27. Dua Puluh Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu nonton sama siapa?"

Aku dan Gery sepakat untuk berbicara empat mata pada salah satu anak tangga di dekat salah satu pintu masuk stadion yang berhadapan langsung dengan pusat perbelanjaan. Kesan hangat yang tercipta karena penerangan lampu yang posisinya bertepatan di atas kepala kami, berhasil melunturkan segala kekakuan yang terjadi sejak pertemuan pertama tadi.

William sendiri dengan besar hati memilih untuk menyingkir dengan menunggu pada salah satu gerai kopi, tidak jauh dari tempatku berbicara dengan Gery.

"Suamiku," jawabku mantap.

"SUAMI?!" Gery tampak tidak menduga jawabanku, "Kamu beneran udah menikah?"

Aku mengangguk, "Hampir lima bulan, nikah di Bali, privat party."

"Jadi laki-laki itu beneran William yang waktu kecil badannya kayak gentong?!" sambung Gery, masih sama histerisnya dengan sebelumnya. Aku heran bagaimana bisa Gery tahu sampai sedetail itu tentang masa kecil William, tapi aku tidak menanyakannya. Aku hanya mengangguk mengiyakan pertanyaannya.

"Aku udah bela-belain menolak percaya dengan semua omongan orang tentang pernikahan kamu karena aku percaya kamu bakal nunggu aku, Lena!!!" Menghela napas kasar, Gery menolak tubuhnya hingga berdiri dari duduk. Dia mulai mondar-mandir dengan gelisah. "Kok bisa kamu menikahi laki-laki lain??? Kita putus belum setahun!" erang Gery. Berapi-api.

Sejujurnya, aku setuju dengan ide bicara empat mata ini sekadar untuk berdamai dengan Gery. Sebenci-bencinya aku dengan akhir hubungan kami, dia tetap pernah menjadi orang pertama dalam berbagi susah dan senangku. Adalah wajar untuk menghilangkan semua luka, bukan untuk kenyamanan hidupnya, tapi hidupku. Aku tidak ingin menyimpan dendam.

Tapi sepertinya pilihanku salah. Pembicaraan ini justru berhasil menyulut emosiku, "Kamu bahkan menikahi perempuan lain di saat aku masih menyandang status sebagai pacarmu, Ger!"

"Tapi itu kan kecelakaan, Lena! Aku bisa membagi tubuh ini untuk ribuan perempuan, tapi kamu tahu kan kalau aku enggak akan pernah membagi hatiku. Hati ini cuma punya kamu, Lena!" teriak Gery.

Aneh, aku malah ingin menertawai pernyataan gilanya itu, "Ha-ha. Kamu nggak akan bilang gitu kalau di sini ada ayahmu, Ger. Dia bisa melobangi kepalamu dengan senapannya kalau tahu anak laki-laki yang selalu dibangga-banggakannya ternyata sedang menggoda mantan pacar sementara anak dan istrinya menunggu dengan setia di rumah," sindirku sarkas.

"Kamu pikir kenapa aku nggak menghubungi kamu selama ini?" tanya Gery penuh penekanan. Tanpa menunggu jawabanku, dia menjawab pertanyaannya sendiri, "Karena aku sedang mencari ribuan cara yang paling memungkinkan untuk kembali lagi sama kamu! Dan memastikan nggak akan ada yang bisa menjadi penghalang kita, nantinya!"

"Sayang sekali itu bukan urusanku, Ger. Lagipula, aku cuma mau bilang terimakasih untuk waktu sepuluh tahun yang udah kita habiskan bersama. Walau aku nggak bisa mengembalikan semua umur yang terbuang selama bersama kamu, kuharap sisa umur kita bersisa bisa kita lewati dengan bahagia. Dengan pasangan masing-masing. Selamat malam!" aku memutuskan untuk menghentikan pembicaraan di sini. Beranjak dari duduk, aku mulai melangkah menjauh.

Baru satu meter aku menjauh dari Gery, langkahku terhenti karena mendengar teriakannya, "Aku sudah menggugat cerai Gista, Len. Demi kamu."

Saat aku memutar tubuhku menghadap Gery, dia lanjut menjelaskan, "Akhir bulan ini sidang pertamanya."

"Trus, gimana nasib anak kamu?"

Astaga Lena, tolong berhentilah bersikap kepo di saat-saat seperti ini. Anak Gery sama sekali bukan urusanmu!!! Teriak suara dari dalam kepalaku. Mendadak aku menyesal sudah melontarkan pertanyaan bodoh itu.

"Gista keguguran di bulan ke-enam usia kandungannya."

Tanpa kusadari kedua tanganku bergerak bersamaan menutup mulut, tidak percaya nasib Gery ternyata bisa se-menyedihkan itu.

**

"Kenapa minum kopi? Nanti kamu nggak bisa tidur lho!" dumelku saat mengintip isi gelas William.

"Emang kita nggak bakal tidur kan? Jadi, langsung pulang besok subuh?" tanya Will. Datar, tapi aku seperti merasa air mukanya lebih sendu. Aku punya firasat kalau Will sedang berpikiran aneh tentang pertemuanku dengan Gery.

Enggan merusak hari yang seharusnya paling membahagiakan ini, aku memilih untuk tidak membahas Gery lagi. Laki-laki itu sama sekali tidak pantas menjadi perebut kebahagiaanku dengan Will.

"Jadi dong, tapi selagi kita masih di sini, kita nikmati aja dulu waktu yang tersisa."

Pandangan Will mulai menerawang saat bergumam, "Waktu yang tersisa ...? Kayak kamu bakal ninggalin aku?"

Astaga, Gery benar-benar berhasil merusak suasana! Sebelum sisa hari ini menjadi lebih buruk lagi, aku buru-buru menarik tangan Will keluar dari gerai kopi.

"Ke mana kita?" tanya Will saat grab pesanan kami sudah datang. Aku yang memesannya hingga Will tidak tahu tujuan perjalanan ini.

"Kelab!" jawabku semringah.

"Kelab?" Will memastikan saat kami sudah duduk bersisian di bangku penumpang.

"Kalau laki-laki perlu alkohol sebagai pelarian dari sakit hati, perempuan mungkin perlu alkohol untuk merayakan hati berbunga-bunga?"

Will bergeming sesaat sebelum memutuskan untuk bertanya, "Hati kamu sedang berbunga-bunga?"

Nggak ada hal yang lebih membahagiakan selain mendapat ciuman dari orang yang dicintai sambil diiringi suara Chris Martin. Aku mengangguk semangat, "Hmm!"

"Jangan kasih tahu aku kenapa, aku nggak mau merusak hari ini." Will menggumam cepat sebelum membukakan pintu belakang mobil untukku, sementara dia memilih duduk di kabin depan.

Ah, aku benar-benar menyesal telah meluangkan waktu dengan Gery.

**

Mobil grab yang kami tumpangi akhirnya berhenti pada salah satu hotel mewah yang difasilitasi sebuah kelab yang sedang happening di kalangan anak muda Singapura.

Will pasrah-pasrah saja saat kutarik tubuhnya masuk ke dalam ruangan gemerlap itu. Dentuman musik kuat langsung menyambut pendengaran kami. Aku dan Will harus bicara dengan mode teriak meski jarak kami berdekatan.

"Kita duduk di situ aja. Dekat bartender." Will menunjuk area tengah, tempat sebuah meja bar tinggi yang dikelilingi bangku-bangku tinggi di setiap tepinya.

Tempat yang ditunjuk Will sebenarnya sudah cukup sesak –tapi tergolong lebih lapang daripada tempat lain—beruntung setibanya kami di tempat itu, ada satu pasang muda-mudi yang beranjak turun ke lantai dansa. Will langsung menyuruhku duduk pada salah satu bangkunya dan kemudian dia berbisik untuk memintaku agar menunggunya di situ. Will mendapat panggilan alam yang harus dituntaskannya.

Aku mengacungkan jempol tanda sepakat.

Baru lima menit aku duduk sambil menggerak-gerakkan tubuhku ringan, mengikuti alunan musik, seorang perempuan muda datang menghampiri. Perempuan muda yang kalau kutaksir masih sepantaran dengan usiaku. Dia mengulas senyum ramahnya saat mata kami bersiborok, membuat matanya yang sipit menyisakan sebuah garis tipis.

"Celebrating something?" sapanya ramah. Walau setengah berteriak, caranya berbicara sama sekali tidak mendekati kesan galak, alih-alih ramah.

"Yes!" jawabku mengangguk-anggukkan kepala.

"So am I," sambut wanita itu tak kalah semringah, dia lantas berteriak nyaring pada bartender untuk meminta dua gelas minuman. Entahlah apa nama minuman yang dipesannya, aku bahkan tidak mengerti.

Kupikir dia sedang memesan minuman untuk temannya, tapi ternyata setelah dua minuman pesanannya selesai, dia malah menyodorkan satu padaku.

"Cheers to our happiness," katanya saat menyodorkan.

"Oh, you don't have to-" belum sempat aku menolak halus tawarannya, dia sudah membujuk lagi.

"Oh, please. I insist," desaknya, tidak lupa dia memasang tatapan mata puppy eyes yang berhasil meluluhkanku. "I just want to share my happiness with you."

Akhirnya, kuraih juga gelas yang disodorkannya dengan senyuman ringan.

"One shot, okay?" titahnya lagi.

Otoriter, simpulku hanya dalam lima menit interaksi kami. Dia adalah tipikal perempuan yang tidak boleh ditentang. Namun melihat segala atribut yang menempel pada tubuhnya. Kurasa aku tidak perlu curiga. Dia lebih mirip orang kaya yang selalu mendapatkan keinginannya daripada seorang penjahat.

Jadi kuputuskan untuk percaya padanya. Kepalaku kuendikkan dua kali untuk menyatakan persetujuanku.

Glek!

Isi gelas tandas dalam satu kali teguk.

Dia dan aku meringis bersamaan menahan getir yang memenuhi rongga mulut hingga tenggorokan. Minuman pilihannya pastilah sangat keras. Tapi yang terjadi selanjutnya, kami malah tertawa-tawa kegirangan. Seperti baru saja dipertemukan dengan teman lama saja rasanya.

Tidak berhenti di situ, perempuan itu kemudian menggiringku ke lantai dansa. Di antara padatnya para pengunjung, aku dan dia meliuk-liukkan badan mengikuti irama dari lagu EDM yang memenuhi Kelab. Entahlah karena sudah lama tidak bercengkerama dengan kelab, atau karena pengaruh alkohol yang sudah bercampur di dalam darahku, gerakanku menjadi sangat liar saat menari.

Pada menit entah ke berapa, seorang pria datang menghampiri dengan membawa dua buah gelas berisi minuman yang sama persis seperti yang baru saja kami tenggak. Minuman itu disodorkan pada sang pria kepada teman baruku yang mengajakku menari di lantai dansa. Saat menyambut dua gelas minuman itu, teman baruku malah menyodorkan salah satunya padaku.

"Oh, no. I had enough," tolakku halus.

Lagi-lagi dia merengek, benar-benar tidak ingin ditolak. Mengingat ada Will yang akan menjagaiku, aku pun menerima gelas pemberiannya dan menenggak minuman itu hingga tandas. Bersamaan dengan kosongnya isi gelas, tubuhku benar-benar ambruk.

Entahlah mataku sudah rabun, atau aku benar-benar mabuk, tapi dalam penglihatanku, aku melihat Gery yang membantu menopang tubuhku. Tidak hanya membantuku berdiri dengan benar, tapi dia juga menciumku. Tepat di bibir.

PLAK!!!

Kutampar dia keras. Tidak peduli dia Gery atau bukan, kurasa aku benar-benar sedang kacau sekarang. Aku harus segera menemukan Will sebelum kesadaranku semakin hilang. Dengan langkah terhuyung-huyung, aku kembali pada meja bartender tempat di mana William meninggalkanku sebelumnya.

Syukurlah dia sudah di sana. Kepalanya celingak-celinguk, sepertinya sedang berusaha menemukan keberadaanku. Lega melihat penampakannya, aku pun mendesak semua penghalang di depanku untuk bisa berlari ke arahnya.

Ketika jarak terbentang sejauh dua meter, mata Will menemukanku. Refleks aku melambai karena begitu senang aku masih bisa menemukannya sebelum aku benar-benar tumbang.

Bersamaan dengan lambaian tanganku yang lemah, tubuhku oleng. Will cepat menangkap. Aku terperangkap dalam pelukannya. Satu tangan Will terulur untuk meraih daguku dan dihadapkan ke wajahnya. Aku bisa melihat betapa seksinya tatapan matanya saat mengamatiku, "Are you okay?"

Alih-alih menjawab, aku malah mengikuti gesture Will dengan menjepit dagunya yang sudah mulai ditumbuhi rambut-rambut kasar. Membayangkan sensasi rambut itu bergerilya menyusuri tubuhku, membuat sesuatu dalam tubuhku berdenyut kencang.

Tidak bisa melawan hasrat, kutarik dagu Will yang masih diapit kedua jemariku –jempol dan telunjuk—untuk didaratkan pada bibirku sendiri. Will menyambut ciumanku. Dia membalas semua seranganku, mulai dari kecupan-kecupan ringan, lumatan besar, hingga lidah saling membelit.

Dentuman musik yang mengentak kelab rasanya tidak bisa menandingi kerasnya debaran jantungku saat mendapat balasan dari Will. Seperti baru saja dilanda kelaparan berkepanjangan, ciuman Will terasa tidak pernah cukup. Kurang lama. Kurang banyak. Kurang lagi dan lagi.

Aku nyaris kehabisan napas saat Will mendorong tubuhku menjauh. Dia sama terengah-engahnya denganku saat bertanya, "Kamu mabuk?"

Cekikikan, aku mengangguk di depan Will.

"Shit!" umpat Will saat menarik tubuhku kasar, keluar dari kelab.

Inginku marah, tapi aku malah tertawa. Tawa yang tidak berhenti bahkan setelah kami terjebak di dalam kotak lift yang akan mengangkut kami ke kamar yang sudah Will pesan buru-buru.

Will menatapku garang saat aku bersandar pada salah satu sisi dinding lift. Tidak bisa menahan kekesalannya lagi, Will menyuarakan isi hatinya, "Kamu nggak seharusnya menerima minuman dari sembarangan orang, Lena. Gimana kalau ternyata minuman kamu ada obat terlarangnya? Gimana kalau, hmmpp-"

Repetan Will terpotong ciumanku.

Apa dayaku, melihat jakunnya yang naik turun saat merepet saja pun rasanya seksi. Apalagi saat bibirnya tidak berhenti komat-kamit ... aku ingin melahapnya!

Seolah ciumannya saja tidak cukup, Will harus rela kutelanjangi. Tanganku bergerak cepat meraih baju kaus Will untuk segera dilucuti. Untunglah Will cukup sadar untuk bisa menggiringku dulu ke dalam kamar sebelum kami terlanjur jadi tontonan gratis.

Malam ini sepertinya akan jadi malam yang panjang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro