Bab 33: Kisah Kecil

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apa kabar semua? Semoga sehat selalu. Akhirnya bisa update bab selanjutnya karena beberapa ini aku kerja lembur di lab :")

Selamat membaca~🌻

***

Kepindahanku ke Nanyang High School terjadi hari ini. Bisa dikatakan cukup beruntung karena di hari pertama sekolah, mata pelajaran tidak langsung menyambutku. Yang kutahu, Nanyang sedang berada pada minggu perayaan Dies Natalis-nya yang ke-75. Aku tidak perlu berkenalan secara formal di depan kelas dan memberitahu ke semua orang siapa namaku. Aku hanya mengenalkan diri ke beberapa anak yang aku temui dan respons mereka cukup baik. Karena wajahku yang asiatis, aku juga tidak diperlakukan diskriminatif. Lagi pula, aku lahir dan sempat tumbuh di Korea. Bahasa Koreaku lancar tanpa sedikit cela.

Mungkin agak aneh ketika aku yang biasanya berpakaian santai ketika sekolah di Amerika, kini harus memakai seragam lengkap dan rapi. Aneh juga ketika tidak lagi melihat orang-orang berambut blonde dan cokelat, serta percakapan bahasa Inggris khas aksen Amerika mereka. Dan kini—meskipun sulit—aku harus beradaptasi walaupun kadang-kadang keceplosan mengeluarkan kata slang yang biasa kugunakan saat hang out bersama teman-teman dari sekolah lamaku.

Setibanya di kelas, aku bingung memilih duduk di mana. Namun, kebingungan itu sirna ketika pandanganku tertuju pada seorang gadis, dengan wajah polos tanpa riasannya, tengah tertawa dan berbicara bersama teman sebangkunya. Gadis yang fotonya kulihat beberapa hari yang lalu. Siapa lagi kalau bukan Kim Sohyun.

Aku menelisik jauh ke belakang dan memutuskan untuk duduk di bangku paling pojok dari deretan bangku paling kanan. Karena di posisi itu, aku bisa leluasa memerhatikan sisi wajah Sohyun dengan sangat jelas.

Sejauh ini, aku mengamatinya diam-diam. Ia gadis yang tidak banyak bicara, juga tidak banyak teman. Yang kulihat, ia hanya mengobrol dengan teman sebangkunya saja dan tak tampak akrab dengan yang lain. Dan sejak itu juga aku tahu, Kim Sohyun menyukai seseorang. Ia bukanlah gadis yang terbuka, tetapi sikap salah tingkahnya, senyum–tawanya, pipinya yang memerah selalu dapat kulihat ketika matanya mengarah ke satu laki-laki. Ia adalah Jeon Jungkook. Anak paling popular di sekolah ini.

Kenapa kau memilih suka pada orang sepertinya, Sohyun? Kau hanya membuang waktu.

Membuang waktu, pikirku saat itu karena percuma menyukai seorang Jeon Jungkook, ia akan ada banyak saingan.

Tetapi, semakin hari semakin kusadari. Perasaan Sohyun yang ditujukan untuk Jungkook benar-benar tulus. Aku bisa melihat betapa besar rasa sukanya pada cowok itu. Meskipun banyak laki-laki yang tidak kalah tampan di sekitarnya, satu-satunya yang menarik di matanya hanyalah Jungkook. Bukankah gadis ini sangat setia?

Aku mencari tahu tentangnya lebih dalam lagi. Melalui bantuan Kak Jisoo, aku mengetahui bahwa Sohyun sudah menyukai Jungkook sejak lama. Sejak mereka masih menjadi murid kelas satu dan pertemuan pertama mereka cukup berkesan bagi Sohyun.

Aku tertawa saat Kak Jisoo mengorbankan diri untuk membuka buku diary adiknya hanya demi membantuku memperoleh informasi. Katanya, Sohyun menyukai Jungkook karena waktu itu Jungkook lah satu-satunya lelaki yang mengajaknya bicara duluan. Gadis itu lugu sekali. Kalau seperti itu, dia akan mudah ditipu sebab Sohyun tipikal gadis yang mudah terbawa perasaan.

Mungkin pada awalnya aku santai mengamati seorang Kim Sohyun. Di setiap waktu, di manapun ia berada, aku curi-curi pandang. Hingga suatu hari, aku melihat raut wajahnya yang sedih. Seperti dugaanku, percuma menyukai cowok seperti Jungkook karena pasti ada banyak wanita di sekitarnya, yang membuat Sohyun minder dan menyerah.

Bagaimana jika aku membuatnya berhenti menyukai Jungkook dan hanya menyukaiku saja?

Ya, tiba-tiba pikiran itu datang entah dari mana. Aku yang awalnya menjadi orang asing di sekitar Sohyun, lama-kelamaan mulai tertarik padanya. Seperti yang kubilang, aku sangat mengidamkan gadis yang setia dan hanya menatapku seorang. Oleh karena itu, aku beranggapan bahwa Sohyun adalah gadis yang aku cari-cari selama ini.

Malam itu juga, di pertemuan kedua keluarga kami—kali ini memang sengaja tanpa mengajak Sohyun—aku menerima perjodohan dari Papa. Kedua keluarga mendukungku. Kak Jin juga menyampaikan persyaratan yang waktu itu ia ajukan padaku, orang tuaku kami tidak keberatan. Maka untuk saat ini, akulah yang harus berjuang mendapatkan hati Sohyun sendirian. Kak Jin maupun Kak Jisoo akan berpura-pura tidak mengenalku. Meskipun begitu, mereka bersedia membantuku ketika ada kesempatan.

Aku memulai misiku. Hari itu, di saat kegiatan perlombaan dari rangkaian acara Dies Natalis digelar, aku mulai menampakkan diri. Pertemuan perdana kami setelah sekian lama berpisah adalah di bawah pohon besar, di bangku panjang yang ada di depan gedung perpustakaan. Mungkin tidak semenarik kisah cinta pertamanya dengan Jungkook. Namun, aku yakin. Segelintir kalimat yang aku ucapkan saat itu pasti masih tersimpan rapat dalam memorinya.

Jadi, udah menyerah nih, acara mengejar cintanya?

Karena mulai saat itu, akulah yang bertekad untuk mengejar cintanya. Bukan lagi dia.

***

"Kak, aku ingin tahu lebih banyak mengenai Sohyun. Apa kesukaannya, bagaimana masa sekolahnya, semuanya yang berkaitan dengan dia. Aku mau dengar dari Kakak," tanyaku suatu hari pada Kak Jin. Kami janjian di tempat makan yang tidak jauh dari kampusnya.

"Kayaknya kau sangat tertarik dengan adikku, ya?"

"Iya dong, Kak. Kalau aku nggak tertarik, aku nggak bakal tanya-tanya ke Kak Jin. Jawab aja deh, apa susahnya sih? Atau jangan-jangan, Kak Jin nggak tau sama sekali cerita tentang Sohyun??" raguku.

"Enak saja! Tentu aku tahu. Aku ini kakak kesayangannya. Tapi, bisa kau katakan dulu, apa alasanmu menerima perjodohan itu?"

"Alasan? Mmm, bukan hal yang istimewa sih, Kak. Tapi aku merasa kalau Sohyun adalah tipeku. Lagi pula, dia kelihatan baik dan setia. Sifat dan wajahnya yang polos itu selalu membuatku ingin melindunginya."

"Aduhh!! Udah jangan dilanjutin, jawabanmu udah bikin Kakak mual."

Aku hanya tertawa mendengar tanggapan Kak Jin. Dan Kak Jin pun mulai menceritakan segala hal yang ingin aku tahu dari Kim Sohyun.

"Sohyun itu seperti yang kau bilang, dia polos. Karena kepolosannya itu, dia melakukan kesalahan dan terpaksa harus pindah sekolah saat duduk di bangku kelas dua SMP."

"Dia pernah di-bully karena menyukai seseorang. Aku tidak tahu kalau yang disukainya berandalan, makanya aku tidak sadar kalau sejak saat itu ia dikucilkan teman perempuan satu kelasnya. Konyol. Namanya anak-anak, mereka gampang iri. Terlebih, adikku itu sangat cantik hingga bisa memikat banyak laki-laki," ujarnya agak sombong.

Aku menyetujui pendapat Kak Jin yang menyatakan bahwa kecantikan Sohyun mampu memikat banyak lawan jenis sebab ... aku pun mengalaminya.

"Ada bekas luka di pipi kirinya. Waktu itu, pacar dari si berandal menggores pipi adikku dengan sebuah cutter. Guru wali kelasnya mengabari orang tuaku ketika menemukan Sohyun berdarah-darah di toilet. Aku tidak melihat keadaannya secara langsung karena saat itu aku sudah tinggal di Seoul. Menyewa rumah yang saat ini aku tempati. Jadi, aku hanya melihatnya dari foto yang dikirim Mama."

"Karena kejadian itu, Sohyun berubah menjadi pemurung. Ia banyak diam dan jarang bersosialisasi. Tetapi aku merasa lega karena Sohyun memiliki teman yang bernama Arin saat ia masuk ke Nanyang. Selain itu, Sohyun sepertinya banyak menyimpan beban beratnya sendiri. Aku maupun Jisoo, kami sama-sama merasa bersalah. Kau tahu, aku dan Jisoo termasuk anak yang banyak dikenal orang. Aku mulai merintis karier menjadi seorang freelance model dan Jisoo dengan menjadi selebgram. Sementara, Sohyun yang merasa dirinya tidak memiliki pencapaian apapun menjadi pesimis. Ditambah lagi dengan gunjingan orang-orang di sekitarnya yang membanding-bandingkan kami. Namun untungnya, persaudaraan kami tidak retak. Kami masih saling menjaga dan menyayangi satu sama lain."

"Astaga, Jahe. Maafkan aku, semua yang aku ceritakan tadi adalah kisah kelamnya. Kau pasti bosan, ya? Dari tadi ceritaku tidak ada yang menyenangkan."

"Tidak apa, Kak. Setiap orang punya cerita dan masalahnya masing-masing. Termasuk aku. Alasanku meninggalkan Amerika adalah karena mantan pacarku yang terus menerorku. Haha, bukankah itu lucu?"

Kak Jin pasti menganggapku sebagai seorang pengecut. Mana ada laki-laki jantan yang menghindari masalah sepertiku? Terlebih ini persoalan cinta dan wanita. Tetapi, jika aku tidak pergi dari kehidupan Yeri, gadis itu juga tidak akan maju. Ia akan terus bergantung padaku yang jelas-jelas sudah tidak bisa lagi mentoleransi kesalahannya. Dibandingkan itu, aku jauh lebih tersiksa. Aku merasa terkekang oleh sifat posesifnya hingga mengalami gejala stress berminggu-minggu. Bahkan, tanpa kedua orang tuaku tahu, aku diam-diam pergi melakukan konsultasi dengan psikolog.

"Jahe, kau cowok yang hebat dan bertanggung jawab, aku percaya padamu. Mantan pacarmu sungguh tidak beruntung ya, karena laki-laki yang dia sukai justru kabur meninggalkannya."

"Hei, kalimat Kakak malah kelihatannya sedang mengejekku. Kakak nggak tahu sih, seberapa tertekannya aku saat di Amerika, dan ada satu kesalahannya yang tak bisa termaafkan. Makanya, aku memilih menghilang darinya saja."

Ya, setidaknya aku masih aman di Seoul. Ia tak akan mengejarku sampai sini kan?

***

Aku mendapatkan nomor telepon Sohyun dari Kak Jin. Malam itu, aku mengirim pesan kepadanya. Awalnya iseng, tapi karena tanggapannya sangat lucu, akhirnya aku keterusan mengganggunya. Wajar saja, gadis pendiam seperti Sohyun tidak akan mudah didekati kalau aku tidak inisiatif sendiri. Karena dari dulu sifatku sudah agresif, aku tidak mempermasalahkan hal semacam gengsi. Justru aku senang memulai lebih dulu.

Sohyun mengira aku ingin mengetahui informasi tentang Kak Jisoo. Aku pernah dengar jika Kak Jisoo memang sangat terkenal di sekolahnya dan diidolakan banyak lelaki. Namun, aku juga cukup terkejut. Apakah selama ini ia menjadi sasaran para cowok bajingan yang ingin mendekati kakaknya? Ia pasti lelah terus menjadi perantara. Dipikirnya, Kim Sohyun itu apa? Hah, kalau saja aku tahu siapa cowok-cowok tidak tahu malu itu, akan kuhajar sampai mampus mereka.

Ngomong-ngomong soal Kak Jisoo, umur kami sebenarnya hanya selisih satu tahun saja. Yang artinya, orang tuaku bisa memilih Kak Jisoo sebagai calon tunangan kalau mereka menginginkannya. Tetapi, mereka mengerti, Kak Jisoo sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Maka dari itu, mereka lebih memprioritaskan Sohyun. Lagi pula, sejak kecil kami sering main bersama walaupun banyak bertengkar juga.

Kim Sohyun itu lucu. Suatu hari menjelang sore, aku melihat Sohyun di halaman rumahnya sedang asyik mencoret-coret sebuah buku. Rumah kami bersebelahan, hanya dibatasi oleh sebuah pagar kayu yang tidak terlalu tinggi. Sehingga, aku tinggal merunduk saja dan melewatinya ketika ingin bermain ke rumahnya. Begitupun sebaliknya.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku penasaran.

Ketika itu, umur kami sekitar lima dan enam tahunan. Tahun di mana kepindahanku ke Amerika hampir dimulai.

"Menulis keinginanku," jawabnya dengan bersemangat.

"Keinginan? Kenapa kau menulis keinginanmu?"

"Karena Ibu Peri akan mengabulkannya untukku."

"Bagaimana caranya?"

"Huh! Kau banyak tanya!" rajuknya dengan bibir cemberut dan alis yang menukik tajam.

"Aku kan ingin tahu. Dasar pelit!"

"Karena aku tidak suka Ibu Peri mengabulkan permintaan anak nakal sepertimu, jadi jangan bertanya. Kau pasti akan ikut-ikut nanti."

"Tidak. Aku tidak punya keinginan apapun selain menggagumu!" ucapku saat itu sebelum akhirnya berhasil merebut buku catatan Sohyun dan membawanya kabur. Gadis kecil itu mengejarku sampai kewalahan. Aku naik di atas pohon dan tidak mau turun sebelum ia menjawab pertanyaanku tadi.

"Kembalikan bukuku!"

"Tidak, jawab dulu! Gimana caranya Ibu Peri bisa mengabulkan permintaanmu?"

Dan akhirnya ia pun membalas kepenasaranku.

"Tinggal taruh bukunya di bawah bantal saja. Lalu berdoa di malam hari, Ibu Peri pasti akan segera datang saat kau tidur lalu membaca dan mengabulkan semua keinginanmu," jawabnya dengan ekspresi imajinatif.

Gadis yang aneh. Kalau mengingat umurku sekarang, sudah pasti itu cuma mitos dan cerita pengantar tidur. Tidak ada yang namanya ibu peri tanpa doa dan usaha. Tetapi aku jadi tahu, bahwa kebiasaan Sohyun menuliskan sesuatu mengenai perasaan dan keinginannya sampai sekarang masih ada. Dan lagi, ia selalu menaruh buku hariannya di bawah bantal. Aku sudah menduga itu dan bilang pada Kak Jisoo untuk memeriksanya.

Maafkan aku, Sohyun. Aku lancang membuka privasimu.

Mendekati hari ulang tahunnya, aku sudah berencana untuk membeli sesuatu. Sebuah notebook dengan sampul kuning hologram dan motif bunga matahari. Warna kuning selalu mengingatkanku pada sosok Sohyun kecil yang ceria dan penuh tawa. Sedangkan, bunga matahari memiliki makna semangat dan optimisme. Selain harapan agar Sohyun semakin bahagia dan ceria di usianya yang bertambah, aku juga berharap ia mendapatkan semangat dan optimisme dalam menjalani hidupnya.

Entahlah, apakah kado biasa dariku ini bisa memuaskannya? Aku sungguh ingin mengetahui reaksinya secara langsung.

***

Tbc

Manis bangett nggak sih Bang jeff? Dia masih inget kebiasaan Sohyun waktu kecil. Bahkan kado biasa kayak gitu aja udah bikin Sohyun seneng.

Btw, kalo ada yang lupa, part di mana Sohyun dapet kado ada di "Bab 9. Wish List" yaa ^^

Sohyun (5), Jaehyun (6)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro