Bab 28 - Aleta-Riki

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mohon maaf lahir dan batin🙏

Meskipun lebaran kali ini beda, semoga tetap menjadi hari raya yang membanggakan bagi kita umat muslim yang menjalankan, ya.

Selamat membaca.

...

Mata Aleta mengerjapkan mata, penglihatannya buram lalu perlahan mulai jelas. Dia memandang sekitar dan ternyata dia berada di UKS.

Aleta mencoba kembali mengingat kejadian terakhir sebelum dirinya berada di ruangan nuansa putih dan beraromakan obat-obatan. Dia ingat terakhir kali dia berada di toilet dan kejadian Rani juga ia ingat.

Kepala Aleta saat ini berisikan sebuah pertanyaan. Siapa yang membawanya kemari?

“Omaigat Al, gue panik tau nggak pas tau lo di UKS. Pamitnya ke toilet kok malah di sini?” kata Renata yang baru saja masuk buru-buru menghampiri Aleta.

Aleta membenarkan badannya menjadi menyender bertopang bantal ke dinding. “Gue tadi pingsan kayaknya di toilet,” jawab Aleta.

“What? Pingsan? Udah gue bilang kali Al, lo nggak usah olahraga tadi. Lo ngeyel sih kalau di bilangin.” Renata mengambil kursi lalu duduk di samping brankar Aleta.

“Ini kepala gue masih sakit, Ta, nanti aja kalau mau ngomel. Ini yang bawa gue ke sini siapa?” tanya Aleta.

“Nggak tau tadi gue di kasih tau adik kelas gitu katanya lo di sini.”

Aleta hanya merespons dengan mengangguk.

***

Tidak terasa hari libur kembali menghampiri. Kini Aleta sedang menuju ke rumah Riki untuk membuat video yang akan Riki sertakan dalam lomba pianonya.

Aleta pergi menggunakan ojek online. “Makasih ya, Pak,” kata Aleta sambil membayar ongkos.

Aleta melangkah memasuki pekarangan rumah Riki. Rumah ini masih sama seperti dirinya pertama kali kemari. Masih sepi, sunyi.

Setiba di depan pintu Aleta mengetuk pintu dan belum lama menanti Riki sudah membukakan pintu dan mempersilahkannya masuk.

Tidak butuh waktu yang lama mereka seger memulai membuat video. Lagu yang akan mereka kolaborasikan adalah A thousand years. Aleta menyanyikan lagu itu dengan begitu menghayati di tambah dengan iringan dentingan piano yang di mainkan oleh Riki.

Setelah beberapa kali mengulang karena Aleta masih merasa grogi akhirnya video yang mereka kerjakan telah selesai. “Thanks, ya, Al. Gue senang lo bersedia bantu gue dan doain semoga hasilnya nanti memuaskan,” ucap Riki.

“Aamiin. Sama-sama.”

“Lo mau langsung pulang?” tanya Riki dan mendapatkan anggukan dari Aleta.

Kemudian Riki menawarkan untuk mengantarkan pulang dan Aleta pun menyetujui.

Di perjalan tak ada yang membuka pembicaraan di antara mereka. Sejujurnya Aleta ingin bicara mengenai suatu hal tapi dirinya tidak mempunyai keberanian untuk mengutarakan.

Riki yang melihat Aleta seperti gusar segera berujar, “ada yang mau lo tanyain?”

Aleta menoleh sekilas ke arah Riki yang fokus menyetir. “Eum ... waktu yang lo bilang lo punya dua saudara yang kembar itu ... sekarang di mana?” tanya Aleta yang tampak ragu.

“Ada. Mereka ada.”

Mendengar jawaban Riki yang singkat sama seperti hari itu membuat Aleta membuang napasnya dengan kasar. Dia jadi merasa bersalah telah bertanya hal itu kepada Riki. Sangat tampak dari raut wajah laki-laki itu bahwa dirinya tak ingin membahas mengenai hal sesensitif itu.

“Ki, gue minta maaf,” ucap Aleta menunduk sambil memainkan jarinya.

“Maaf kenapa?” tanya Riki yang terus fokus menyetir tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya.

“Nggak seharusnya gue nanya gitu. Nggak seharusnya gue terlalu banyak tanya mengenai keluarga lo. Gue ... gue cuma nggak tau kenapa gue penasaran waktu lo bilang lo punya dua saudara dan kembar. Gue penasaran aja sebesar apa mereka dan seperti apa. Gue minta maaf sekali lagi,” kata Aleta yang semakin menunduk.

Riki menoleh ke arah Aleta dan menemukan Aleta yang tengah menunduk dalam. “Lo nggak perlu minta maaf, Al. Gue paham kok. Cuma emang untuk sekarang gue belum bisa banyak cerita ke lo. Bukan karena gue nggak percaya atau gimana, gue tau lo orang yang baik maka dari itu gue mau berteman sama lo. Cuma ... gue masih perlu memastikan sesuatu untuk saudara gue itu dan kalau udah selesai lo bakal gue kasih tau. Sori, ya,” kata Riki dengan lembut seolah dia tidak ingin melukai Aleta.

Aleta hanya mengangguk namun pandangannya masih ke bawah. Dia masih menunduk. “Lo nggak usah nunduk gitu, gue ngerasa bersalah jadinya,” kata Riki.

Aleta tak bergeming. “Lo tau nggak ada yang bilang kalau perempuan nunduk nanti mahkotanya jatuh,” ujar Riki lagi.

Aleta menegakkan kepalanya dan menoleh ke arah Riki yang tersenyum ke arahnya lalu kembali melihat ke jalan raya. “Siapa yang bilang gitu?” tanya Aleta.

“Gue lupa sih, tapi gue pernah baca gitu.”

“Berarti bukan dengar tapi baca,” sindir Aleta setengah menahan tawa.

Bukan apa masalahnya Aleta tahu kata-kata itu. Itu kata-kata ya g selalu di ucapkan oleh tokoh kesukaannya di sebuah novel. Novel yang menjadi novel kesukaannya dan novel yang membekas di hatinya.

“Ya anggaplah gitu.” Riki terkekeh.

“Lo suka baca?” tanya Aleta mengalihkan fokus pembicaraan mereka.

“Dulu lumayan sering walaupun nggak begitu suka,” jawab Riki.

“Kenapa sering baca kalau nggak begitu suka?” tanya Aleta lagi.

“Dulu gue suka di paksa sama saudara gue buat baca novel yang udah dia baca. Katanya bagus dan gue harus baca biar gue ngerasain apa yang di rasa.”

“Saudara lo yang kembar itu?”

Riki mengangguk. “Iya.”

“Dua-duanya suka baca?”

Lagi-lagi Riki mengangguk.

Aleta kemudian tak menyahut lagi sampai akhirnya rasa penasarannya semakin bergejolak. “Mereka perempuan?”

“Iya.”

“Kalau nama mereka gue boleh tau? Nggak tau kenapa gue kepo aja setiap lo bilang tentang saudara lo.” Aleta memasang raut wajah yang seperti memohon. Aleta juga tidak mengerti ada apa di dalam dirinya. Seperti ada magnet yang membuat ia ingin tahu dan terus tahu banyak tentang keluarga Riki.

“Dita dan Dini.”

Aleta mengangguk. “Nama yang indah. Gue jadi makin penasaran. Semoga suatu saat nanti gue bisa ketemu sama mereka, ya,” ujar Aleta menatap lurus ke depan.

“Lo pasti ketemu suatu saat nanti. Tapi lo harus siap hati.” Perkataan Riki membuat Aleta menyipitkan mata. Riki melirik sekilas ekspresi Aleta. “Lo harus siapin hati lo buat gue karena lo bisa jadi lo ketemu mereka nanti dalam hubungan yang berbeda. Maksudnya hubungan antara gue dan lo.”

“Gue mikir ke arah yang...” Ucapan Aleta menggantung.

Lalu terdengar kekehan dari Riki. “Mikir jadi pacar gue, ya?” godanya.

“Ishh.” Aleta memutar kepalanya menghadap jendela sambil cemberut.

“Canda Al,” kekeh Riki lagi.

“Ya ya ya.”

Kemudian dering dari ponsel Aleta membuat Aleta mengalihkan tatapannya. Dia mengambil ponsel di dalam tasnya lalu melihat nama Pak Anung yang merupakan supir Oma tertera di layar ponselnya.

Aleta menggeser tombol hijau menerima panggilan dari Pak Anung.

“Hallo Pak.”

“...”

“Apa? Oma masuk rumah sakit?”

“Iya Aleta ke sana Pak, makasih.” Lalu Aleta mematikan panggilan tersebut.

Jantung Aleta berpacu dengan cepat. Seingatnya Oma baik-baik saja tadi sebelum ia menemui Riki. Pikiran Aleta kembali kepada pengirim pesan rahasia yang beberapa hari ini sudah tak mengiriminya pesan lagi.

Ini yang Aleta khawatirkan. Ini yang Aleta takutkan. Akhirnya Omanya menjadi korban dari pengirim pesan rahasia itu. Detik berikutnya ponsel Aleta kembali berdering menandakan pesan masuk.

Saat Aleta membuka pesan itu benar saja. Semua ini ada hubungan dengan pengirim pesan rahasia ini. Aleta menahan amarah di kepalanya merasa begitu bosan dengan teror-teror pesan yang selalu ia terima.

Private number

Sudah saya bilang, kan? Jadi tidak perlu kaget lagu harusnya kamu sudah mempersiapkan diri, Aleta.

Napas Aleta memburu membaca kalimat demi kalimat yang ada dalam pesan ini. Otaknya terasa mendidih. “Al, kenapa?” tanya Riki yang sedari tadi memperhatikan Aleta.

“Kita ke rumah sakit aja, Ki. Oma masuk rumah sakit.”

...

Salam sayang
NunikFitaloka

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro