Bagian 3: Pengganggu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mentang-mentang Kak Jisoo udah punya pacar, adiknya ditelantarkan. Biasanya kami akan pulang bareng dan aku menunggunya di halte yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Kebetulan kontrakan kami dekat, jadi kami lebih sering jalan kaki. Kesalnya, baru saja aku mendapat pesan singkat dari Kak Jisoo, katanya kakak lagi dating sama Kak Jinyoung dan kemungkinan akan pulang agak sorean. Ditambah lagi, aku diminta untuk berbohong ke Kak Jin supaya bilang Kak Jisoo pulang telat karena lagi ada tugas kelompokan.

Aku mendesah dan mulai melanjutkan perjalanan pulangku dengan pasrah. Langkah demi langkah kulewati, namun dari kejauhan tampak seperti ada yang mengikuti. Sesekali aku menoleh ke belakang. Dan benar saja, anak itu lagi! Cowok aneh yang tadi siang nyamperin aku tanpa dosa terus tanya, "Udah menyerah nih, acara mengejar cintanya?"

Siapa sih dia? Penguntit gila! Aku mempercepat langkahku, benar-benar merasa takut. Tadi sih aku berhasil menghindarinya saat di sekolah, tetapi sekarang aku tidak yakin. Maunya apa dan kenapa sampai membuntutiku segala. Secara terang-terangan lagi.

Aku memasuki sebuah minimarket untuk bersembunyi. Aku melihatnya dari kaca jendela yang transparan. Wah, cowok itu beneran mengikutiku sejauh ini. Aku jadi makin deg-degan, jangan-jangan dia punya niat jahat. Siapa yang tahu, kan? Jangan-jangan dia komplotan preman yang dulu pernah mencegatku di gang masuk perumahan. Tetapi, waktu itu aku beruntung karena Kak Jin datang menyelamatkanku. Sekarang aku sendirian, Kak Jin bilang juga tidak bisa menjemput karena masih ada kelas sore ini.

Ah, gimana dong? Masa iya aku terjebak di sini dan nggak bisa pulang?

Di tengah kekalutanku, aku mencoba untuk tetap menenangkan diri. Oke, mari tunggu sepuluh menit lagi, atau sampai si cowok itu udah nggak kelihatan ada di depan sana. Sepertinya aku bisa merasa aman untuk sementara.

Aku mondar-mandir di depan deretan showcase yang berisi minuman dingin. Cukup lama, hingga akhirnya seorang pegawai minimarket menghampiriku dengan tatapan curiga.

"Kamu ngapain di sini? Mau beli soju, ya? Atau mau nyuri?"

Mataku mendelik. Yang benar saja muka-muka anak baik sepertiku melakukan hal seburuk itu? Sama sekali, ya, aku tidak pernah penasaran bagaimana rasa soju. Aku tidak akan meminumnya sekalipun umurku sudah mencukupi. Soju hanya minuman bagi orang yang banyak masalah. Aku berharap itu tidak terjadi padaku saat dewasa nanti.

Secepatnya aku menggeleng-gelengkan kepalaku sambil melambaikan kedua tanganku ke kanan dan ke kiri tepat di depan dada. Panik.

"Kalau nggak mau beli, jangan di sini dong. Menghalangi jalan pengunjung yang lain, sana pergi."

Galak sekali. Padahal, aku tidak membuatnya rugi. Jalan juga masih lebar. Badanku kan lumayan kecil dan ramping. Namun, pada dasarnya memang aku penakut. Digertak seperti ini saja nyaliku sudah menciut. Aku cenderung mengalah, daripada nanti malah timbul masalah. Menuruti apa kata pegawai minimarket tersebut, aku pun pergi.

"Nggak ada, kan?" gumamku begitu keluar dari dalam sana. "Ah, aman," ucapku lega kemudian.

Aku pun mempercepat perjalananku pulang. Pokoknya tidak mau berpapasan, bertemu, apalagi berbicara dengan cowok asing itu.

Setibanya di rumah, aku mengirim pesan chat ke Arin. Aku menceritakan panjang–lebar soal pengalaman horror-ku hari ini. Tentang si penguntit gila itu, juga tentang tuduhan kejam di minimarket. Alih-alih menelepon, aku lebih suka menuliskan chat yang panjang. Saking panjangnya, Arin seringkali mengejekku, "Kamu ini ngetik chat doang apa lagi ngetik naskah novel, sih? Lama banget!" Wajar saja, kalau sedang antusias, pesan yang aku ketik bisa baru terkirim setelah sepuluh menit lamanya.

Aku curiga, cowok itu sengaja deketin kamu supaya bisa modus ke Kak Jisoo. Kamu kan adiknya, semua orang tahu itu. Lagian, kejadian seperti ini kan bukan cuma satu atau dua kali saja.

Membaca pesan tersebut, aku jadi mengingat peristiwa ketika aku masih menjadi murid di kelas satu SMA. Hari itu adalah hari di mana informasi pribadiku diretas, disebarkan, entah oleh siapa. Semua orang menjadi tahu bahwa Kak Jisoo dan aku adalah saudara kandung.

Memang aku yang meminta, agar ketika di sekolah, Kak Jisoo menganggapku hanya sebatas adik kelas. Kami pura-pura tidak saling kenal karena aku tidak suka popularitas Kak Jisoo akan mempengaruhi kehidupan sosialku di sekolah itu. Namun, terlambat. Nasi telah menjadi bubur dan fakta bahwa aku adalah adik Kak Jisoo menghebohkan seantero sekolah.

Kakaknya sepopular itu, adiknya cupu? Nggak salah, nih?

Itu adalah kalimat pertama yang aku dengar. Kemudian, muncullah kalimat-kalimat perbandingan  lain yang semakin membuatku tertekan. Misalnya saja, Kak Jisoo lebih cantik dariku; Kak Jisoo lebih pintar dariku; Kak Jisoo punya banyak teman daripada aku; Kak Jisoo bla bla bla.

Layaknya hari ini, dulu beberapa cowok sempat mendekatiku hanya karena mereka ingin tahu banyak tentang kakak. Mereka selalu bertanya, boleh minta nomor kakakmu, boleh tahu alamat rumahmu, boleh tahu kapan ulang tahun kakakmu, dan masih banyak lagi. Paling parahnya, ada yang sampai menerorku berminggu-minggu. Karena aku tak menjawab satu pun pertanyaan cowok itu, ia melakukan berbagai cara untuk membalaskan kebenciannya padaku. Seperti mengirim pesan ancaman, surat ancaman, bahkan meminta agar teman-teman sekelasku mengabaikanku dan tidak berbicara padaku. Karena tak sanggup lagi, aku bercerita pada Kak Jin dan dialah yang membereskan masalahku. Kak Jin langsung melaporkan ulah cowok itu dan keesokannya si cowok tidak tahu malu itu kena skors. Hal ini membuatku jadi sangat trauma.

Apa iya, cowok penguntit itu juga ingin tahu segala hal tentang Kak Jisoo? Padahal berita kencannya dengan Kak Jinyoung sudah tersebar luas di sekolah. Banyak cowok yang patah hati karenanya.

Keras kepala sekali cowok itu. Awas saja jika ia macam-macam. Pasti akan kuadukan lagi ke Kak Jin, biar dia dapet pelajaran.

***

Aku berangkat sekolah lebih pagi dari biasanya. Kegiatan belajar–mengajar kembali dimulai. Meskipun tidak sepandai Kak Jisoo, paling tidak aku anaknya rajin. Sesampainya di kelas nanti, aku ingin membaca buku terkait materi untuk hari ini.

Setelah sampai, langsung kusambar tempat dudukku. Aku meletakkan tas dan mulai membaca buku. Eh, tapi tunggu dulu. Sepertinya bukan hanya aku yang ada di kelas. Aku menengok ke belakang. Seorang cowok melambaikan tangannya sambil menatap ke arahku.

Hah?! Nggak salah lihat?? Itu cowok penguntit yang kemarin!! Kok dia lagi-lagi di sini, sih.

Aku menelan ludahku dengan susah payah. Sekarang saatnya mengambil langkah seribu. Aku tidak mau berbicara dengannya meskipun dalam keadaan terdesak. Tidak akan kujawab jika pertanyaannya seputar Kak Jisoo. Aku adik yang loyal, lihat saja.

Aku bangkit dari tempat dudukku. Kuambil buku catatanku lalu berjalan melalui pintu depan sambil menutupi bagian kanan wajahku dengan buku itu. Aku melangkah cepat. Tetapi ... bruk. Aku menabrak sesuatu dan bukuku terlempar dari genggamanku.

"Dari kemarin kabur-kaburan mulu. Capek tahu harus ngejar-ngejar kamu," kata sosok manusia di depanku. Jangan bilang ....

"Aku Jeffrey," lanjutnya, "eh, Jung Jaehyun. Aku lupa harus menggunakan nama Korea-ku daripada menggunakan nama Amerika-ku di sini."

Jaehyun? Siapa? Baru dengar nama itu.

"Halo?? Kamu dengerin aku bicara, kan? Harusnya dibalas, dong."

Aku nggak mau diajak bicara, tuh.

"Astaga!" Aku terkaget begitu cowok itu merendahkan kepalanya untuk menemukan wajahku yang tersembunyi. Rambutku yang terurai, disibakkan olehnya. Refleks aku menampar tangannya yang lancang itu. Walaupun aku sadar kalau aku tidak menyukai sikapnya, yang bisa kulakukan hanyalah berjalan mundur.

"Jangan takut, aku nggak mau gigit kamu, kok. Aku cuma mau kenalan."

Halah, paling juga mau mengorek informasi Kak Jisoo dariku.

"Kok diem aja, sih? Halo??"

Aduh, kok belum ada yang dateng ke kelas. Suasananya jadi canggung dan mengerikan kalau hanya ada aku dan cowok ini. Aku ingin memintanya agar menjahuiku, tapi mulutku tidak bisa bicara. Sekarang badanku justru gemetaran dibuatnya.

"Kamu sakit, ya? Kok pucet mukanya," tanyanya. Aku bisa tahu, dari ekspresinya ia terlihat mengkhawatirkanku.

Mohon maaf, jika kau khawatir padaku, seharusnya tinggalkan saja aku. Jangan dekati aku!

Aku tersentak saat aku tersadar tangannya baru saja menyentuh bahuku.

"Jangan sentuh!" Setelah mengucapkan sepatah kalimat itu—pada akhirnya aku berhasil bicara—aku pun melarikan diri sekuat tenaga.

Aku yakin, kini dia menganggapku cewek aneh.

"Kok lucu sih? Aku jadi semakin tertarik," gumamnya yang masih sempat kudengar.

Aku tidak salah dengar kan? Dia semakin tertarik untuk mendapatkan Kak Jisoo?!

***

To be continued

Kira-kira ekspresi Jaehyun gini ya, gais...

Sohyun ... itu maksudnya Bang Jae dia makin tertarik sama kamu, bukan kakakmu :") kan kamu yang lucu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro