7. Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Gosip tentang nasibku yang dicampakkan kekasih merebak begitu saja di Urbanite Radio –radio tempatku bekerja. Susah untuk dibendung memang, apalagi pekerjaanku dan Gery saling berkaitan. Personil Jibril (nama band Gery), sudah beberapa kali datang ke studio baik itu untuk mengisi acara atau sekedar promo album, jadi kepada beberapa rekan sejawat Gery bahkan sudah kuperkenalkan sebagai pacar.

Muncul setelah Gery ternyata menikahi perempuan lain, padahal aku belum mengumumkan tentang perpisahan kami, membuat beberapa orang jadi prihatin melihatku.

Baru setengah jam aku duduk di ruang penyiar, sudah empat kali orang-orang datang sambil menepuk pundakku dan memberi semangat.

"Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku, masih banyak teman-temanku di sini, menemaniku." Juna melantunkan sebait lirik lagu lawas milik Shaden saat menghampiriku. Dia memang punya program khusus acara nostalgia yang mengudara setiap malam minggu, jadi dia sangat fasih dengan lagu-lagu lawas.

Dia adalah orang ke lima yang datang menghiburku hari ini.

"It must have been love but it's over now, It must have been good but I lost it somehow," kubalas Juna dengan melantunkan sebait lirik lagu milik Roxette, yang tak kalah lawas dari lagu yang dipilihnya.

Tawa Juna langsung pecah mendengar nyanyianku yang ku-lebay-lebay-kan dengan wajah sedih.

"Lo emang beda. That's my girl! You rock!" seru Juna saat menepuk pundakku.

Karena dia melihat ke-lebay-an maksimal di wajahku saat menyanyikan lagu patah hati, jatuhnya mungkin terlihat lucu, jadi dia merasa kalau aku sudah cukup kuat menanggung sakit hati ini hingga sanggup melawak. Nyatanya, setelah Juna melipir ke ruang rekaman, airmataku lolos lagi.

Lagu patah hati sialan!

Saat punggung tanganku masih dalam posisi menyeka air di sudut mata, seseorang menerobos pintu ruang penyiar. Mas Tyo, sang Station Manager pelakunya.

"Sibuk?" tanyanya basa-basi.

"Enggak kok, Mas. Siarannya masih dua jam lagi. Ini lagi nungguin list lagu aja dari Naya," jawabku. Sekadar informasi, aku dan Naya bekerja di kantor yang sama. Aku sebagai penyiar radio, sedangkan Naya sebagai Music Director (MD).

"Sempat ngopi dulu dong, di coffeeshop bawah aja kok," ajaknya.

Aku mengangguk menyetujui.

**

Aku sebenarnya sudah menduga kalau Mas Tyo akan menyambung usaha rekan sejawat lainnya untuk menghiburku setelah tahu nasib percintaanku yang mengenaskan. Untuk menghargai usahanyalah, aku setuju untuk ikut duduk di coffeeshop dan menerima traktirannya. Tapi dugaanku sedikit meleset, dia tidak hanya memberi penghiburan, tetapi juga mengutarakan perasaannya sekali lagi.

"Perasaan saya masih sama, Lena. Saya ini pria gamon. Gagal move on. Saya pikir kamu seharusnya sudah bisa menduganya karena saya masih saja jomlo bahkan setelah satu tahun yang lalu ditolak olehmu."

"Mmm ... Sa-saya ...," kerongkonganku mendadak kering. Setelah dilintasi cairan segar macchiato dingin pun masih saja terasa seret. Tanganku lantas mengambil alih kekikukan. Tanganku bergerak ke balik tengkuk untuk menggaruk-garuk kulit yang tidak gatal.

"Nggak usah terburu-buru. Saya tahu kamu masih sakit hati. Saya hanya mau kamu tahu kalau saya bakal selalu ada, kalau kamu butuh seseorang ...."

Baru saja aku ingin mengeluarkan suara untuk mengucapkan terimakasih, sebuah suara tepukan kuat tiba-tiba menggema di udara. Berasal dari pundak Mas Tyo yang ditepuk seseorang yang tiba-tiba muncul entah darimana.

"William?" sapa Mas Tyo saat mendongak ke wajah penepuk.

"Tyo!" balas sang penepuk.

Mulutku yang sudah kupersiapkan untuk bersuara malah menganga lebar sekarang.

Oh ayolah, apakah semesta harus se-usil ini terhadapku? Kenapa harus aku bertemu dengan William lagi??? Di pesawat, di Langkawi, dan sekarang ... bahkan di Jakarta???

"Sama siapa, Will?" tanya Mas Tyo basa-basi.

"Sendiri aja, Yo. Janjian sama temen. Tapi orangnya belum datang," jawab Will kalem. Dia mengulas senyum ringan, tapi wajah datar masih lebih mendominasi, "Lo ... sama...."

"Oh, kenalin. Ini Marthalena, announcer di kantor gue," kata Mas Tyo saat menunjukku.

"Ohh, rekan kerja," gumam Will, nyaris tanpa suara, sambil manggut-manggut.

"Lena, kenalin, ini William, tetangga saya. Kita tinggal di apartemen yang sama, dan di lantai yang sama," kata Mas Tyo memperkenalkan Will padaku.

Alih-alih mengulurkan tangan, Will lebih memilih untuk menarik kursi dan duduk di antara aku dan Mas Tyo. "Kapan kamu kembali ke Jakarta, Lena?"

"Lho? Udah saling kenal?" Pertanyaan Mas Tyo praktis membuatku tidak perlu menjawab Will.

Will mengiyakan dengan sebuah seringai tipis.

"Kita cuma nggak sengaja ketemu, Will. Jangan memberi respons seolah-olah kita akrab begitu," protesku. Urat-urat wajahku sepertinya sudah mencuat saking kerasnya aku menahan emosi. Demi apa si pembawa sial ini nimbrung sekarang, coba?

Wajah Will menegang barang sesaat, dia mungkin tidak menyangka aku akan seketus ini menghadapinya. Bicara soal tidak menyangka, aku lebih tidak menyangka dia akan bersikap seakrab ini denganku. Apa dia tidak sadar, sikap kasarku di Langkawi sama dengan penolakan? Aku tidak suka berurusan dengannya.

Seolah-olah sikap ketusku tidak cukup ampuh untuk membuatnya menyerah, dia memulai obrolan lagi, "Aku datang ke kamarmu pagi itu, tapi kamu nggak ada."

"Aku nggak harus melapor tentang perjalananku sama kamu, kan?" lagi-lagi kujawab sengit.

Will mengangguk-angguk kecil sebelum melanjutkan, "Aku nggak tahu akan bertemu denganmu di sini, jadi aku nggak membawa kacamatamu."

"Nggak masalah. Buang saja!"

Will bergeming, tapi kemudian dia bersuara lagi setelah menghela napas pendek, "Kamu bisa membuangnya sendiri, Lena. Setelah aku mengembalikannya padamu. Aku mencoba menghubungimu, apa pesanku sampai? Aku nggak pernah menerima balasan."

"Oia? Aku nggak pernah membalas pesan dari sembarangan nomor, Will. Sori," jawabku berapi-api.

Telak!

Will terdiam. Alih-alih mendebat, dia memilih untuk mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya dan mengutak-atik isi ponsel.

Detik berikutnya, ponselku yang kuletakkan di atas meja bergetar. Nama 'Gentong Sialan' tertera sebagai nama pemanggil. Will ternyata sibuk memeriksa ponselnya untuk menghubungi nomor ponselku.

Aku, Will dan Mas Tyo sama-sama teralihkan dengan getar ponsel di meja itu. Mata kami tertuju di objek yang sama tanpa berkedip. Aku baru sadar sudah menganggurkan Mas Tyo karena melayani obrolan absdurd tak tentu arah dari Will. Aku terpancing. Dan terperangkap. Sial.

Buru-buru aku menghunjam Will dengan tatapan dingin, kudapati Will justru sedang mengulum senyum saat mataku bersiborok dengan miliknya. Tidak terlalu kentara, karena senyum itu langsung lenyap dalam seper-sekian detik.

"Kamu memang nggak membalas pesan dari sembarangan nomor, Lena. Tapi terimakasih sudah menyimpannya di phonebook-mu."

**

Aku bisa merasakan dadaku masih bergemuruh sekarang. Ada kebencian yang memberontak ingin diloloskan dari tenggorokanku. Alih-alih menekan angka 11 (lantai studio kantorku) di lift, aku malah menekan angka 20 (rooftop) untuk melepaskan satu lolongan untuk melegakan hati.

Setelah terciduk menyimpan nomor ponsel Will, aku buru-buru pergi meninggalkan Mas Tyo dan William di coffeeshop dengan alasan panggilan alam. Padahal aku sedang sekuat tenaga menahan kepalan tanganku agar tidak mendarat pada salah satu bagian wajah William.

Entah mengapa bertemu William saja sudah membuat darahku mendidih, apalagi ketika melihat wajah datarnya mengulum senyum hanya karena dia tahu aku menyimpan nomor ponselnya. Otomatis aku merasa kalah dalam pertarungan tak kasat mata ini. Aku merasa seperti sedang ditertawakan olehnya. Dia seharusnya tidak boleh sesenang itu. Dia seharusnya merasakan semua sakit hati yang pernah ditorehkannya di hatiku dulu.

Kenapa dia bukannya kecewa melihat huruf-huruf yang mewakili namanya kusimpan dengan tulisan GENTONG SIALAN, tapi malah senang hanya karena nomornya kusimpan?

Dia seharusnya tidak boleh senang karena aku. Aku benci membuatnya bahagia.

Baru saja lift akan tertutup setelah kutekan angka 20, pintu lift tiba-tiba terbuka kembali. Menunjukkan penampakan seorang pria lainnya yang paling ingin kuhindari di muka bumi ini. Gery.

Dia bersama dengan beberapa orang personil band-nya berdiri mematung di depan pintu lift yang menganga saat mendapati keberadaanku di dalam kotak lift.

Manik mataku sempat bersiborok dengannya, mengalirkan tegangan listrik yang membuat tubuhku menegang. Dari binar di mata itu, aku masih menemukan cinta dan luka di saat yang sama. Kelenjar airmataku mendadak overproduktif, menghasilkan banyak air yang sepertinya siap untuk tumpah sewaktu-waktu.

Masih dalam mode mematung, Kevin –gitaris Jibril—menyikut pelan tubuh Gery, "Lift yang itu aja, Bro. Lebih lapang," katanya pada Gery, menunjuk lift yang lain. "Yuk, Len," pamitnya kepadaku, disambung oleh beberapa teman Gery yang lainnya.

Aku mengangkat tangan untuk melambai pada mereka, entahlah mereka melihatnya atau tidak karena pintu lift mendadak tertutup. Bersamaan dengan tumpahnya airmataku.

**

Syukurlah pertemuan dengan dua lelaki yang paling ingin kuhindari di dunia ini tidak berhasil merubah mood siaranku menjadi jelek. Mendapat pesan-pesan berisi ungkapan rasa rindu dari pendengar justru meningkatkan mood-ku sehingga waktu tiga jam siaran berlalu tanpa beban sedikit pun.

Aku juga harus berterima kasih pada Naya selaku MD yang menyiapkan playlist untuk kuputar hari ini. Semua lagu pilihan Naya bertema tentang move on, kalau bukan lagu ceria. Ternyata semesta tidak se-usil itu. Semesta masih mempertemukanku dengan kebahagiaan sederhana.

Sehabis siaran, aku bertemu lagi dengan Mas Tyo. Dia ternyata sengaja menungguiku di depan studio untuk mengajakku mengobrol. Dia lantas menggiringku menuju ruangannya setelah aku menyetujui ajakannya.

"Duduk, Len." Mas Tyo menunjuk kursi di depan meja kerjanya, sementara Mas Tyo memilih untuk duduk di belakang meja kerjanya. Kami duduk saling berhadapan dengan sebuah meja sebagai pembatas. "Nggak ngomongin soal pekerjaan sih, kamu keberatan?"

Perasaanku mulai tidak enak, jangan-jangan Mas Tyo ingin melanjutkan pembicaraan tentang perasaannya yang terdistraksi oleh kedatangan William tadi? Ingin menghindar, tapi kurasa aku tidak punya cara untuk kabur, jadi aku menjawabnya dengan, "Enggak papa kok, Mas."

"Katanya personil Jibril ada jadwal photoshoot dan interview di Majalah Hello hari ini," Mas Tyo menyebutkan nama salah satu penghuni gedung perkantoran tempat radio kami bernaung. Pernyataan itu sekaligus menjawab alasan kemunculan Gery di gedung ini, tadi. "Kalau-kalau kamu masih belum siap ketemu, sebaiknya hindari lantai tujuh," kata Mas Tyo menyebutkan lantai redaksi majalah anak muda tersebut.

"Telat, Mas. Tadi udah terlanjur ketemu di lift," jawabku sedikit terguncang.

"Oh, maaf ...." Mas Tyo menunjukkan tampang bersalah.

"Nggak papa kok, Mas. Cepat atau lambat saya bakal terbiasa kok," senyumku sok bijak. "Mau bahas itu aja ya, Mas?"

"Oh bukan, itu cuma pengantarnya. Ada masalah lain yang lebih membuat saya penasaran."

"Masalah apa itu, Mas?"

"William."

"Ya?!"

"Kamu ada hubungan apa dengan William?"

"Maksud, Mas?"

"Dia biasanya nggak pernah bicara sebanyak hari ini dengan saya. Sudah dua tahun saya menjadi tetangga dengannya dan baru kali ini dia menyapa seakrab hari ini." Dahi Mas Tyo berkerut, layaknya orang yang benar-benar kebingungan.

"Oh ya?" balasku sekenanya. Semoga responsku yang acuh tak acuh bisa membuat Mas Tyo berhenti membahas tentang William. Siapa pula yang peduli tentang sikap William di lingkungan tempat tinggalnya?

"Dan kamu tahu apa bagian terpentingnya? Dia hanya membahas tentangmu selama satu jam kebersamaan kami."

Jangan kepo Lena ... jangan kepo Lena ... jangan kepo Lena ... adalah mantra yang kulafalkan di dalam benak agar pembicaraan tentang Will tidak semakin melebar, tapi mulutku mengkhianati usaha kerasku, "Dia bahas apa, Mas?"

Terkutuklah mulut pengkhianat!

"Semua tentang kamu. Dia sibuk menanyakan tentang pekerjaanmu, keseharianmu, bahkan tentang masalah percintaanmu."

"Dan Mas menceritakan semuanya?!" aku mulai panik.

Mas Tyo mengangguk, "Ya."

"Bahkan tentang Gery?!" kepanikanku semakin meningkat.

Mas Tyo mengangguk sekali lagi, "Ya."

"Mas bilang sama Will kalau aku ditinggal nikah?"

Tolong, sekali ini saja, menggelenglah, Mas. Jangan bilang Mas sebocor itu!!! Rapalku dalam hati. Entah mengapa menunggu reaksi Mas Tyo pun jadi mendebarkan seperti ini.

"Ya," jawab Mas Tyo dan bahuku langsung merosot lemas. "Dan setelah itu dia tiba-tiba semakin ramah. Murah senyum."

Aku bersumpah tidak akan bertemu dengan Will lagi, dia pasti sedang menertawakanku habis-habisan sekarang. Aaarrrggghhh...!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro