Bab 32: Perjodohan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wah nggak kerasa udah Bab 32, padahal aku rencana nggak bikin sebanyak ini. Tapi apa boleh buat, mengikuti alur sih. Well, dari sini, sudut pandang/POV aku ubah ke Jaehyun ya.

Selamat membaca🌻

***

Aku Jung Jaehyun, saat ini resmi berumur tujuh belas tahun. Salju tidak lagi turun menutupi jalan di Connecticut. Namun, musim dingin masih berlangsung sejak Desember akhir tahun kemarin. Dan sejak itu pula, gadis itu terus menerorku.


Aku membanting ponselku ke sembarang arah. Tadinya, hubungan kami masih baik-baik saja. Sayangnya, setelah aku mengetahui bagaimana perangai asli dari gadis itu, aku mulai meragukan hubungan kami. Aku sudah memberinya kesempatan berkali-kali untuk berubah, tetapi kejadiannya masih tetap sama. Aku mendapatinya sedang berpesta dan menari di club bersama laki-laki lain, bahkan ada yang umurnya jauh lebih tua darinya.

Awalnya aku memaklumi karena ia butuh uang untuk pengobatan ibunya. Ia menggaet beberapa lelaki yang ia temui lalu meminta upah dari hasil kegiatannya menemani mereka. Namun, setelah kuperhatikan lagi, ia bukannya menjadi "kupu-kupu malam" karena terpaksa. Ia memiliki hasrat dan kesenangannya sendiri ketika bermain dengan mereka. Dengan kata lain, ia menikmatinya. Aktivitas yang tadinya ada karena keterpaksaan, kini berubah menjadi kebiasaan yang sudah mendarah daging. Anehnya, meskipun tahu perbuatannya tidak adil terhadapku, ia tidak sudi melepasku.

Aku sudah lelah dengan semua sikap posesifnya. Ia egois, ia membuatku tertekan selama menjadi pacarnya. Hingga di hari natal beberapa bulan lalu, aku mulai mengutarakan keluhanku dan ingin membebaskan rasa sesakku. Aku ingin lepas dari dunianya. Tapi, aku salah. Tindakanku justru menimbulkan masalah baru. Sejak saat itu, Kim Yeri menjadi sangat tempramental. Ketika ia menemukanku berbicara dengan gadis lain, ia marah-marah tidak jelas. Padahal, kami hanya membicarakan agenda kelompok di sekolah.

Dan setiap kali hari libur tiba, ia akan memaksa datang ke apartemenku. Sepanjang hari, sebelum malam tiba, ia akan menetap di tempatku dan menggangguku seharian. Dan ketika tidak bertemu atau aku sedang pergi, ia akan meneleponku, menanyakan aku bersama siapa dan sedang apa. Jika jawabanku dianggap mencurigakan, ia memaksa akan menghampiriku. Lalu, ia mengawalku seharian dengan tangan yang tidak mau lepas dari lengan. Membuatku risih.

Aku jenuh! Sikapnya sudah keterlaluan dan di luar batas. Ia tidak membiarkanku lolos dan hidup dengan tenang, sementara dirinya sendiri tetap berbuat seenaknya dan tidak mau meninggalkan kebiasaannya menggoda lelaki lain di luar sana. Seperti yang kalian tahu, kehidupan di Amerika sangatlah liberal. Bahkan mungkin, memiliki kekasih lebih dari satu serta berhubungan badan dengan banyak orang menjadi kebiasaan yang normal. Namun, tidak bagiku. Kebebasan semacam itu bukanlah hal yang pantas bagi remaja yang penuh edukasi sepertiku. Aku tinggal di dalam sebuah keluarga yang menghargai sebuah hubungan. Oleh sebab itu, aku lebih menyukai sosok gadis yang setia, yang hanya akan menatapku dan mencintaiku seorang. Sementara, Yeri sudah tidak lagi memenuhi kriteria gadis idamanku.

Kami pun putus. Mau tidak mau, ia harus menerima. Padahal, kami baru berpacaran sekitar enam bulan yang lalu. Tentu saja ia protes dan menolak. Meskipun kata "putus" sudah aku lontarkan, ia tidak pernah berhenti merecokiku seolah-olah hubungan kami masih utuh. Dan itu membuatku depresi.

Hingga suatu ketika, Papa bilang bahwa ia akan kembali ke Seoul. Tanah kelahiranku. Bisnisnya di Connecticut telah diserahkan ke orang lain dan ia akan mengurus sisanya dari Korea sekaligus mengambil kembali kedudukannya di perusahaan induk yang ada di sana.

Kesempatan bagiku agar bisa lepas dari Yeri. Aku tidak mengabari kepergianku ke Seoul supaya ia tidak lagi menghantuiku. Aku bahkan mengganti nomor teleponku dan memutus semua kontak yang dapat menghubungkanku dengannya. Dan begitulah, sampai pada akhirnya Papa memberitahukan niat di balik ajakannya membawaku pulang ke Seoul.

"Jae, apa kau ingat anak perempuan yang dulu sering main bersamamu?"

"Anak perempuan yang mana, Pa?"

"Anak perempuan yang sering kau ajak bermain di halaman rumah kita yang lama. Dia punya dua kakak, laki-laki dan perempuan. Dulu kau juga suka berkelahi dengan kakak laki-lakinya sampai-sampai kau selalu menangis saat pulang dari rumah mereka karena kalah darinya."

"Ah! Anak itu! Tentu saja, bagaimana aku bisa lupa?! Emangnya kenapa kok tiba-tiba Papa bahas dia?"

"Ini lihat. Bagaimana menurutmu?"

Papa menunjukkan sebuah foto dari layar ponselnya. Seorang gadis dengan rambut panjang. Dengan pose kedua lengan ke atas kepala membentuk hati. Gadis yang tengah mengenakan topi anyaman bambu dan dress selutut berwarna kuning pastel. Hal pertama yang membuatku tersenyum saat melihat fotonya adalah kedua pipinya yang masih tembam serta kedua sorot matanya yang masih lugu seperti dulu. Hanya saja, ia kini tumbuh dengan baik, menjadi seorang gadis yang ... cantik.

"Biasa saja. Apanya yang menarik??"

"Kau ini!"

"Aw!" Papa memukul lenganku karena jawabanku yang ngasal. Lagian, bagaimana mungkin aku mengagumi gadis itu di depan papaku sendiri? Aku masih punya malu.

"Bagaimana kalau Papa dan Mama menjodohkanmu dengannya?"

"Apa?! Ini lelucon, ya? Papa kan suka melakukan prank! Kemarin saja, waktu masih di bandara, Papa sengaja menyembunyikan koperku sampai aku harus menanyakannya ke meja informasi. Tidak hanya itu, Papa juga meninggalkanku di sana. Akhirnya, aku harus cari taksi sendiri untuk sampai rumah."

"Itu lain cerita, Jaehyun. Karena belakangan ini kau agak muram, Papa membiarkanmu jalan-jalan sebentar di Seoul."

"Jalan-jalan apanya?! Papa bahkan tidak memberiku alamat rumah yang baru! Aku tersesat di jalan selama hampir satu jam! Nggak lucu tahu, Pa!"

Papa terkekeh. "Iya, sudah. Jangan marah. Toh akhirnya kamu menemukan rumah ini. Papa anggap kamu sudah bersenang-senang, hahaha."

Aku berkacak pinggang. Bisa-bisanya Papa menjahili anaknya seperti ini. Aku nyaris tidak bisa pulang kalau saja Mama tidak membalas pesanku waktu itu. Berkat Mama, aku sampai tujuan dengan selamat.

"Pokoknya, kau harus ikut makan malam yang sudah Papa rencanakan dengan keluarga Sohyun besok lusa."

Sohyun? Oh, aku ingat. Nama anak perempuan itu adalah Sohyun.

"Papa serius? Pa, apa aku kurang ganteng untuk digandrungi sama cewek-cewek yang ada di Seoul?"

"Siapa bilang kau kurang ganteng, Jae. Kau ini keturunan Papa. Papa dulu punya banyak penggemar rahasia, asal kau tahu. Tapi, Papa memilih Mamamu, yang waktu itu juga dijodohkan sama Papa. Intinya begini, banyak cewek sempurna dan cantik di luar sama, tapi belum tentu sifat mereka baik dan cocok denganmu. Kalau Sohyun, Papa jamin dia gadis yang baik. Makanya, kau harus lihat dulu bagaimana anak itu, baru kau putuskan akan menerima perjodohan ini atau tidak. Gimana?"

Memang benar ucapan Papa. Tidak ada salahnya. Apa aku coba dulu saja, ya?

Ya, karena aku tidak punya pilihan dan alasan untuk menolak, aku ikuti dulu sajalah saran dan alur dari Papa.

Kalau aku merasa nggak cocok sama cewek itu, aku tinggal menolak perjodohan ini saja kan?

"Okay, deal. Tapi Papa pegang omongan, ya? Kalau Jae nggak suka sama anaknya, Jae boleh menolak."

"Tentu saja, Papa tidak akan pernah memaksamu kalau kamu tidak suka."

***

Hari itu pun tiba. Makan malam diadakan di sebuah restoran mewah yang sengaja disewa oleh keluargaku. Ada delapan kursi di sana, yang masing-masing terisi olehku, kedua orang tuaku, kedua orang tua Sohyun, dan kedua kakak Sohyun. Sementara, satu kursi kosong karena ternyata Sohyun sakit sehingga tidak bisa hadir.

Tepat di hadapanku, duduk seorang lelaki dengan tubuh yang tidak jauh lebih besar dariku. Namun kuakui, proporsi tubuhnya sempurna dan wajahnya begitu tampan. Layak diidolakan oleh banyak perempuan.

"Lama tidak berjumpa, Tuan Gunwoo dan Nyonya Sowoon. Bagaimana kabar kalian?"

"Kabar baik, Tuan Seokho dan Nyonya Heejin. Seperti yang kalian lihat, kami sangat sehat untuk membesarkan ketiga anak-anak kami."

"Hei, apakah kita akan berbicara formal seperti ini terus, Gunwoo??"

"Benar juga, Hyung. Aku sangat merindukan panggilan itu terhadapmu. Ngomong-ngomong apakah Jaehyun jadi pindah ke sekolah yang sama dengan putriku? Sebentar lagi tahun ajaran baru."

"Iya, tentu saja. Dia harus melihat sendiri calon tunangannya kan?"

"Ahaha, benar juga. Sebenarnya, Sohyun belum kami beri tahu soal ini. Karena masih belum pasti kan, apakah Jaehyun akan tertarik dengan perjodohan kita atau tidak?"

"Ya, ya. Tidak masalah, Gunwoo. Tapi aku yakin, Jaehyun akan menerimanya karena sepertinya ia tertarik dengan putrimu hanya dari melihat fotonya saja."

"Hoho, baguslah kalau begitu."

Selesai makan, keluargaku tidak langsung pulang. Mereka masih berbincang-bincang melepas rindu dan mengobrol tentang masa lalu ketika kami masih tetanggaan. Keluarga kami memang sangat dekat, sudah seperti saudara. Wajar jika hubungan mereka seakrab itu sebab meskipun sempat terpisah jauh karena kami pindah ke Connecticut, kedua keluarga ini tetap menjalin komunikasi.

Sementara yang lain masih duduk manis di meja makan sambil menyantap dessert, aku dan anak laki-laki sulung dari keluarga Paman Gunwoo mencari udara segar.

"Yak, kau tumbuh dengan baik ya! Kali ini, sepertinya aku yang akan kalah jika berkelahi denganmu."

"Tentu saja, dengan tubuh Kak Jin yang sekurus itu, akulah yang akan menang," ledekku.

Sudah lama sejak kami berbicara. Bahkan dulu, aku tidak sempat pamit dengan Kak Jin ketika aku pindah ke Amerika. Aku masih menyimpan sedikit rasa bersalah itu.

"Maaf, dulu aku nggak sempat pamit ke Kakak waktu aku pindah ke luar negeri. Tapi, tentu saja aku tidak melupakan Kak Jin."

"Aishh! Anak ini! Kau memang menyebalkan, ya! Gara-gara kau pergi, adikku menangis sepanjang hari karena ia tak punya teman bermain."

"Benarkah? Kim Sohyun menangisiku? Padahal, kami tidak pernah akur haha."

"Memang begitu kan, manusia akan merasakan betapa berharganya seseorang setelah ia kehilangan."

"Wah, aku merinding dengan kata-katamu, Kak," takjubku.

"Tapi, Jahe. Bagaimanapun juga, Sohyun adalah adik kecilku. Adik kesayanganku. Aku tidak ingin memaksanya untuk melakukan perjodohan ini, malah sebenarnya aku kurang setuju. Tapi karena itu kau, aku percaya, kau juga tidak mengharapkan hal yang sama sepertiku kan?"

"Maksud Kakak, tidak ingin Sohyun menderita karena dijodohkan dengan laki-laki yang tidak ia sukai?"

"Ya, semacamnya. Jadi, aku memiliki syarat untukmu. Jika kau tertarik dengan adikku dan menyetujui perjodohan ini, maka kau harus bisa membuatnya jatuh cinta dulu padamu. Apa kau sanggup?"

***

Tbc

😊😊😊😊

Aku kasih bocoran dikiiiit. Jadi, nanti di akhir cerita aku mau bikin challenge.

Readers: Kalo gitu, ada hadiahnya dong??

Pasti. Ya, walaupun bukan uang atau semacam giveaway. Aku belum mampu kalo ngasih itu guys😭

Hadiahnya kecil-kecilan sih. Nanti aku bakal pilih tiga orang, dari tiga kategori challenges yang aku buat (mungkin bisa berubah jumlah juga, nantikan aja deh)

Penasaran?

Gimana setelah baca bab ini???

Nyesel gak, nyesel nggak udah ngehujat Jaehyun??

Eit, tapi cerita dari sudut pandang Jaehyun belum selesai. Akan kubuat kalian lebih menyesal lagi😈

Aku nggak puas kalo cuma kasih bukti segini😏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro