Bab 29 - mengganjal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langkah kaki Aleta menyusuri koridor rumah sakit. Sampai di resepsionis dia bertanya di mana ruang UGD. Perasaan Aleta berkecamuk akan keadaan Omanya.

Setiba di depan pintu ruangan ada Pak Anung yang tengah duduk di kursi yang di sediakan di depan ruangan itu. Dia berdiri melihat Aleta baru saja tiba.

“Pak, gimana Oma?” tanya Aleta tanpa basa-basi.

“Masih di periksa Dokter Non,” jawab Pak Anung.

“Kok bisa Oma di sini? Oma kecelakaan atau kenapa?” tanya Aleta.

“Tadi Bapak di suruh Oma ke warung untuk beli bahan membuat kue dan saat Bapak kembali Oma sudah tergeletak di lantai ruang tamu.” Pak Anung menjelaskan mengenai apa yang menimpa Oma.

Wajah Aleta berubah menjadi kaku. Tenggorokannya tercekat. Apa orang misterius ini mendatangi Oma?

Aleta mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi nomor private yang mengiriminya pesan beberapa hari ini. Namun tetap saja nomor itu tidak bisa di hubungi. Tangan Aleta mengepal kuat, dia benar-benar muak dengan pengecut yang bersembunyi seperti ini. Dia tidak boleh diam lagi, dia harus mencari tahu siapa yang selalu mengirimi pesan teror itu.

Aleta duduk di bangku setelah sudah lama berkutik dengan ponselnya. Bahunya bergetar menahan isakan. Saat ini dia sudah putus asa. Hanya Oma yang ia miliki lalu orang ini dengan sengaja menerornya dan melukai Oma. “Al, lo baik-baik aja? Ada yang bisa gue bantu?” tanya Riki yang sedari tadi hanya memperhatikan Aleta.

Aleta menangkup  wajahnya dengan kedua tangannya lalu dia menggelang pelan. Dia tidak ingin sampai tangisnya tumpah saat ini. Dia tak ingin memicu pertanyaan-pertanyaan lainnya lagi dari Riki.

Belum lama keluarlah laki-laki berseragam putih dari ruangan UGD. “Dok, gimana keadaan Oma saya?” tanya Aleta.

“Ibu Arna diduga terkena serangan jantung. Apa beliau ada riwayat penyakit jantung?” tanya sang Dokter.

Aleta menggeleng. Selama ini Omanya selalu terlihat baik-baik saja. Dia tidak pernah terlihat lemas atau pucat apalagi masuk ke rumah sakit, itu sangat tidak pernah seingat Aleta.

“Kami akan mengecek lebih lanjut lagi nanti. Sekarang pasien akan di pindahkan ke ruangan rawat dulu untuk itu anda bisa mengurus admistrasi terlebih dahulu,” ucap Dokter.

“Baik, terima kasih Dok.”

Berikutnya Aleta mengurus administrasi ditemani oleh Riki. Aleta sudah mengatakan Riki tidak perlu repot-repot, dia bisa pulang tapi Riki menolak. Katanya dia ingin menemani Aleta sampai bertemu Omanya. Sepertinya Riki memahami bahwa kondisi Aleta saat ini benar-benar perlu seorang teman.

Arna sudah di pindahkan ke ruangan rawat dan Aleta sudah bisa menemuinya. Perlahan Aleta membuka knop pintu dan menampilkan Oamnya yang terbaring lemah di brankar. Terdapat selang yang melilit di hidungnya, dan beberapa alat yang tertempel di bagian dadanya begitupun terdengar suara deteksi detakan jantung dari alat berbentuk segi empat di sana.

Aleta mendekat kemudian memegang tangan Omanya. Dia menggenggam tangan Oma dengan erat sambil mengelus di pipinya. “Oma yang kuat, ya,” kata Aleta.

Perlahan air matanya mengalir begitu saja.  Hati Aleta berkecamuk melihat Omanya terbaring seperti ini. Dia tidak pernah melihat Omanya tak berdaya seperti sekarang. Omanya selalu terlihat kuat meskipun umurnya sudah lumayan tua. Omanya bahkan tidak pernah terlihat letih meskipun merangkap menjadi seorang Ayah dan menjadi seorang Ibu untuk Aleta.

Aleta merasakan Riki mengelus pundaknya yang bergetar. Riki menenangkannya. “Lo tenang aja Oma lo akan sadar secepatnya. Dia akan baik-baik aja. Percaya,” kata Riki yang mencoba memahami perasaan Aleta saat ini.

Aleta mengangguk dan menghapus air matanya. Dia tidak boleh cengeng. Jika Oma selama ini selalu kuat mengurusi dan menafkahinya dengan berbagai masalah yang menjadi rintangannya. Lalu mengapa dia baru mendapatkan masalah saja sudah cengeng dan merasa putus asa. Bukannya Aleta sudah terbiasa dengan kondisi-kondisi yang menekan batinnya. Tidak ada kasih sayang Ayah dan Ibu sejak umur lima tahun, tidak sama seperti anak yang lainnya yang di antar dan di jemput oleh Ayah dan Ibu di hari pertama sekolah dan masih banyak yang lainnya. Harusnya Aleta sudah terlatih dan jauh lebih kuat menghadapi ini. Hanya saja, Aleta merasakan takut mulai menjalari dirinya. Takut kembali di tinggalkan oleh orang yang dia sayangi, dia cintai.

“Lo pulang aja nggak apa, Ki,” kata Aleta menoleh ke arah Riki yang masih sedia berdiri di belakangnya.

“Gue nggak keberatan kalau harus nemenin lo di sini.” Riki tersenyum ke arah Aleta.

“Lo nggak mungkin di sini, Ki. Hari udah sore kalau mau sampai malam nanti lo keteteran buat sekolah besok.”

“Dan lo? Sekolah?” Riki mengangkat Alisnya sebelah.

“Kalau Oma belum sadar juga besok mungkin gue izin.” Aleta memandang Omanya sambil mengatakan itu.

“Kalau gitu gue gampang buat sekolah besok yang penting malam ini gue di sini nemenin lo dan surat lo biar gue yang urus. Kalau lo capek mau tidur nggak apa nanti kalau ada perkembangan dari Oma gue bngunin,” jawab Riki.

Aleta menggeleng. “Gue nggak ngantuk, Ki.”

“Lo belum makan dari siang. Ayo kita ke kantin makan dulu.” Riki menarik tangan Aleta tapi di tolak Aleta. “Gue juga nggak lapar.”

“Lo bisa sakit nanti, Al.” Aleta tak merespons perkataan Riki dia sibuk menggenggam tangan Omanya dan memandangi wanita yang berbaring lemah di brankar.

Melihat tak di respons Aleta Riki segera permisi keluar dari ruangan. Dia membiarkan Aleta sendiri selagi ia harus pergi terlebih dahulu.

***

Seorang perempuan duduk manis di kursi yang berputar kadang berputar ke kanan dan ke kiri. Seringaian selalu menyertai di wajahnya. Perasaannya puas saat ini. Perlahan dia mulai berhasil, semua rencananya yang tersusun rapi tak boleh sampai berantakan atau hanya keliru satu saja.

Dia tidak menyangka semudah ini dia menghancurkan perempuan itu. Dia tidak perlu mengotori tangannya perempuan itu akan segera menuai kehancuran yang teramat dalam.

Ketukan pintu terdengar dan perempuan yang duduk di kursi itu menyuruh orang di balik pintu itu untuk masuk. “Saya sudah mengecek Aleta sudah berada di rumah sakit. Keadaannya sepertinya sangat terpukul melihat Omanya yang terbaring lemah,” ujar laki-laki yang baru saja masuk.

“Bagus. Itu yang saya inginkan,” jawab perempuan itu masih dengan seringai di bibirnya.

“Setelah ini apa lagi?” laki-laki itu mengangkat alisnya seolah dia sudah siap mendapat tugas dari sang atasan.

“Kamu sabar. Semua rencana saya sudah terstruktur. Setelah ini mungkin bukan kamu yang bertindak tapi orang lain.”

“Maksud anda? Orang lain siapa? Orang yang dekat dengannya juga?”

“Menurutmu? Saya selalu bermain cantik,” jawabnya.

Laki-laki itu hanya berpikir siapa yang menjadi kemungkinan yang dimaksud perempuan di hadapannya saat ini. Namun terdapat sesuatu yang seperti mengganjal di hatinya. Apa perasaan bersalah mulai menggerogoti ruang hatinya?

...

Salam sayang
NunikFitaloka

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro