Bab 30 - Luka di mata

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Sayang, plis cuma kali ini doang, ya,” kata Rani yang sejak tadi merayu kekasihnya. Johan.

“Ran, jangan minta gue kasar sama lo,” jawab Johan yang sudah muak mendengar rengekan Rani dari tadi.

“Apa? Kasar? Johan kamu sadar nggak sih aku pacar kamu? Pacar kamu,” kata Rani yang menekan kata 'Pacar'.

“Minggir gue mau pergi.” Johan menggeser tubuh Rani yang menghalangi jalannya.

“Pergi ke rumah sakit?” tanya Rani yang menghentikan pergerakan Johan.

“Kamu mau ke rumah sakit nemenin Aleta jagain Oma dia, iya?” tanya Rani lagi dengan napas memburu.

“Iya.” Sepatah kata yang keluar dari mulut Johan yang berhasil membuat kemarahan Rani memuncak.

“Kamu apa-apaan Johan? Aku pacar kamu cuma minta ditemenin makan kamu nggak mau dan untuk nemenin Aleta kamu mau?  Pacar kamu itu aku Johan! Aleta cuma mantan kamu. Mantan kamu!” Rani setengah berteriak tak perduli dengan semua orang yang berlalu lalang melihat mereka.

Sekarang mereka tengah berada di depan rumah Johan. Rani sengaja menyusul Johan ke rumahnya malam ini. Dia tahu Johan akan pergi menemui Aleta dan itu jelas membuat dadanya bergemuruh hebat. Dia tidak akan membiarkan hal itu.

“Gue tau tanpa lo ingatin dan gue nggak perlu izin dari lo untuk ke rumah sakit atau menemui Aleta.” Johan tak berbalik tetap dengan posisinya yang membelakangi Rani dan detik berikutnya ia melangkah menuju motornya yang di garasi.

“Aku tau kamu akan lebih milih dia dibanding aku meskipun aku pacar kamu. Perempuan murahan itu udah kasih apa sama kamu? Selama ini aku nggak pernah kamu perlakukan layaknya pacar, kenapa? Karena perempuan itu udah ngasih yang paling berharga di hidup dia? Aku bisa kasih kamu itu, kalau kamu mau,” kata Rani masih dengan napas memburu tapi sedikit lebih tenang.

Johan berbalik dan menatap Rani dengan tajam. Rahangnya mengeras lalu tangannya meraih lengan Rani dengan kasar. “Jangan pernah bilang dia perempuan murahan! Dia nggak serendah lo, Rani.” Ucapan Johan membuat Rani tersentak. Kekasihnya terus saja membela orang lain. Rasanya hatinya tertusuk seribu jarum.

“Kalau gitu kenapa lo masih mau pacaran sama gue yang rendahan ini, hm?” tanya Rani yang menahan isakan dan rasa sakit di lengannya.

“Gampang. Alasannya cuma satu membuat Aleta sadar kalau dia masih mencintai gue,” Jawab Johan mengeratkan cengkramannya di lengan Rani.

Air mata begitu saja lolos dari pelupuk mata Rani. “Gue benci lo Johan,” lirih Rani seraya dengan isakannya yang semakin jelas.

“Gue tau maka dari itu menyingkir,” ucap Johan sambil menghempaskan lengan Rani dengan kasar.

Johan berniat kembali ke motornya tapi perkataan Rani membuat dia mendadak tak suka, “lo akan nyesel Johan. Lo akan lihat Aleta hancur sehancur-hancurnya,” lirih Rani dengan tatapan kilat.

“Sampai berani lo lakuin hal apapun ke Aleta gue orang pertama akan menyingkirkan lo Rani, walaupun hanya seujung kuku lo nyentuh dia.” Usai mengatakan itu Johan segera menghampiri motornya sebelum berlalu dia menghentikan motornya di depan Rani sambil berujar, “Udah jelas, kan? Jadi mulai detik ini jangan pernah menganggap kalau diri lo pacar seorang Johan, paham?” sejurus kemudian Johan membawa motornya membelah jalanan Jakarta.

***

Johan sudah tiba di rumah sakit tepatnya kini dia berada di depan pintu ruangan yang ia dapat informasi dari Renata tempat Oma Arna di rawat.

Sejak tadi pikiran Johan tak tenang mendengar Oma Arna belum sadar. Kondisi itu akan memperburuk Aleta. Harusnya dia tahu saat Oma Arna baru saja masuk ke sini sehingga dia bisa menemani Aleta.

Perlahan tangan Johan membuka knop pintu. Saat pintu terbuka menampilkan Aleta yang tidur di sofa dan di sampingnya ada Riki yang kini menatap Johan.

Johan ragu untuk masuk tapi melihat kondisi Aleta yang sangat jauh dari kata baik membuat dia tetap melangkahkan kakinya.

Johan melihat Riki berdiri. “Lo ngapain di sini?” tanya Johan tepat ketika mereka saling berhadapan.

“Menurut lo?” Riki mengangkat alisnya satu.

“Jadi ini alasan lo nggak masuk, lo tau lebih dulu?”

“Iya.”

Johan melirik Aleta. Raut wajahnya sangat jauh dari kata baik-baik saja, matanya sembab, bibirnya pucat. Dia terlelap tapi tidak terlihat tenang. Banyak kecemasan terlukis di wajah gadis itu.

Rasanya Johan ingin mendekapnya saat ini. Memberikan bahunya sebagai sandaran untuk gadis yang selalu mengisi hatinya. Membiarkan dia menangis menumpahkan seluruh air mata yang ia miliki dan merasa tenang serta aman bersamanya.

“Dia udah makan?” tanya Johan kepada Riki yang tak lepas dari pandangannya terhadap Aleta.

“Gue udah beliin dan lo bisa lihat makanan itu belum tersentuh sedikitpun,” kata Riki sambil menunjuk makanan di atas meja.

“Kalau lo belum pulang, lo bisa pulang sekarang. Gue yang jagain Aleta,” ucap Johan.

Riki mengangguk. “Jagain dia nanti gue balik lagi.” Johan hanya tertawa miring. “Gue bukan penjahat. Lo nggak perlu balik lagi,” jawabnya.

Selepas kepergian Riki, Johan duduk di samping Aleta sambil terus memperhatikan gadis yang belum sadar dari tidurnya itu.

Sekilas melirik ke arah Arna yang masih terbaring lemah di brankar. “Lo ngapain di sini?” tanya Aleta sewaktu Johan masih melihat ke arah Arna.

Johan langsung mengalihkan pandangannya ke arah Aleta. Dia melihat Aleta membenarkan rambutnya lalu beranjak dari sofa. “Lo mau ke mana?” tanya Johan yang ikut berdiri.

“Mau nungguin Oma.”

Johan menahan lengan Aleta. “Duduk dulu, lo belum makan,” ujarnya.

Aleta menepis tangan Johan. “Lo lebih baik pulang.”

“Ayo Al, duduk. Lo butuh energi setelah ini Oma pasti sadar.” Johan mengapit tubuh Aleta menggunakan tangannya dan mengisyaratkannya untuk duduk kembali di sofa. Aleta hanya menurut sedangkan Johan membuka nasi kotak yang ada di atas meja. “Ini makan.”

Aleta menolaknya dan mengatakan bahwa dia tidak nafsu. “Johan lo mau apa ke sini?” tanya Aleta menghadap Johan.

“Gue jawab kalau lo makan, ayo.” Johan menyodorkan nasi ke hadapan Aleta lagi.

Aleta berdecak kesal. “Lo tinggal jawab apa susahnya, sih?”

“Lo tinggal makan apa susahnya, sih?” Johan hanya membalikkan pertanyaan Aleta sebelumnya.

Aleta mendengkus lalu memakan nasi itu dengan sembarang. Johan tersenyum melihat tingkah Aleta. Setidaknya dia sudah kembali membuat gadis di hadapannya ini kesal. Rasanya sudah lama dia tidak menjahili Aleta.

Aleta meletakkan kotak nasi itu setelah tiga suap memakannya. Dia ambil minum di atas meja dan menyasapnya beberapa hirupan. “Jadi, ngapain lo ke sini?” tanya Aleta sambil menutup botol minum.

“Gue tau Oma masuk rumah sakit dari Renata baru maghrib tadi. Gue ke sini hanya berniat menjenguk sambil menemani lo,” kata Johan.

“Bukannya lo udah ngibarin bendera perang beberapa hari lalu?” tanya Renata dengan sinis.

“Bukan bendera perang. Gue cuma mau lo buktiin omongan lo di rooftop malam itu, dan waktu lo terus berjalan dari jatah seminggu yang gue kasih,” jawab Johan.

“Gue nggak peduli. Lo bisa pulang sekarang karena gue nggak butuh ditemenin.” Aleta beranjak dan duduk di kursi di dekat brankar.

Aleta menggenggam tangan Arna dan meletakkannya di pipinya. Aleta terlihat menatap sang Oma dengan penuh harap.

Sekali lagi Johan melihat luka di mata Aleta. Johan tidak berniat pergi meskipun sudah di suru pergi oleh Aleta. Dia hanya ingin di sini menemani Aleta. Hanya itu.

...

Salam sayang
NunikFitaloka

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro