Bab 33 - Mundur?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Sayang, Oma minta tolong, ya,” pinta Arna sembari memasukkan baju ke dalam paper bag.

Aleta menoleh. “Apa Oma?”

“Kamu tolong antar ini, ya, ke butik. Nanti jam lima sore orangnya mau ngambil.” Arna menghampiri Aleta yang tengah duduk di meja makan sehabis minum.

Aleta meneguk liurnya. Sebenarnya dia masih begitu lelah setelah tadi menghadapi Rani. Tidak lebih tepatnya mendapat perlakuan buruk dari perempuan itu. Namun untuk menolak pun Aleta tak tega. Omanya belum boleh terlalu banyak aktivitas. “Iya, Oma. Aleta ganti baju dulu, ya.” Aleta naik ke atas menuju kamarnya.

Tak lama Aleta kembali turun setelah selesai mengganti baju. Dia hanya menggunakan Jeans dan kaos yang di balut kardigan panjang hingga lutut. “Ini barangnya, Oma?” tanya Aleta sembari mengambil paper bag di atas meja ruang tamu.

“Iya. Makasih, ya, nggak seharusnya kamu ke luar padahal baru pulang, tapi—”

“Oma. Aleta nggak apa, kok. Oma istirahat, ya, Aleta pamit. Assalamualaikum.” Aleta segera pergi bersama Pak Anung.

Aleta tiba di boutique sekitar jam lima kurang lima belas menit. Mungkin saja orangnya akan tiba sebentar lagi. “Mbak, ini ada titipan dari Oma.” Aleta memasuki butik dan memberikan paper bag itu kepada salah satu pegawai di sana.

“Baik Mbak,” jawabnya.

Aleta mengelilingi butik, ini adalah boutique pertama Oma. Sekilas Aleta tersenyum melihat busana di sini tertata rapi serta juga ada beberapa pelanggan yang sedang memberikan konsep busana seperti apa yang mereka inginkan.

Aleta memasuki ruangan khusus Omanya. Dia melihat banyak map yang tertata di atas meja. Pasti itu semua adalah pekerjaan Omanya. Dia membuka lemari yang ada di sana dan melihat beberapa dokumen-dokumen. Dia ingat Arna pernah mengatakan bahwa cabang yang baru saja omanya buka mengalami masalah. Mungkin dirinya akan menemukan jawabannya di sini.

Cukup banyak Aleta membuka dokumen tapi tak menunjukkan apapun mengenai masalah yang oma katakan di cabang yang baru. Ada dokumen mengenai cabang baru oma tetapi semua sama seperti dokumen lainnya.

Tangan Aleta menutup lemari dan kembali menguncinya. Mungkin dia tidak akan menemukan apapun di mari.

Langkah Aleta ke luar dari ruangan khusus sang Oma dan tepat saat itu pegawai yang tadi ia berikan titipan Arna berada di depannya. “Baju yang oma titip udah di ambil Mbak sama orangnya,” kata pegawai itu.

Aleta tersenyum. “Iya makasih, ya, Mbak.”

Lalu Aleta menoleh ke arah pintu. Aleta memicingkan matanya saat melihat dua orang tengah berbincang di depan pintu butik. Raut wajah Aleta seketika berubah.

Kedua Orang itu akhirnya tersenyum yang kemudian dilanjutkan dengan berjabat tangan. Yang satunya ke luar dari butik sedangkan yang satunya memasuki butik seperti menyusul seseorang.

Pandangan Aleta ikut ke arah orang yang ke luar butik. Dia memasuki mobilnya yang terparkir tepat di samping mobilnya. Lalu secepat jurus mobil itu meninggalkan pekarangan butik. Saat itu juga air mata Aleta  menetes membasahi wajahnya.

“Ya Tuhan.” Aleta membatin.

“Mbak,” panggil pegawai tadi memegang pundak Aleta.

Aleta terkesiap lalu menghapus air matanya. “Orang yang barusan ke luar, apa dia yang mengambil titipan oma?” tanya Aleta.

Pegawai itu mengangguk. “Iya. Itu suami yang memesan baju di sini Mbak, tapi karena ada beberapa kesalahan jadi oma bawa pulang. Namanya Pak Bagas Marta Diwantara.”

Aleta bungkam. Nama itu ... ayahnya. Aleta berjalan menuju pintu untuk pulang. Dia tak tahu harus bagaimana. Senang? Sedih? Melihat Ayahnya telah sekian lama. Aleta terus berjalan dengan tatapan kosong dan mata yang mulai berkaca-kaca.

Hatinya terasa pilu. Perasaannya tak menentu. Setelah keluar dari butik Aleta menghampiri Pak Anung yang sudah menunggu di dalam mobil. Sebelum masuk ke dalam mobil Aleta memandang jalanan yang kosong di sebelah mobilnya. Bayangan ketika ayahnya membuka pintu mobil kembali hadir dalam memorinya. Setetes air mata kembali meluncur dari kelopak mata gadis itu. Dengan cepat dia menghapusnya sambil mengerucutkan bibir. Dia tidak ingin lemah apalagi jikalau Pak Anung tahu, bisa-bisa dia akan mengatakannya pada oma.

Tunggu oma? Apa oma tahu yang memesan baju adalah istri dari anaknya? Aleta segera masuk ke dalam mobil lalu Pak Anung dengan cepat melajukan mobil meninggalkan tempat itu. Tempat yang menjadi saksi saat Aleta pertama kalinya lagi melihat cinta pertamanya, pahlawannya, setelah bertahun-tahun.

***

“Al, tunggu Al,” panggil Johan sejak tadi karena Aleta tak juga mendengarkannya sejak istirahat sampai bel pulang pun sudah berbunyi.

Aleta menghentikan langkahnya lalu menoleh. “Lo kenapa, sih?” tanya Johan tepat ketika Aleta menatapnya.

“Lo yang kenapa?” tanya Aleta balik.

“Maksud lo?”

“Lo yang kenapa, Johan? Kenapa sikap lo berubah-ubah? Pertama lo sok-sokan mau jadi teman baik dan buat kesepakatan, terus lo bilang lo masih suka gue di malam ulang tahun gue, kemudian lo pacarin Rani dan bersikap seolah nggak pernah kenal gue serta seperti mengibarkan bendera perang atau membentangkan jarak yang seolah nggak akan tertembus lagi, lalu lo datang seolah malaikat di rumah sakit dengan menjadi pendengar untuk gue, dan sekarang lo mau bersikap seperti apa lagi?” Aleta meneduhkan matanya. Napasnya naik turun menahan guncangan dalam dirinya yang siap ke luar.

“Al,” lirih Johan.

“Johan, stop itLangkah lo udah benar dengan pacarin orang lain dan jauhin gue,” kata Aleta menunjukkan lima jarinya agar Johan tidak mendekat dan dia tak ingin ada penyangkalan.

“Lo mau itu semua?” tanya Johan dengan suara rendah.

“Iya.”

“Oke. Tapi gue mau bukti lo. Siapa orang yang lo suka itu?”

“Johan plis—”

“Apa? Lo mau buat penyangkalan apa lagi? lo mau gue jauhin lo, kan? Gue akan penuhi tapi gue mau bukti lo. Mana?” Johan menatap Aleta dengan lekat sambil berjalan mendekati gadis itu.

Aleta buang muka lalu berniat pergi dan mendapat cekalan dari Johan. “Kalau emang ada alasan dari semua ini, lo bilang ke gue. Atau kalau harus ada pengorbanan di balik alasan lo itu, kita harus berkorban berdua. Karena sejatinya perasaan lo nggak pernah berubah, Aleta,” kata Johan dengan tatapan menusuknya.

“Johan, lepas.” Aleta terus mencoba melepaskan tangannya dari cekalan Johan.

“Lepasin dia.” Aleta dan Johan menoleh saat melihat Riki sudah hadir di antara mereka dan di ujung sana terdapat Andi, Donny, Renata dan Pricille yang ternyata belum pulang.

“Ini urusan gue sama Aleta,” jawab Johan.

“Sekarang apapun urusan yang menyangkut Aleta jadi urusan gue, Johan.” Riki menatap Johan dengan tatapan tak kalah tajam.

“Ck, lo siapa dia?” sinis Johan.

“Gue orang yang Aleta bilang. Gue orang yang udah gantiin posisi lo di hati Aleta,” ucap Riki dan saat itu juga cekalan tangan Johan mengendur dan melepaskan tangan Aleta.

Johan beralih menatap Aleta seolah dia meminta penjelasan. “Benar, Al?” Kata itu keluar dari mulut Johan.

Aleta menatap Riki sebentar lalu beralih lagi ke Johan. “Iya.” Aleta mengatakan itu sambil menundukkan pandangannya. Dia tidak menatap Johan.

Johan tersenyum. Senyuman yang begitu sulit di artikan. Luka, pilu dan semua rasa menyakitkan menyatu di dalam senyumnya. “Oke. Gue nggak akan ganggu lo lagi. Gue akan turutin mau lo untuk jauhin lo.” Johan memundurkan langkahnya lalu pergi begitu saja dari koridor itu.

...

Salam sayang
NunikFitaloka

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro