap di sini dulu."

"Nggak deh, abis nonton konser, kita keliling-keliling bentar, trus langsung balik ke bandara aja. Pulang."

"Oke. Aku ikut apa kata kamu aja. Tapi kamu masih ingat janjimu kan?"

Pertanyaan Will tidak susah dijawab, tapi mengingat jawabannya saja sudah membuat burger di dalam mulutku susah untuk ditelan. Bagaimana aku bisa lupa dengan bayaran yang diminta Will untuk pengorbanannya terjebak dalam keramaian di konser kali ini?

Bujuk rayuku untuk membuatnya rela menonton konser ini berujung pada sebuah janji untuk mengenakan dua lingerie yang masih tersimpan apik dalam lemari pakaian, lingerie pemberian Naya dan Siva pada hari pernikahan kami dulu. Aku tidak pernah menyangka mata Will ternyata se-jeli itu untuk melihat benda-benda sensual seperti itu.

"Kamu ini pamrih apa modus sih?" sindirku, lantas menyedot minuman soda melalui pipet untuk membantu mendorong makanan yang mendadak berubah bentuk seperti batu saking susahnya ditelan.

Will hanya memberi respons dengan mengendikkan bahu dan tersenyum sekilas.

Siang menjelang sore hari itu kami habiskan dengan mencicipi berbagai kuliner di negeri Singa, sambil berfoto-foto ria di berbagai spot.

Selain mampir di Merlion –tempat patung berkepala singa dengan tubuh ikan—yang digadang-gadang sebagai ikon negera ini, kami juga sempat berkunjung ke gedung Esplanade (gedung unik yang mirip buah durian) dan juga Marina Bay Sands.

Pada setiap spot, aku meninggalkan jejak dengan mengunggah foto di instagram dengan William sebagai fotografernya. Will ternyata berbakat untuk menghasilkan foto-foto yang sangat instagramable. Tahu begitu, aku pasti sudah memanfaatkan kemampuannya sejak di Bali dulu. Huh.

Aku dan Will sudah memasuki kawasan Stadion satu jam sebelum acara dimulai. Menuruti saran Will, kami memilih untuk berdiri pada sisi paling belakang, dekat dengan pagar pembatas (area festival).

"Nanti kalau di depan desak-desakan, aku susah jagain kamu," Will beralasan.

Alasannya yang tidak sepenuhnya gombal karena dia benar-benar menjagaiku selama konser. Benar-benar menjagai. Membentengi seluruh tubuhku dalam rangkumannya. Membuatku merasa nyaman dengan menyandarkan kepalaku di dadanya. Kepala Will akan diletakkan sesekali di atas ubun-ubunku, tidak lupa memberikan kecupan ringan di sana. Untuk menikmati lagu-lagu yang cukup energik, Will akan melepaskan pelukannya dan membiarkanku melompat-lompat di tempat.

Will sudah melingkarkan tangannya lagi saat Chris Martin, sang vokalis Coldplay—mulai melantunkan lagu Everglow. Aku jadi ingat Will pernah memintaku untuk memutarkan lagu ini khusus untuknya waktu dia masih dalam masa pendekatan, dulu.

"Lagu ini ngingetin aku ke kamu banget," ujar Will di dekat telingaku.

Mengalihkan kepala menghadap wajah Will, tanpa membentang jarak karena punggungku tetap bersandar di dadanya, aku bertanya, "Kenapa?"

Will tidak langsung menjawab, dia menunggu Chris Martin menyelesaikan bait pertama lagunya.

Well, they say people come

They say people go

This particular diamond was extra special

And though you might be gone and the world may not know

Still I see you, celestial.

"Celestial," Will bersuara bertepatan dengan Chris Martin mengucapkan kata yang sama, "That's how I see you."

Tidak bisa menahan perasaan yang membuncah, aku tersenyum. Senyuman yang disambut Will dengan sebuah ciuman manis. Di tengah-tengah keramaian, aku membuktikan teori lawas itu, bahwa ketika sedang bersama dengan orang yang dicintai dunia serasa milik sendiri. Orang-orang yang larut dalam indahnya konser mendadak hilang dari pandanganku. Hanya ada Will yang kulihat. Hanya ada suara Chris Martin yang kudengar. Seolah Chris Martin khusus melantunkan lagu untuk menjadi backsound khusus yang melatarbelakangi adegan mesra ini.

Aku menutup mata menyambut ciuman Will, merasakan kelembutan bibirnya yang bertaut pada bibirku. Saat aku membuka mata, ribuan gelembung udara beterbangan memenuhi stadion dengan indahnya, seolah sedang di-set khusus untuk memperindah adegan mesra dalam sebuah film romantis. Tapi bukan, gelembung udara itu adalah bagian dari aksi panggung Coldplay. See, bahkan Coldplay saja turut merayakan kebahagiaan ini. Aku tidak pernah merasakan hari yang lebih sempurna dari malam ini.

"Thank you, Will," desisku di akhir ciuman.

**

"Tuh kan, kamu nggak bisa bohong lagi. Kamu udah terciduk menikmati konser, Will," todongku. Bergandengan tangan, aku dan Will masih berdiri di tempat, memberikan kesempatan pada penonton lain untuk keluar dari stadion lebih dulu.

"Oke, aku menyerah. Aku emang suka konsernya. Terlebih karena ditemani kamu." Tangan kami yang bertaut kemudian diayun-ayunkan Will dengan pelan.

"Kamu bakat gombal," ledekku.

Will tidak membantah, hanya tertawa. Tawa yang menular padaku. Bersama dengannya ternyata bisa sebahagia ini.

Tawa yang kuharap bertahan lama itu ternyata harus berhenti seketika. Tubuh Will yang mulai menegang lebih dulu. Melihat reaksi tubuh Will yang tiba-tiba kaku, aku mengikuti arah pandangnya. Di depan Will, hanya berjarak dua meter dari tempat kami berdiri, seseorang memandangi kami dengan terang-terangan. Seseorang yang tidak kusangka berhasil membuat tubuhku ikut-ikutan kaku.

Gery.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro