8. Delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Bangun siang menjadi kebiasaanku sebulan terakhir ini. Untunglah jadwal siaranku malam, jam tujuh sampai sepuluh malam setiap weekdays, aku jadi tidak berkewajiban untuk bangun pagi untuk bekerja.

Selain siaran, aku juga aktif mengisi acara sebagai MC. Syukurlah, kegiatan nge-MC pun tidak pernah mendapat jadwal pagi sejauh ini. Jadi aku masih tetap bisa bangun siang.

Menambah daftar repetisi lainnya, aku selalu tiba di rumah nyaris tengah malam. Sengaja aku meluangkan waktu di mana saja, asalkan ramai. Kadang ikut Naya ke kontrakannya, kadang bertandang ke apartemen Siva, bahkan terkadang aku ikut nimbrung dengan para penyiar di kantor yang belum pulang karena mengerjakan pekerjaan yang tertunda. Semua itu aku lakukan untuk menghindari kesendirian.

Aku berharap keletihan fisik akan membuatku langsung tertidur sesampainya di rumah, nyatanya, seletih apapun fisikku, kehampaan itu tetap menyambut setiap kali aku sudah sendiri di dalam kamar.

Aku terlalu terbiasa dengan keberadaan Gery. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untuk bisa kutolerir ketika harus kehilangan seperti sekarang.

Tanpa Gery, aku merasa seperti kesatuan tubuh yang kehilangan satu organnya. Bukan organ yang terlihat, namun tanpa keberadaannya seperti ada yang kurang.

Ibarat kehilangan organ tubuh bisa ditangani dengan menggunakan substitusi –penggantian—itulah yang sedang kulakukan sekarang. Mencari orang baru yang bisa menggantikan posisi Gery. Tidak mudah, tentu saja. Untuk menyatakan organ baru itu cocok, aku perlu menilik, mengenal, mencoba, dan meresapi hingga merasakan kenyamanan. Hingga merasa organ itu benar-benar melengkapiku.

Untuk itulah aku mencoba untuk memberi respons positif kepada mereka yang sedang terang-terangan melakukan pendekatan padaku. Sebut saja Haris si mantan ketua OSIS dan Mas Tyo sang Station Manager. Mereka berdua menempati daftar pria-pria yang cukup potensial menempati bagian yang hilang pasca ditinggal Gery. Sayangnya, belum ada tanda-tanda kecocokan.

Aku ingat beberapa gejala yang menunjukkan kecocokan itu dulu—ketika pertama kali aku memutuskan berpacaran dengan Gery—adalah respons tubuh yang menyambut, seperti debar tak terkendali di jantung, atau gangguan otak yang kerap memproyeksikan tampang yang sama dalam frekuensi yang tidak masuk akal. Kedua lelaki itu sampai saat ini belum memberi sensasi itu.

Menempati kandidat paling potensial, adalah Roy. Dia memang belum berhasil menggetarkan jantungku, ataupun membuatku terbayang-bayang wajahnya, tapi setidaknya dia berhasil membuatku ingin berbalas pesan terus dengannya. Mungkin karena dia tipikal ceria, mudah dibuat senang. Atau mungkin juga karena kami punya latarbelakang yang sama, sesama korban patah hati. Entahlah, aku belum bisa memutuskan.

"Ini kamunya lagi makan pagi apa makan siang?" tanya Mama ketika aku mengolesi roti dengan nuttela.

"Ng, apa ya? Brunch, mungkin," jawabku setelah melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas pagi. Lantas menyantap satu gigitan pertama pada rotiku.

Mama lalu melabuhkan bokongnya di kursi yang letaknya pas di sebelah kiriku, kemudian lanjut bertanya, "Pulang jam berapa kamu setiap malam, Len? Mama nungguin kamu pulang setiap malam sampai ketiduran, tahu. Pasti kamu pulangnya malem banget. Iya kan?"

Kukunyah cepat roti yang masih memenuhi mulutku demi menjawab pertanyaan Mama, "Nggak usah ditungguin lah, Ma. Mama kan juga perlu istirahat. Udah pensiun ini, nikmati hari tualah, Ma, malah sibuk ngurusin anak muda."

Menolak untuk terpancing pengalihan topik dariku, Mama mengutarakan niat utamanya dengan obrolan siang yang langka ini, "Udah waktunya kamu move on, Lena."

Gigi-gigiku mendadak lupa tugasnya untuk mengunyah sisa roti yang masih memenuhi mulut karena otakku mendadak blank mendengar ucapan Mama.

"Jangan pikir Mama nggak tahu kamu masih sering nangis sendiri tiap malam, Lena ... Mama memang bukan Ibu kandungmu, tapi Mama kenal kamu lebih dari siapapun. Mama nggak suka liat kamu bersedih. Mama mau kamu bahagia, Lena." Mama lantas berdiri dari duduknya dan menepuk pundakku lemah. "Mama juga sudah tua, umur Mama entah sisa berapa lama lagi, Mama nggak mau ninggalin kamu sendiri di dunia ini. Mama mau selama Mama masih hidup, Mama bisa menitipkan kamu pada laki-laki yang akan menjagamu seumur hidup. Mama nggak mau kamu merasa sendiri." Bersamaan dengan getar dalam suara Mama, tangannya yang mulai ringkih mulai melingkar mengelilingi pundakku.

Saat membalas pelukannya, wajahku tenggelam dalam perutnya yang mulai bergelambir di usianya yang sudah senja. Airmataku luruh saat mencium bau obat yang rajin dikonsumsinya untuk menjaga gula darahnya tetap stabil. Sejak dua tahun terakhir, kesehatan Mama melemah karena diabetes yang dideritanya, "Jangan ngomong yang enggak-enggak gitu ah, Ma. Lena takut kan, jadinya."

"Yang takut itu justru Mama, Len. Mama takut ninggalin kamu sendiri."

"Jangan ngomong gitu, Ma. Kalau Lena masih bisa barengan Papa sama Mama, anggap aja Tuhan lagi ngasih kesempatan buat Lena membahagiakan Papa sama Mama. Mama bahagia kan, kalau Lena masih bisa nemenin Mama?"

Kalau diberi kesempatan untuk hidup sekali lagi, aku pasti masih akan memilih Mama sebagai orangtuaku. Bukan berniat durhaka pada orangtua kandungku, hanya saja kasih sayang Papa dan Mama selama ini sudah lebih dari sekadar cukup sebagai bukti betapa mereka mencintaiku.

Aku masih ingat ketika mereka mengadopsiku saat usiaku masih lima tahun. Aku yang waktu itu lebih banyak diam karena merasa sebagai insan yang tidak pernah diinginkan, akhirnya tumbuh besar menjadi anak yang periang karena tak henti-hentinya dihujani kasih sayang oleh mereka. Aku sampai takut kalau orangtua kandungku datang dan menjemputku suatu hari nanti dan memisahkanku dari mereka.

Syukurlah hingga usiaku sudah mencapai angka duapuluh lima sekarang, kehidupan kami masih adem ayem. Bukan berarti Mama tidak pernah marah seperti ibu-ibu pada umumnya, Mama justru menjadi penghuni yang paling bawel di rumah ini. Tapi semua kerewelannya beralasan. Kalau bukan karena untuk mendidikku menjadi anak yang lebih baik, pasti karena kekakhawatirannya pada kebiasaan buruk Papa yang masih hobi menghisap nikotin.

"Kalau kamu bener-bener pengin bahagiain Mama, menikahlah Lena ...."

**

"Hallo!" sapa Roy semringah saat aku menemuinya di tempat temu janji kami. Penampilannya masih sama seperti dulu, mewakili anak muda petualang; jaket denim sobek-sobek, jeans, dan sandal gunung.

Roy mengirimiku pesan bahwa dia sudah tiba di Jakarta semalam. Sebulanan ini, dia kembali ke Amerika untuk menjemput ijazah Master-nya. Itu sebabnya komunikasi selama sebulan terakhir lebih banyak kami lakukan dengan bantuan media, bukannya langsung seperti hari ini.

Aku menyambut uluran tangan Roy dan duduk di seberang meja yang sudah dipilihnya, di dekat jendela.

"Karena kamu bilang cuma bisa ketemu siang, jadi terpaksa aku pilih tempat ini. Aku masih ingat gimana kamu jilat sisa-sisa bumbu ikan bakar di jarimu waktu di pantai Cenang dulu," kata Roy sambil menyodorkan buku menu rumah makan yang kami sambangi.

"Dan kayaknya aku bakal pilih menu ikan bakar lagi siang ini. Semoga kamu nggak malu jalan bareng cewek yang hobi jilat makanan yang nempel di jari," kekehku lantas menyebutkan pesananku kepada pelayan yang menunggui di tepi meja.

"Nope. Aku justru suka. Kamu ngingetin aku sama seseorang. Selain nggak hobi berpetualang, kamu punya semua yang dia punya."

"Jangan bilang kamu lagi ngomongin mantan, ya!"

Roy terkekeh. Ya, dia masih seperti Roy yang dulu. Terlalu mudah dibuat tertawa. Aku jadi bisa menebak kalau tebakanku pasti benar.

Disamain sama orang lain kok rasanya agak ngenes ya, untuk kategori kencan seperti ini?

Kalau bukan karena memikirkan kekhawatiran Mama semalam, aku sebenarnya belum ingin menjalin hubungan sedekat ini dengan Roy. Okelah, dia cukup komunikatif dan pantang menyerah, dia juga menjadi kandidat paling potensial di antara semua pria yang sedang mendekatiku, tapi entah kenapa rasanya belum klik.

"Kamu harusnya tahu kan, kalau sejak awal orangtua kita sengaja mempertemukan kita?" tanya Roy setelah menghabiskan ikan asam pedas pilihannya.

Aku yang masih belum selesai dengan makananku hanya bisa mengangguk-angguk sebagai isyarat aku mengerti arah pembicaraannya.

"Aku suka kamu, Len."

Ucapan Roy itu langsung membuatku tersedak makananku sendiri. Aku harus meraih gelas air minum dan mengandaskan isinya untuk bisa meredakan mata dan hidungku yang mendadak perih akibat bumbu ikan bakar yang naik ke hidung.

"Roy, ini masih pertemuan pertama. Jangan terlalu di-gas, nanti pas ngerem mendadak bisa kebentur, sakit," gerutuku.

Roy terkekeh, "Tuh kan, analogi kamu aja bisa lucu banget. Aku suka. Aku serius suka sama kamu, Len."

"Kamu bahkan belum kenal aku, Roy."

"Kamu ini tipikal perempuan yang gampang buat disukai, Len. Sejak awal, kamu selalu jadi diri sendiri, apa adanya, blak-blakan, dan ... cantik. Nggak akan susah buat mencintai kamu. Kamu cukup kasih aku waktu dan aku pasti langsung bertekuk lutut di depanmu."

Trus aku gimana? Aku kan belum suka sama Roy, apalagi cinta?

**

Hari ini tidak seperti hari kemarin. Kalau kemarin-kemarin aku lebih suka menghabiskan waktu di luar seusai jam kerja, hari ini aku memilih untuk langsung pulang. Mengingat Mama yang mengaku selalu menungguiku pulang membuatku merasa sedikit bersalah.

Padahal aku sengaja selalu pulang lebih malam supaya bisa menghindari tatapan menyelidik Mama yang tak pernah gagal menembus dasar hatiku, ternyata menghindarinya pun sia-sia belaka. Dia tetap bisa membaca pikiranku dari jarak jauh sekalipun.

"Pa, Ma, belum tidur?" sapaku saat mendapati Papa dan Mama di ruang televisi menunggui kepulanganku.

"Sengaja nungguin kamu, Ibu suri penasaran sama kelanjutan ceritamu sama si Roy," jawab Papa.

Aku mengenyakkan tubuh pada sofa single di sebelah Mama, membuat jarak pandang Mama lebih dekat saat memindaiku. Dari matanya yang menyipit saat menatapku, aku tahu dia sudah bisa menebak jawaban yang akan kuberikan.

"Kayaknya nggak berjalan lancar, Pa. Udah, coba sodorin yang satunya lagi." Mama menyikut lengan Papa. Tuh kan, belum juga aku bersuara, Mama sudah berhasil menebak.

"Roy itu pinter lho, Ma. Udah S2. Lulusan Amerika lagi. Cucumu bisa punya bibit unggul, lho." Papa jadi mirip sales penjual obat yang sedang mempromosikan dagangannya.

"Mau lulusan S2 kek, es teler kek, Mama sih nggak masalah. Yang penting kan Lena bahagia, Pa. Lagian, kandidat yang satunya kan nggak jelek-jelek amat sih."

"Kalau soal fisik, bisa diadulah. Tapi kerjanya di rig, Ma. Bakal sering ninggal-ninggalin Lena nanti."

"Yah, apa bedanya sama si Roy. Roy juga arsitek, Pa. Kalau dia dapat job di luar kota, alamat ditinggal-tinggal juga kan, si Lena? Ditinggal sesekali nggak masalahlah, Pa, asal nggak lupa tempat pulang aja."

Papa manggut-manggut mendengar pembelaan Mama.

Aku yang melihat interaksi mereka jadi bingung sendiri, apa mereka tidak sadar kalau dari tadi aku masih duduk di sini? Maka untuk menyadarkan mereka, aku berdeham kecil, "Ehem."

Papa dan Mama memandangku bersamaan, seperti baru tersadar kalau mereka mengabaikanku sejak tadi. Mama yang akhirnya membuka suara untuk memberiku pengertian, "Dengar ya, Lena sayang, jangan terbeban cuma gara-gara Mama pengin kamu cepat nikah. Mama ngomong begitu cuma supaya kamu bisa move on dari Gery. Dan nggak ada cara yang lebih baik daripada mengenalkan kamu sama cowok-cowok oke."

Mama menatap mataku lurus dan aku membalas tatapannya. Mencoba mengerti perkataan Mama, aku mengangguk pelan.

"Ini namanya perkenalan. Bukan perjodohan. Kalau kamu nggak suka, kamu bebas bilang enggak. Kamu ngerti maksud Mama kan?"

Anggukan kepalaku semakin mantap untuk memastikan Mama bahwa aku paham.

Ya, aku paham lebih dari siapapun kalau mereka sedang berusaha membahagiakan aku. Seperti aku juga paham kalau Mama serius dengan keinginannya untuk cepat-cepat menikahkanku.

Aku paham ... salah satu cara untuk berterimakasih atas semua cinta kasih yang mereka berikan selama ini adalah dengan menikah dan membuat mereka bahagia.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro