29. Dua puluh sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku masih belum berhasil meluruskan pikiran Will lagi setelah kesalahpahaman yang terjadi di Singapura semalam. Seolah sengaja menghindar, Will langsung tidur setibanya di Jakarta. Dia bahkan tidak kembali sampai jam siaranku tiba setelah pergi dari apartemen untuk jogging seperti biasa.

Aku jadi tidak bisa sepenuhnya fokus saat memandu acara bedah buku Rika Utomo, penulis best seller itu sehabis siaran hari ini. Semuanya gara-gara Will. Dia selalu sukses merebut porsi paling banyak dalam pikiranku. Membuat kerjaku nyaris kacau. Rasanya aku ingin buru-buru pulang saja, demi menemui Will dan menyelesaikan semuanya.

Sialnya begitu saat yang kutunggu-tunggu tiba, kesempatan untuk menyelesaikan permasalahan itu tidak kunjung kudapat. Aku lupa kalau malam hari ini kami sudah kepalang janji dengan Mama Yoana untuk datang berkunjung.

Alhasil, kekakuan itu masih menguasai hingga malam ini. Dia bahkan tidak bisa berpura-pura manis di depan kedua orangtuanya.

"Nggak ada rencana nunda punya anak kan?" korek Mama Yoana.

"Nggak kok, Ma. Lena malah udah nggak sabar," jawabku yang langsung ditentang Will.

"Jangan bicara omong-kosong, Lena!" Semua mata langsung tertuju pada Will. Tidak bisa meredam lagi kekesalannya, Will bahkan pergi sebelum menyelesaikan makan malamnya, "Aku cari udara segar dulu."

"Kamu lagi ada masalah sama William?" tanya Mama Yoana sepeninggal Will.

Bingung harus menjawab apa, jadi aku memilih untuk diam.

"Aneh, William biasanya paling pinter mengatur emosinya. Kok bisa dia tiba-tiba jadi emosional begini?" Papa Yudha ikut merenungkan keanehan William. Tapi kemudian dia mencoba menenangkan dengan berkata, "Lagi ada masalah di kerjaan kali ya. Kamu yang sabar ya, Lena. Papa yakin kok kamu bisa mengatasi."

"Kamu coba susul William deh," usul Mama Yoana, "Maaf ya, kalau William tiba-tiba kekanak-kanakan begini. Udah lama sih, dia nggak kayak gini. Tapi tenang aja, Lena. Kamu yang penting sabar aja. Dia anaknya nggak bisa dipaksa. Harus pelan-pelan."

Tanpa menunggu petuah lebih banyak lagi, aku langsung beranjak dari tempat duduk, mengikuti jejak William. Membuktikan teori Mama Yoana.

Cukup jauh dari kediaman Papa Yudha, William ternyata bersembunyi pada salah satu gang buntu yang sepi. Di bawah kakinya sudah ada lima puntung rokok yang habis terbakar. Padahal belum lama dia berdiri di sana. Airmataku langsung luruh melihat pemandangan itu. Istri macam apa aku yang hanya bisa menjadi beban pikiran untuk suaminya?

"Lena?" entah pada menit ke berapa, aku tidak ingat, Will tiba-tiba menyadari keberadaanku.

Cepat-cepat dilemparkannya rokok yang masih membara di ujung jarinya dan memijaknya brutal untuk mematikan puntung yang tersisa setengah itu. "Kamu kenapa nangis?" Mencoba menenangkan, Will mendekati tempatku berdiri.

"Kalau ini semua karena Gery, aku pastikan kamu dia nggak ada artinya lagi di kehidupanku, Will. Jadi tolong jangan gini lagi ... aku-aku jadi merasa gagal sebagai istri ...," isakku dalam dalam tangis.

Aku bisa melihat kalau Will mulai gelagapan, tangannya bergerak cepat ingin menenangkan dengan pelukan, tapi secepat itu pula tangannya ditarik mundur. Batal menenangkan, Will berkata cepat, "Yaudah, jangan nangis lagi. Kita pulang sekarang."

**

Pulang yang dimaksud Will kukira pulang ke kediaman Papa Yudha, ternyata aku salah. Tanpa merasa perlu pamit terlebih dahulu, Will malah membawaku pulang ke apartemen tempat tinggal kami.

Tergesa-gesa Will masuk ke dalam kamar dan mengeluarkan salah satu tas ranselnya dari lemari, mengisi ransel itu dengan beberapa potong pakaiannya sebelum akhirnya dia pamit, "Tiga hari. Aku janji cuma tiga hari. Bersabarlah sampai tiga hari, aku bakal kembali untuk menyelesaikan semuanya."

"Menyelesaikan apa?" tanyaku bingung.

"Menyelesaikan semua kekacauan ini, Lena," jawabnya tak sabaran.

"Nggak ada yang kacau, Will. Semuanya aman terkendali," tanpa bisa kutahan, aku nyaris meraung. "Kamu nggak boleh kayak gini cuma gara-gara laki-laki brengsek kayak Gery."

"Bukan karena Gery, Lena. Tapi karena kamu."

Mulutku setengah menganga mendengar jawaban Will. Karena aku? Aku salah apa?

"Aku janji cuma tiga hari, kasih aku waktu ...," pinta Will sekali lagi.

Mengingat lagi petunjuk yang diberikan Mama Yoana saat makan malam tadi, bahwa Will tidak bisa dipaksa, bahwa Will harus dihadapi pelan-pelan, aku memaksakan kepalaku untuk mengangguk. "Tapi kamu bakal pulang kan?"

"Kita bicara setelah tiga hari, ya. Aku butuh waktu untuk sendiri dulu."

Dia bahkan tidak bisa menjanjikan kepulangannya ....

**

Tiga hari seharusnya tidak terlalu lama. Tiga hari hanya seperempat dari masa kerja Will di rig. Aku terbiasa ditinggal Will sampai dua minggu selama hari kerjanya, tapi kenapa tiga hari ini terasa begitu lama?

Tidak ada Will, tidurku pun tidak pernah nyenyak lagi, selera makanku hilang. Aku seperti sedang menunggu vonis dokter setelah mengalami gejala penyakit berbahaya. Semuanya jadi tidak nyaman. Serba salah.

Berharap Will masih akan memonitor siaranku, aku bahkan memberikan lagu khusus untuknya saat siaran. Lagu Lady Gaga, The cure, karena lirik lagu itu kupikir bisa memberi sedikit petunjuk bagi Will kalau aku siap menjadi obat untuknya.

If I can't find the cure,

I'll fix you with my love

No matter what you know, 

I'll fix you with my love

And if you say you're okay

I'm gonna heal you anyway

Promise I'll always be there

Promise I'll be the cure

Karena Will meminta waktu untuk sendiri, aku menahan diri untuk mengiriminya pesan. Padahal tanganku sudah gatal ingin menanyakan kabarnya, menanyakan tentang keberadaannya, menanyakan tentang perasaannya, dan ... menanyakan tentang rindunya. Tidakkah dia merindukanku? Aku sudah hampir gila karena rindu ini.

Ini seharusnya hari kepulangan Will kalau tiga hari yang dimaksudnya muncul tepat di hari ketiga. Hari sudah mulai gelap, tanda-tanda kepulangannya masih jauh, jadi aku memutuskan untuk menghubungi Fey, mantan pacar Will yang pernah mengingatkanku betapa Will akan sulit dihadapi ketika sedang marah.

Mencari akun instagram Fey dari daftar followers William, aku mengirim pesan langsung padanya. Mengajak untuk bertemu. Sungguh kebetulan yang menyenangkan karena dia juga sedang ingin menemuiku untuk memberikan secara langsung undangan pernikahannya yang akan diadakan minggu depan.

"Kalau aku tahu cara menghadapi kemarahan Will, kami nggak akan bubar jalan begini, Lena," kata Fey saat kutanyakan tentang cara menghadapi kemarahan Will. Setelah berkirim pesan lewat fitur pesan langsung di instagram semalam, kami sepakat untuk bertemu makan siang di dekat kantorku. "Aku beneran nggak bisa dicuekin, jadi aku minta putus."

Kekecewaanku saat mendengar jawaban Fey kulampiaskan dengan menggigit bibir bawahku. Will ternyata pribadi yang cukup sulit dihadapi.

"Tapi kamu tenang aja, kalau dia bilang akan menyelesaikan semuanya. Dia pasti akan akan menyelesaikannya. Dia orang yang betanggungjawab." Fey berusaha menguatkanku dengan genggaman tangannya yang hangat.

Saat itu pulalah, seorang pria familiar tiba-tiba nimbrung di meja kami.

"Lena?" tanyanya takjub, "Gimana kamu bisa kenal sama Lena, Yang?" tanyanya lagi, pada Fey.

"Udah saling kenal? Ini Daus, calon suamiku, Lena. Dia-"

"Udah nggak perlu dikenalin, udah akrab ini kok," potong pria itu.

"Kenal darimana kamu?" penasaran Fey.

"Ini kan Lena-Lena cinta matinya Gery itu lho, Yang," jawab Daus gamblang. Daus sang manager Jibril sama sekali tidak tahu kalau dia sedang membuat darahku semakin mendidih dengan mengumbar cerita tentang kisah cintaku dengan Gery yang sudah kandas.

"Itu dulu, Mas. Sekarang udah enggak!" potongku cepat.

"Enggak gimana maksud kamu? Gery sampai bela-belain cere'in si Gista biar bisa balik ke kamu lagi katanya. Kamu belum tahu ya? Lusa sidang pertamanya," Daus membeberkan.

"Astaga! Apa gara-gara itu William marah, Len? Beritanya udah nyebar di media soalnya. Gista bahkan udah ngomong di salah satu infotainment kalau dia minta cerai karena adanya orang ketiga," ucap Fey dramatis.

Tanpa bisa kutahan lagi, airmataku meleleh membasahi pipi. Tidak biasanya aku secengeng ini. Tapi kalau masalahnya sudah berbelit begini, apa lagi yang bisa kulakukan kalau bukan menangis?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro