Bab 32 - keteraluan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning!!!

Adegan tidak baik ditiru.

...

Bel pulang sudah berbunyi lima belas menit lalu tapi Aleta belum meninggalkan pekarangan sekolah karena masih ada urusan dengan pembina OSIS.

Aleta keluar dari ruangan Pak Andar dan kemudian menolehkan wajahnya ketika melihat seseorang yang tengah berbincang dengan wakil kesiswaan di ruangan. Pintunya sedikit terbuka membuat Aleta dapat melihat siapa orang yang tengah duduk di sana.

Dari belakang tapi Aleta sangat tak asing dengan postur badan itu. Perlahan degupan jantung Aleta berpacu. Tidak mungkin, kan, orang yang selama ini sudah menghilang dari hidupnya kembali lagi? Bahkan sekarang ada di sekolahnya?

Aleta memundurkan langkahnya. Dengan perasaan tak karuan ia bergegas kembali ke kelas untuk mengambil tasnya. Aleta berjalan dengan menunduk, seperti ada sesuatu yang akan membanjiri wajahnya sebentar lagi.

Brakk.

Aleta menabrak tubuh seseorang tapi ia tak berani melihat siapa yang ia tabrak. Dia hanya mengucapkan maaf lalu berjalan kembali sambil terus menunduk.

Sampai Aleta merasa tangannya sedang dicekal oleh seseorang barulah ia menghentikan langkahnya dan melihat ke arah orang yang mencekal tangannya.

Aleta mencoba menepis setelah tahu siapa orang itu. Dia adalah Rani. Saat ini Aleta sedang tidak baik-baik saja, dia tak ingin berurusan dengan Rani. Belum lagi sekarang mungkin Rani sudah melihat kondisi wajahnya yang perlahan terdapat cairan bening meluap melalu pelupuk matanya.

“Nggak usah mampang muka belas kasihan. Sini ikut gue.” Rani menarik dengan kasar tangan Aleta.

Aleta memberontak tapi Rani semakin mengeratkan tangannya. Rani membawanya ke taman belakang sekolah. Ada sebuah pohon besar di tepi taman dan Rani menyandarkan Aleta di pohon itu.

“Lo lupa omongan gue tempo hari?” tanya Rani masih menahan amarahnya.

Aleta menghapus Air matanya. “Gue nggak lupa. Sori, Ran, gue masih banyak urusan.” Aleta berniat pergi namun bahunya tersentak ke pohon itu lagi. Rani yang melakukannya.

“Puas lo sekarang, ha? Puas Johan udah ninggalin gue karena lo!”

“Lo nyalahin gue? Udah gue bilang dari awal lo cuma pelampiasan dia. Jadi jangan terlaku bahagia,” kata Aleta dengan tajam.

“Lo!” teriak Rani dan saat itu juga dia mendorong tubuh Aleta sehingga terjungkir di tanah. “Gue benci sama lo. Sok cantik. Lo pikir lo secantik itu, ha?! Sekarang lo lihat apa yang akan gue lakuin ke lo,” sinis Rani.

Lalu entah dari mana dua teman Rani sudah berada di tengah mereka. Rani mengulurkan tangannya lalu temannya yang satu memberikan gunting. Aleta berdiri tapi lagi-lagi dijatuhkan oleh Rani.

“Pegang dia!” titah Rani dan dua orang temannya pun segera menurut memegangi Aleta.

Aleta memberontak tapi hasilnya Gagal. Perlahan Rani menggerakkan guntingnya ke seragam Aleta. Mulai dari baju. Aleta memberontak membuat gunting itu mengenai kulit pinggangnya. “Cuma pengecut yang beraninya keroyokan. Lo semua pengecut!” sindir Aleta.

Rani semakin geram. Guntingnya digerakkan sampai robekan itu di bawah dada Aleta. Rani bergerak lagi membelokkan gunting ke belakang dan merobek baju Aleta dengan sobekan panjang.

Aleta memejamkan matanya. Berharap Rani segera memberhentikan aksinya. Dia sudah berontak tapi tenaganya terbuang percuma. Dia tak juga terlepas dari kekangan dua pesuruh Rani ini.

Gunting Rani kini berada di rok Aleta. Dia mulai bergerak menggunting rok Aleta hingga benar-benar buruk. Namun, setelah puas memberontak Aleta berhasil melepaskan kekangan dua pesuruh ini. Aleta menepis tangan Rani dari roknya sehingga gunting pun terjatuh ke tanah.

“Lo kelewatan!” Aleta menarik tangan Rani dan mengambil gunting yang jatuh tadi. Ia berniat melakukan hal yang sama terhadap perempuan itu tapi baru satu sayatan dua pesuruh itu sudah menariknya dan menjatuhkannya di tanah. Rani bergerak mendekatinya sedikit berjongkok lalu menjambak rambut Aleta. “Ini nggak setimpal sama apa yang lo lakuin ke gue!” Rani semakin menjambak Aleta yang membuat perempuan itu meringis.

“Apa yang gue lakuin ke lo, ha?!” tanya Aleta tak kalah tinggi dengan suara Rani sebelumnya.

“Masih nanya, ya, lo.” Rani menghempaskan kepala Aleta. “Johan? Perempuan macam lo emang nggak akan pernah jadi tipe Johan. Jangan mimpi!” sindir Aleta.

Rani mengeratkan giginya. Dia geram. Tangannya mengepal kuat. Dia menyuruh salah satu pesuruhnya itu mengambil air lalu pesuruhnya yang satu lagi memegangi Aleta dan setelah air tiba Rani menyiramkannya ke Aleta sehingga tubuh Aleta basah kuyup.

Rani bergerak menarik kasar wajah Aleta. “Lo akan dapat hal lebih dari ini.” Rani menghempaskan wajah Aleta setelah mengatakan itu lalu pergi bersama dua pesuruhnya.

Sepeninggalan Rani Aleta terduduk lemas di tanah. Napasnya seketika sesak. Dia memandangi roknya, saat ini roknya sudah robek tak beraturan sekaligus memperlihatkan pahanya. Belum lagi bajunya yang basah dan tercabik cukup banyak juga di bagian kanan dan belakang.

Kotoran tanah juga menempeli seragamnya saat ini. Rambutnya yang sudah berantakan dan wajahnya yang memerah akibat cengkraman tangan Rani. Aleta membenci keadaan seperti ini. Keadaan di mana dia sangat tak berdaya untuk sekedar melawan. Lalu sekarang bagaimana? Dia harus pulang dengan cara apa? Tidak mungkin ia pulang dalam keadaan ini.

Untuk kembali ke kelas pun rasanya sulit karena Aleta yakin di sekolah ini masih ada orang. Dia tidak ingin semua orang melihat seragamnya yang sudah berantakan dan mempermudah mereka melihat hal yang tak seharusnya mereka lihat.

Aleta menggeser badannya ke pohon lalu dia menyender mencoba berpikir bagaimana cara dia pergi dari sini. Air matanya perlahan lolos. Bukan karena tindakan Rani, tapi mengingat siapa yang ia lihat di ruangan wakil kesiswaan tadi.

Dada Aleta terasa sesak melihat orang itu. Apa dia mencari dirinya?

Getaran ponsel di sakunya membuat Aleta mengalihkan pandangan. Ponselnya ternyata dia bawa dan tidak mati meskipun terbentur dan tersiram air. Ini ponsel hadiah dari Oma yang mungkin memang sudah canggih sehingga tidak mati.

Nama Renata tertera di layar ponselnya. “Halo,” sambut Aleta dengan suara seraknya.

Al, lo kenapa? Gue tadi niatnya mau ke rumah lo.”

“Lo bisa ke sini sekarang?”

“Lo di mana?”

***

“Bener-bener, ya, itu nenek sihir. Gue nggak terima dia giniin lo.” Renata terus saja mengomel setelah mereka berada di dalam mobil.

Renata membawakan hoodie dan kain panjang untuk menutupi tubuh Aleta. Ada beberapa siswa yang melihat karena mereka belum pulang. Aleta hanya mengabaikannya.

“Gue heran, ya, kenapa ada orang macam dia.” Renata lagi-lagi mengomel.

“Ta,  plis lo nggak usah ngomel dulu. Kepala gue sakit, badan gue nggigil,” ucap Aleta yang hanya menyender ke kursi penumpang.

“Okay sori.”

“Jangan pulang ke rumah, ya, nanti Oma bisa khawatir. Kita ke rumah lo aja, pas gue udah beres nanti biar gue pulang sendiri. Pinjam seragam lo juga,” kata Aleta.

Renata hanya mengiyakan. Sepanjang perjalanan dia hanya memikirkan pembalasan apa yang pantas untuk Rani. Dia sudah sangat geram dengan perempuan itu.

“Ta, plis jangan kasih tau siapa pun soal ini.” Perkataan Aleta yang membuat bahu Renata  mengendur lesu.

...

Salam sayang
NunikFitaloka

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro