30. Tiga Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Will pulang di hari ke empat. Tiga hari yang dimaksudnya benar-benar 3x24 jam. Sebelum kedatangannya, aku sempat mengiriminya pesan singkat tentang undangan pernikahan Fey.

"Kapan acaranya?" tanya Will, tampak berusaha keras untuk terdengar biasa.

"Minggu depan, Will. Kita datang kan?" tanyaku kaku.

Kehadirannya yang tiba-tiba sudah duduk di sofa saat aku keluar dari kamar mandi tidak bisa kusambut dengan pelukan, Will juga dengan sengaja menempatkan tumpukan bantal di pangkuannya hingga aku tidak bisa merebahkan kepalaku di sana. Dia masih marah. Aku jadi bingung cara menghadapinya.

"Liat ntar aja deh," balasnya. Masih sama hambarnya dengan sebelumnya.

Tidak bisa menahan atmosfir yang tidak nyaman ini lebih lama lagi, aku memutuskan untuk menarik semua bantal kursi yang dipangku Will, dan menempatkan kepalaku sebagai gantinya.

"Nggak kangen sama aku?" tanyaku dari bawah dagu Will. Rambut-rambut yang tumbuh di sana tampak lebih panjang dan berantakan. Will sepertinya tidak bercukur tiga hari ini.

Tidak biasanya Will butuh waktu cukup lama untuk menjawab pertanyaan sepeleku. Dia bahkan harus menelan salivanya susah payah sebelum menjawab, "Kangenku tersesat, dia nggak tahu arah menuju hatimu, Lena." Aku tidak bisa memastikan raut wajahnya saat menjawab, karena Will konsisten menatap layar televisi, alih-alih menatapku.

Buru-buru aku bangkit duduk, menangkup wajah Will dalam kedua telapak tanganku, dan mengarahkannya ke depan mataku, "Maksud kamu apa sih?"

Dengan tatapan mata terlukanya, Will menjawab, "Kupikir perjuanganku untuk menuju hatimu sudah dekat saat kamu bersedia menikah denganku, nyatanya, kamu tetap saja jauh. Di luar jangkauanku."

"Sok tahu!" kesalku.

"Aku tahu kamu lebih daripada kamu tahu diri kamu sendiri, Lena."

Entah mengapa jawaban Will malah membuatku ketakutan. Berusaha menepis segala pikiran buruk, aku menyangkal, "Bohong!"

"Aku tahu kamu sengaja melanjutkan sekolah jauh dari St. Abba Capito karena menghindari bully-an dari teman-teman SD. Aku tahu kamu bahkan nggak berani berteman dekat dengan siapapun selama SMP. Aku tahu berapa kali kamu mengganti potongan rambut saat SMA. Aku bahkan tahu kamu ke mana setiap kali bolos kuliah bareng dua sahabatmu itu."

Rangkuman tanganku mendadak mengendur, jatuh di pangkuan Will.

"I'm your number one stalker, Lena." Will tertawa sinis.

"Jadi sekarang kamu nyesal nikahin aku? Karena ternyata kamu bukan beneran cinta?" kuutarakan segala ketakutanku. Ketakutan yang melintas di kepalaku selama Will menghilang bekangan ini, "Dan kamu sengaja menghindar? Karena kamu baru sadar kalau semua cintamu untukku palsu?"

Tawa sinis Will meledak semakin mengerikan. Seperti kesetanan, tawanya tidak berhenti dalam waktu yang cukup lama. "Andai saja semua bisa berjalan semudah hipotesa kamu itu." Will menyeka air dari sudut mata, sisa tawanya yang merekah hingga meneteskan airmata. Ambigu. Dia jelas-jelas sedang menertawakan hipotesaku, tapi kenapa di saat bersamaan dia juga tampak bersedih?

"Andai saja cintaku beneran palsu. Aku nggak akan sesakit hati ini."

Aku jadi semakin bingung. Will mengarahkan pembicaraan ke sana-ke mari. Dia seperti orang mabuk. Mencoba menghidu aroma napasnya, wajahku mendekat. Alih-alih berhasil menghidu, hidungku malah mendadak berhenti bekerja. Tertabrak tulang hidung Will saat dia menempelkan bibirnya tepat di bibirku, "Bahkan ciuman kamu nggak akan bisa sama lagi ...," gumamnya di depan mulutku.

Will mengurut pelipisnya setelah menjauhkan diri. Dari ciumannya yang aneh barusan, aku tahu kalau dia tidak sedang mabuk. Tidak ada aroma alkohol sama sekali dalam mulutnya. Dia sebenarnya kenapa?

"Kamu nggak tahu betapa aku cinta sama kamu, Lena. Aku sendiri nggak tahu betapa aku cinta sama kamu, sampai aku rasanya hampir gila waktu tahu kamu pacaran sama Gery ... aku nggak pernah tahu perasaanku untukmu itu cinta sampai aku selalu mencari sosokmu dalam diri perempuan lain ... aku nggak pernah tahu perasaanku untukmu itu cinta sampai aku cuma mau menjalin hubungan dengan perempuan yang mirip dengan kamu ... aku nggak pernah tahu itu cinta sampai aku rasanya aku bisa sesakit hati ini karena nggak pernah mendapat balasan cintamu meskipun kamu sudah menjadi istriku ...," Will mulai meracau lagi.

"Aku benar-benar nggak paham maksud kamu, Will."

"Setelah tiga hari berpikir...." Will menarik panas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum melanjutkan, "Kurasa lebih baik kita berpisah saja, Lena ...."

Kalau sedari tadi aku menahan diri untuk tidak berteriak menuntut penjelasan dari Will, sekarang aku tidak bisa menahan diri lagi. Aku langsung bangkit berdiri dan menghunjam Will dengan tatapan membunuh, "Kamu seharusnya nggak pernah berpikir untuk menikahi aku kalau cuma untuk diceraikan tanpa alasan begini, Will!!!" napasku memburu saat meraup udara. Sebesar apapun udara yang masuk dan keluar, paru-paru ini rasanya sakit. Sesak. Perlahan, airmataku mulai luruh. Tapi dengan cepat kuhapus dengan punggung tangan.

"Aku harus melakukan ini sebelum aku benar-benar gila, Lena!" Will ikut berdiri menyamai posisiku. Suaranya bergetar saat membela diri. Seperti sedang berusaha keras menahan emosi yang bergelora di dalam dadanya.

"Dan kamu berhasil bikin aku gila dengan permintaan konyol ini!!! Aku salah apa sama kamu?" lirihku, "Apa kamu nggak bisa ngerasain sendiri gimana aku berusaha menjadi istri yang baik buat kamu selama ini?"

"Istri yang baik aja nggak cukup untuk membangun rumah tangga yang bahagia, Lena. Stop berlindung di balik embel-embel istri yang kamu sandang. Aku akan mencabut gelar itu sekarang juga kalau itu cukup untuk membuat kamu bahagia!" Suara Will ikut-ikutan meninggi.

"Aku bahagia sama kamu, Will!" desakku.

"Gimana bisa kamu bahagia sama aku kalau kamu masih cinta sama Gery?" suara Will terdengar semakin keriting. Emosinya benar-benar sedang tidak terkendali.

"Harus berapa kali aku jelaskan kalau perceraian Gery sama sekali nggak ada kaitannya denganku Will! Aku bahkan baru dengar kabar tentang perceraian itu di stadiun Singapura tempo hari!!!"

"Dan karena dengar kabar bahagia itu, kamu sampai rela mabuk-mabukan dan membagi ciumanmu dengannya, begitu???" Kalau sedari tadi aku rasanya ingin meledak saja, tuduhan Will dengan cepat menurunkan panas dalam tubuhku. Alih-alih berusaha mendebat, keningku berlipat dalam. Sebenarnya apa yang sedang dituduhkan Will?

"Seharusnya aku sadar kalau kamu nggak pernah begitu menginginkanku seperti yang kamu lakukan waktu kamu mabuk waktu itu." Will tertawa sinis sebelum melanjutkan, "Pantas saja kamu seagresif itu. Karena kamu bahkan nggak sadar kamu sedang bercinta dengan siapa."

Kali ini aku benar-benar tidak bisa tinggal diam. Will sudah terlalu keterlaluan. Cepat-cepat kurangkum wajah Will dalam kedua telapak tanganku dan kuarahkan ke depan wajahku sekali lagi. Setelah yakin Will membalas tatapanku, aku berusaha berkata dengan tenang, "Look at me, Will. Aku nggak ngerti apapun yang kamu tuduhkan. Kita harus bicara baik-baik."

Dan setelahnya, semuanya tiba-tiba berjalan dengan sangat cepat. Sampai-sampai rasanya aku kesulitan mencerna semuanya.

Semua informasi yang dibeberkan Will dalam waktu yang tidak lebih dari sepuluh menit berhasil membuatku harus mengatupkan mulut dan tidak tahu bagaimana cara bersuara dengan benar.

Semuanya bermula dari alkohol sialan yang diberikan gadis oriental waktu itu. Aku yang benar-benar mabuk berat saat itu ternyata benar-benar nyaris terjatuh di lantai dansa dan diselamatkan oleh Gery. Ya, Gery. Dan ciuman yang tidak lebih dari tiga detik berlangsung di lantai dansa itu bukan mimpi. Aku benar-benar berciuman dengan Gery di lantai dansa dan kalau ingatanku tidak meleset, seharusnya aku juga berhasil mendaratkan tamparan di wajah Gery setelah insiden itu.

Sialnya, entah kamera siapapun yang berhasil mengabadikan momen ciuman itu tidak mengabadikan momen saat aku menampar wajah Gery. Dia –si Brengsek yang mengabadikan foto ciuman itu—bahkan dengan lancang mengirimkan foto ciuman itu pada Will dan membuat Will mengira kalau aku benar-benar selingkuh.

Seolah-olah itu belum cukup buruk, Will menambahkan daftar kesalahanku lagi dengan suara yang paling dalam yang pernah kudengar, "Kamu bahkan menyebut nama Gery dalam mimpimu. Setelah kita bercinta. Sebenarnya siapa yang kamu bayangkan setiap kali aku menyentuhmu, Lena?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro