Bagian 4: Anak Pindahan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seharian ini rasanya aku seperti main kucing-kucingan dengan si cowok asing yang ternyata murid pindahan dari Amerika itu. Proses kepindahannya terjadi ketika hari pertama kegiatan dies natalis digelar. Pantas saja tidak banyak yang tahu, termasuk diriku dan Arin.

Melihat dari kedua bentuk matanya yang sipit, aku bisa memastikan bahwa Jaehyun memiliki gen Asia yang lebih dominan. Seperti yang kutahu, Jaehyun adalah anak dari hasil persilangan ibu Korea dan ayah Amerika. Rahangnya yang tajam meninggalkan kesan manly dan dewasa. Tidak heran, kalau aku menganggapnya seumuran Kak Jin. Ternyata malah lebih muda empat tahun.

Selain kedua karakter itu, Jaehyun juga begitu manis dengan lesung pipi yang ada di kedua pipinya. Aku yakin, tak ada gadis yang tak luluh oleh visualnya yang luar biasa. Kecuali aku, tentu saja. Aku terlanjur kesal dengan cowok itu. Maksudku, impresi pertama kami sangat jelek. Bahkan aku selalu ambil kesempatan untuk menjauhinya. Bagaimana pun caranya!

"Kenapa wajahmu murung? Sakit?"

"Anak itu ... tadi pagi menggangguku lagi. Aku harus gimana menghadapinya?" tanyaku pada Arin.

Kami duduk sebangku. Hal ini mempermudahkan komunikasi di antara kami walaupun kelas sedang berlangsung. Arin melirik sekilas ke arah Jaehyun.

"Sinting juga, ya. Bukannya lihat ke papan, malah dari tadi liatin kamu. Naksir kali, Hyun," oceh Arin.

"Ngaco! Mana ada! Selama hampir dua tahun ini, nggak pernah tuh ada satu cowok pun yang naksir aku. Kalaupun ada, dia pasti nggak normal."

"Kok gitu? Kamu kan cantik, normal-normal aja dong."

"Bukan normal karena itu, maksudku, nggak normal adalah suatu kondisi ketika kamu melakukan hal yang berbeda dari orang lain. Orang-orang pada normalnya menjauhiku, tapi kalau ada yang mendekatiku sudah pasti dia nggak normal."

"Berarti ... aku termasuk nggak normal?" canda Arin. Aku memaksakan senyum selagi membalas candaannya, "Dari dulu, kan."

***

Neraka. Rasanya seperti aku jatuh ke dalam neraka, begitu tahu teman satu kelompokku dalam mengerjakan tugas kali ini adalah Jung Jaehyun. Mana anaknya dari tadi cengengesan nggak jelas lagi. Aku jadi semakin merinding.

"Kita sekelompok, ya? Wah, beruntung sekali kau," ledeknya. "Sekarang pasti bisa ngomong kan? Soal nomor satu, cara ngerjainnya gimana? Aku nggak tahu caranya."

Aku menggeram, mengeluh dalam hati, mencoba bersabar. Ahh! Kenapa harus dengannya? Apa nggak ada yang lain? Oh, Arin ... harusnya kamu yang jadi partner-ku, bukannya si gila ini.

Dengan melapangkan dada, aku menjelaskan setahuku tentang bagaimana cara memecahkan soal nomor satu. Soal cerita berbahasa Inggris yang intinya kami diminta untuk menyimpulkan poin penting dari bacaan. Belum selesai bicara, tiba-tiba dia tertawa.

"Kenapa?" Aku kebingungan dibuatnya. Apakah ada yang lucu?

"Kamu bodoh, ya? Kamu lupa aku pindahan dari mana?"

Aku terdiam beberapa detik hingga akhirnya aku sadar, dia pernah tinggal di Amerika selama sepuluh tahun. Rasanya seperti tertampar keras oleh kebodohanku. Bodoh, bodoh, bodoh! Kau bodoh, Sohyun! Bikin malu saja.

Aku langsung mengatupkan kedua belah bibirku. Membuang muka dan cuma bisa mengumpat dalam hati. Tak berani lagi menatapnya karena urat maluku nyaris putus. Sementara itu, Jaehyun memindahkan posisi duduknya. Ia kini ada tepat di hadapanku. Mengintip wajahku yang mungkin sudah sangat merah.

"Gitu, dong. Bicara. Sayang kalo punya suara indah tapi nggak dipamerin."

Sial, apa dia menggombaliku?

Aku memalingkan muka—lagi-lagi. Suasana di kelas masih banyak orang, tapi kenapa rasanya cuma ada aku dan Jaehyun berdua saja di sini? Aku mati kutu dibuatnya. Aku harus apa kalau dipuji sama cowok? Dia pasti playboy. Playboy kan suka berkata manis, pindah dari satu cewek ke cewek lain. Suka tebar pesona, suka nggak punya muka. Aku yakin seratus persen, Jung Jaehyun adalah seorang playboy.

"Mukamu merah, jadi makin imut," lanjutnya sambil menyeringai.

Aduh. Aku tidak niat untuk luluh, tapi kenapa malah aku jadi deg-degan begini. Wajar nggak sih kalau ada anak cowok yang baru dikenal tapi sudah sok dekat begini? Pakai acara menggombal segala. Jangan pikir aku akan meleleh terus menuruti keinginannya untuk membocorkan informasi tentang Kak Jisoo. Jangan harap!

Daripada meladeninya, aku lanjut mengerjakan soal. Meskipun dengan sangat was-was. Karena, mencoba fokus ketika seseorang mengawasi kita dengan serius, itu sangatlah susah. Tidak bohong, Jaehyun memang sangat tampan. Tidak kalah dari geng Orion. Tapi sifatnya yang seperti hama ini justru membuatku jadi semakin membencinya. Apa aku bisa enyah saja?

"Salah. Bukan begitu jawaban dari nomor tiga. Sini, biar aku saja."

Jaehyun menyerobot lembar jawaban kami. Oh, bagus. Dia mau berkontribusi. Lebih baik dibandingkan hanya diam saja sambil terus menatapku—yang penuh perjuangan mengerjakan tugas.

Wah, dia hebat juga. Ah iya, aku lupa. Dia dari A-m-e-r-i-k-a. Berapa kali aku harus menegaskan itu dalam pikiranku? Soal begini saja pasti gampang baginya.

Tulisan tangan Jaehyun sangat rapi untuk ukuran anak cowok—yang biasanya sudah seperti tulisan dokter di resep obat. Huruf-hurufnya tegas dan lurus. Mudah dibaca dan menyenangkan untuk dipandang.

Selain itu ... ah, ke mana fokusku?! Melihat bagaimana jemarinya yang lihai merangkai kata, tidak, bukan jemari. Lengannya, lengannya begitu berisi. Bisepnya tercetak jelas dari seragam sekolah yang ia kenakan. Pembuluh nadinya menonjol hingga membuatku berpikir bahwa ia bukan anak remaja, melainkan aktor tampan yang sering muncul di layar televisi.

Saking fokusnya aku pada lengan Jaehyun, aku tidak sadar. Ternyata anak itu sudah mengerjakan keseluruhan soalnya dalam waktu singkat. Aku terperangah. Hei! Sisakan juga untukku dong, aku kan juga mau kerja.

Kedua mataku menuntut penjelasan darinya.

"Sudah selesai, sana kumpulkan!" titahnya dengan nada santai dan bossy. Ia menyodorkan lembar jawabannya padaku.

"Harusnya kau sisakan juga untukku," protesku tanpa bisa menahan lagi kesabaran. Segera kurampas kertas darinya dan kutatapi tidak percaya. Beneran paket komplit. Sudah tampan, pandai, atletis pula. Hampir saja aku tak menemukan celah kekurangannya, selain sifatnya yang menyebalkan ini.

"Oh, kau juga mau mengerjakan? Tapi sepertinya pemandangan otot lenganku lebih menarik," katanya, sambil dengan sengaja menyingsingkan lengan atasnya.

"Lihat, air liurmu sampai menetes ke meja!" ucapnya agak kencang hingga satu kelas langsung menyorot ke arah kami.

Dia memergokiku?!

Sebelah tanganku langsung membekap mulut Jaehyun. Aku paling muak jadi pusat perhatian! Anak ini cari gara-gara, ya?!

"Wow, wow, wow. Tenang, kalau mau tanganmu kucium, bukan begini caranya," godanya.

Sial. Sungguh sial. Ini anak kok nggak punya malu sama sekali sih? Apa tinggal di Amerika selama sepuluh tahun membuatnya jadi sangat narsis begini? Aku langsung menjauhkan tanganku darinya. Jijik. Habis ini harus kubilas dan kusabun dengan air. Sampai bersih! Kalau perlu pakai antiseptik! Biar kuman di mulutnya tidak menempel padaku dan aku tidak tertular virus narsisnya.

Jaehyun tertawa. "Makanya, kalau ada pendapat jangan dipendam sendirian. Kalau ada yang mau dibicarakan, katakan dengan lantang. Lagian aku orangnya terbuka, kok."

Apa maksudnya bicara seperti itu? Seolah-olah dia memahami karakterku.

"Bukan urusanmu."

"Jelas jadi urusanku," sahutnya, "karena setelah ini kita akan semakin sering berinteraksi."

Jaehyun lagi-lagi tersenyum, tapi di balik senyumnya yang ini, tidak tahu kenapa seperti memprediksikan bahwa akan ada sesuatu yang buruk, yang terjadi beberapa hari ke depan.

Tolong, ya, Tuhan! Jangan libatkan aku dengan cowok ini lagi. Cukup hari ini saja, tidak lebih.

***

To be continued

Kalian pernah nggak sih, waktu SMP atau SMA ketemu orang yang kayak Jaehyun? Usil tapi usilnya lebih suka godain cewek-cewek -_- ?

Geli banget sih kalo aku🙄

Mari sejenak mengagumi indahnya ciptaan Tuhan :)


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro