Bab 31 - lelah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aleta keluar dari ruangan Dokter dengan raut wajah yang lesu. Kepalanya sedikit pening. Mengingat semua keterangan Dokter mengenai keadaan Omanya membuat dia kembali berpikir.

"Jadi begini, Ibu Arna memang tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Serangan jantung yang tiba-tiba menghampiri Ibu Arna disebabkan oleh keadaan setres yang tinggi. Banyak kecemasan yang sepertinya sudah menumpuk di dalam dirinya, amarah yang sudah tidak terbendung juga memicu datangnya serangan jantung. Untung Ibu Arna segera dilarikan ke rumah sakit sebab jika lebih lama saja itu akan memperburuk kondisinya. Untuk itu, anda sebagai keluarganya harus sering mengontrol kondisinya jangan sampai dia terlalu sering merasa cemas atau memicu beliau mengeluarkan amarah yang berlebihan. Sekarang kita hanya menunggu beliau sadar setelah itu akan diperiksa lagi."

Tuturan Dokter selalu terngiang di telinga Aleta. Aleta tidak tahu kecemasan dan amarah apa yang di alami Omanya sampai bisa terkena serangan jantung. Apa yang sebenarnya sedang di alami sang Oma. Dia tidak mengerti, selama ini dia melihat Omanya baik-baik saja. Tidak ada raut kecemasan atau apapun. Apa Aleta seburuk itu sampai dia tidak bisa mengenali masalah atau tekanan yang dihadapi Omanya saat ini?

Aleta berhenti di depan ruangan rawat Arna. Dia duduk di bangku yang ada di depan sana. Johan belum pulang. Dia juga ikut menemani Aleta saat masuk ke ruangan Dokter tadi.

Aleta memegang kepalanya, mengusap wajahnya frustasi lalu menangkupkan kedua tangannya di wajah. Kemudian dia merasakan tangan seseorang mengelus bahunya seperti ingin menenangkan.

Aleta tak bergeming dia tetap bersembunyi di balik tangannya. Napas gadis itu naik turun beserta pening kembali menghampiri kepalanya.

"Oma lo akan sadar lo tenang jangan sampai ikutan sakit." Aleta menegakkan wajahnya lalu menatap ke arah Johan yang masih menautkan tangannya di bahu Aleta.

"Gue seburuk itu, ya, sampai selama ini Oma sering cemas gue nggak tau?" tanya Aleta.

Johan menggeleng sambil tersenyum. "Lo nggak boleh berpikiran gitu. Nanti setelah Oma keluar lo bisa diskusikan maslah ini. Lo bisa tanya apa penyebab Oma cemas atau marah sehingga dia seperti sekarang, tapi untuk sekarang lo hanya perlu tenang dan berdoa dengan tenang kondisi badan lo nggak akan tumbang," jawab Johan.

Aleta mengalihkan pandangannya lalu tangan kanannya mengusap dahinya dengan lelah. "Semoga Oma baik-baik aja," lirih Aleta.

Lalu berikutnya dia bersama Johan masuk ke dalam ruangan rawat Arna. Mereka kembali menunggu sadarnya Arna. Sejak kemarin Aleta tidak tidur kecuali tidur sebentar saat Riki yang menemani kemarin.

Cekungan di mata Aleta menjadi isyarat bahwa dia tampak sudah sangat lelah. Johan menyuruhnya tidur tapi dia menolak. Aleta hanya memandangi Omanya berharap ia membukakan mata. "Oma, Aleta kangen Oma. Oma bangun, ya?" gumam Aleta sambil terus mengelus tangan Arna yang ditempelkannya di pipinya.

"Al," panggil Johan.

"Johan, Oma kenapa belum bangun?" tanya Aleta.

Johan meraih bahu Aleta menghadapkan gadis itu kepadanya. "Gue tau lo capek. Kalau lo mau numpahin semuanya, gue siap buat jadi sandaran lo," kata Johan.

Detik itu juga air mata melalui pelupuk mata Aleta. Aleta lelah menahan semuanya, ia cukup sudah berusaha terus tegar. Nyatanya tetap saja dia hancur. Tangan Johan mulai mendekapnya. Posisi Johan yang semula berdiri kini berlutut agar Aleta bisa berada dalam dekapannya.

Aleta menangis menumpahkan semuanya di pelukan Johan. Dia tidak perduli terlihat lemah di mata Johan, dia tidak perduli bagaimana Johan akan menanggapi sikapnya. Hanya untuk saat ini dia cuma ingin menangis melepaskan semua yang sudah lama menumpuk di dalam dirinya.

Aleta merasa rambutnya dielus lembut dengan Johan. Ini semua membuat dirinya sedikit lebih membaik. Rasanya hangat berada dalam dekapan laki-laki ini. Rasanya ... dia tidak sendiri lagi. "Gue selalu ada buat lo. Jangan pernah ngerasa lo sendiri," ucap Johan seolah-olah laki-laki itu bisa menerka perasaannya. Aleta terus menangis tak memberikan respons apapun. Dia tahu Johan tidak pernah pergi darinya, bahkan tidak akan pernah pergi.

Aleta menegakkan wajahnya dari pelukan Johan saat mendengar Arna memanggil namanya. Dengan wajah masih dibanjiri Air mata, Aleta menoleh ke arah Arna dan menggenggam tangannya kembali. Arna sudah membuka matanya.

Aleta tersenyum meski air mata masih melalu kelopak matanya. Dia bahagia Tuhan mengabulkan doanya. Tuhan membangunkan Omanya. Detik berikutnya tangan Arna berada di wajahnya, jari-jemarinya menghapus sisa-sisa air mata di pipi Aleta. Aleta membalasnya dengan senyum lalu memeluk sang Oma dengan erat.

***

Sudah dua hari sejak kepulangan Arna dari rumah sakit. Keadaan Arna sudah lumayan membaik. Aleta dengan setia merawatnya dan rutin memberikan beberapa obat yang dipesankan oleh Dokter.

Aleta tetap izin sekolah. Dia tidak bisa meninggalkan Arna. Sudah dua hari ini tak ada pesan dari orang misterius itu lagi, Aleta merasa curiga bahwa dia akan memulai aksi psikopatnya lagi. "Oma, waktunya minum obat," ucap Aleta memasuki kamar Arna dengan nampan yang berisikan segelas air dan beberapa keping obat.

Arna tersenyum saat Aleta duduk di pinggir kasur. "Makasih, ya, Sayang," katanya.

Aleta hanya mengangguk sambil tersenyum. "Oma, Aleta boleh nanya?" tanya Aleta dengan ragu.

Arna mengangguk. "Boleh. Kamu mau nanya apa?"

"Apa yang menyebabkan Oma masuk rumah sakit kemarin?"

Aleta melihat Arna bungkam. Raut wajahnya seketika menegang. "Oma, waktu itu Dokter bilang kalau pemicu Oma terkena serangan jantung adalah stres yang tinggi. Apa yang membuat Oma setres? Apa yang oma pikirkan dan cemaskan?" tanya Aleta saat Arna belum membuka suaranya.

Arna masih diam tidak menanggapi perkataan Aleta. "Oma?" panggil Aleta sambil memegang tangannya.

"Nggak, Al. Oma hanya memikirkan boutique, ada masalah di cabang yang baru kita buka," jawab Arna sambil menggenggam tangan Aleta.

Arna mengembuskan napasnya. "Oma, jangan terlalu banyak pikiran. Nanti Aleta akan bantu masalah di boutique yang penting Oma harus tetap jaga kesehatan, ya?" tutur Aleta.

Arna hanya mengangguk lalu Aleta berpamit keluar. Sebelum ditutupnya pintu Aleta melihat Arna sesaat. "Apa yang Oma sembunyikan dari Aleta?" batin Aleta sambil tersenyum dan menutup pintu kamar Omanya.

***

Sepeninggalan Aleta, Arna menarik napasnya dalam-dalam. Dia tidak menyangka Aleta akan bertanya seperti tadi.

Dia terpaksa berbohong. Dia tak ingin jika Aleta akan menjadi kepikiran tentang dirinya atau justru malah Aleta akan ... membencinya.

Sore itu Arna memang sedang di rumah yang baru saja menyuruh Pak Anung ke warung. Namun tepat ketika Pak Anung ke luar, bel berbunyi dan Arna membukanya.

Napas Arna saat itu seketika berhenti melihat siapa yang tengah berdiri di depan pintu. Perempuan yang sudah belasan tahun tak ia temui.

Senyuman terukir di wajah perempuan itu dia menatap Arna dengan tatapan yang begitu sangat sulit di artikan. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Arna yang sedikit menahan emosi.

Perempuan itu tersenyum mendengar pertanyaan Arna. "Mau saya sudah saya katakan kepada Aleta."

"Beraninya kamu menemui cucu saya," geram Arna dengan wajah yang sudah memerah menahan setiap emosinya.

"Ah tidak, saya tidak menemui cucu kesayanganmu itu. Jika saya menemuinya, bukankah dia akan sangat terkejut dengan kehadiran saya?" perempuan itu lagi-lagi menyunggingkan senyuman.

"Pergi dari rumah saya dan jangan pernah menemui Aleta!"

"Ssttt. Tidak perlu berteriak. Saya belum tuli. Saya hanya penasaran bagaimana anda bisa hidup dengan perasan bersalah yang mendalam? Lebih penasaran lagi, bagaimana jika Aleta mengetahui siapa Omanya sebenarnya?"

"Kamu..." Arna memegang dadanya yang terasa nyeri lalu pening menghampiri dan badannya terasa kaku serta lidahnya menjadi kelu.

Perlahan napasnya terasa tercekat dan dia kehilangan keseimbangan badannya dan detik berikutnya semua pandangannya memburam dan perlahan menghitam.

"Maafin Oma, Al," lirih Arna yang tak terasa kini sudah berhamburan dengan air mata serta kejadian-kejadian yang membuat dirinya merasa bersalah datang satu persatu menghinggapi memorinya.

...

Salam sayang
NunikFitaloka

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro