Bab 34 - noted

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aleta pulang bersama Riki. Saat mereka tengah berada di dalam mobil Riki mengatakan, “Al, gue minta maaf untuk yang tadi.”

Aleta tetap diam. “Gue tau nggak seharusnya gue bilang gitu ke Johan, tapi cuma ini jalan satu-satunya agar keinginan lo untuk Johan ngelupain lo bisa terwujud.” Riki kembali berbicara tapi tetap sama Aleta hanya diam.

“Al gue–”

“Riki gue berterima kasih sama lo. Pertama lo udah baik mau kasih tau gue tentang rencana Johan di malam ulang tahun gue supaya gue bisa nyiapin kata-kata apa yang pas untuk Johan. Kedua lo udah banyak bantu gue baik waktu gue kehujanan atau masalah Oma di rumah sakit dan lo nggak perlu minta maaf untuk yang tadi. Mungkin emang gitu jalannya.” Akhirnya Aleta membuka suaranya.

“Al gue ngelakuin ini–”

“Ki, berhentiin mobilnya, gue mau turun di depan,” kata Aleta.

“Maksud lo? Gue bisa antar lo ke rumah.”

Aleta menoleh ke arah Riki dan seolah mengerti Riki langsung memberhentikan mobilnya dan menepi. “Thanks, Ki.” Aleta turun lalu berjalan di trotoar.

Sedangkan Riki tidak melaju dia hanya diam di mobilnya sambil melihat kepergian Aleta yang sudah mulai berjalan menelusuri trotoar.

***

Aleta terus berjalan menelusuri trotoar. Perasaannya saat ini sangat sulit di definisikan. Ada yang sakit di dalam dirinya. Rintik hujan kini mulai terasa menyentuh kulitnya. Gumpalan awan hitam terlihat jelas di atas sana. Hujan deras pasti akan segera tiba di bumi.

Aleta tak mempercepat langkahnya. Dia tetap melangkah seperti sebelumnya, berbeda dengan orang yang berlaku lalang di sini. Mereka semua tergesa untuk mencari tempat perlindungan.

Yang semula rintik kini menjadi butiran air yang jatuh dari langit. Butiran itu menjadi deras dan lagi-lagi Aleta kehujanan seperti tempo hari.

Aleta tetap melangkah dengan seragamnya yang di balut sweater dan sudah basah. Ternyata benar kata orang bahwa hujan satu persen berisi air dan sembilan puluh sembilan berisi kenangan. Kenangan saat Aleta bersama Johan kini melintas satu persatu memenuhi memorinya. Bayangan tawa yang selalu menghiasi hari mereka seolah melekat di dalam ingatan.

Aleta menangis di bawah guyuran hujan. Kenagan itu ... mengapa begitu terasa menyakitkan? Aleta terisak lebih dalam menyadari apa yang kini tengah ia hadapi. Sakit di ulu hatinya kini kian merebak seakan duri merajam jantungnya bertubi-tubi.

Mengapa dia begitu ditakdirkan untuk berbohong seperti ini? Mengapa semuanya terasa menyulitkan dan menyakitkan untuk dirinya? Mengapa dia tidak memiliki apa yang orang miliki? Mengapa sangat sulit untuk dirinya mencapai kebahagiaan?

Aleta berteriak dalam hati lalu tertunduk lemas dan terduduk begitu saja di trotoar. Aleta menangis tersedu-sedu yang masih ditemani dengan guyuran hujan. Semua ini benar-benar menyiksanya.

“Aaaaa.” Aleta berteriak sekencang mungkin sambil mendongak menatap langit. Mengiba kepada semesta.

“Kenapa harus gue? Kenapa?” Aleta terus berteriak tanpa memperdulikan bahwa mungkin saja saat ini semua orang tengah memperhatikannya. Baik yang berlalu lalang atau yang sedang berteduh.

Sebuah payung hitam kini menghalangi tetesan hujan mengenai kulitnya. Aleta mendongak kepada sang empu payung. Ternyata Riki.

“Gue tau perasaan lo sekarang. Gue tau semuanya,” kata Riki.

Aleta menunduk dalam. Mengapa selalu saja laki-laki ini menemukannya dalam keadaan yang selemah ini? Mengapa laki-laki ini selalu menjadi saksi setiap kepediahannya?

“Kita harus pulang sekarang atau lo akan di opname di rumah sakit lagi.” Riki kembali berujar tapi tak mendapat respons oleh Aleta.

“Lo mau pulang atau gue kasih tau semuanya ke Johan? Termasuk penyakit lo.”

Aleta menatap Riki sambil berdiri lalu dengan cepat Riki membawanya ke dalam mobil.

Di dalam mobil, Aleta hanya duduk diam di kursi penumpang. Sekujur badannya menggigil dan terasa sangat lemas. Kepalanya mengalami sakit yang luar biasa. Perlahan ia pegang kepalanya sambil meremas rambutnya berharap hal itu akan mengurangi rasa sakitnya.

“Kita ke rumah sakit sekarang,” kata Riki yang mulai melajukan mobilnya.

“Riki gue nggak mau ke rumah sakit.”

“Al plis, nggak usah bodo amat sama keadaan lo. Lo lihat gimana keadaan lo sekarang? Lo harus segera cek up lagi untuk tau perkembangan kanker lo!” Suara Riki mulai meninggi.

Aleta menoleh ke arah Riki yang terus melakukan mobilnya dengan raut wajah yang menahan emosi. “Lo tau dari mana?” tanya Aleta dengan napasnya tersengal.

“Gak penting. Yang penting lo ke rumah sakit sekarang nanti Oma gue kabarin,” ucap Riki.

Aleta tak lagi merespons dia terus memegangi kepalanya. Perlahan kondisi tubuhnya benar-benar menurun. Lemas menjalari sekujur tubuhnya.

Perlahan penglihatannya buram, pendengarannya mengendur lalu semua penglihatannya hitam dan senyap.

***

Riki menggendong Aleta tergopoh-gopoh sambil memanggil suster di rumah sakit itu. Keadaan Aleta yang masih di balut dengan baju yang serba basah membuat raut wajah Riki semakin khawatir.

Tak lama suster datang membawa brankar dan Aleta dimasukkan ke dalam ruangan UGD. Riki mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Oma Aleta.

Dia sudah melakukan semua ini sejak lama. Dia sudah mencari tahu semua tentang Aleta dari hal yang terkecil. Tentu saja sangat mudah untuk hanya mendapatkan nomor Omanya sedangkan prihal penyakit Aleta yang tak seorang pun tahu Riki bisa tahu.

Riki mengepalkan tangannya sambil menyenderkan punggungnya di dinding. Andai saja dia tahu penyakit Aleta lebih awal, dia tidak akan seperti sekarang. Dia baru saja tahu sepulang sekolah tadi dari Dokter yang berada di rumah sakit yang selalu ia kunjungi.

Rasa sesak menghampiri Riki. Apa semuanya akan terlambat? Penyesalan selalu datang terakhir, kan? Lagi-lagi Riki mengetukkan kepalanya ke dinding dan menjambak rambutnya frustasi.

Dokter tak lama ke luar dari ruangan. “Keluarga pasien?” tanyanya.

Riki terdiam dan dari belakangnya Arna datang dengan raut wajah yang cemas. “Dokter, bagaimana keadaan Cucu saya?” Arna segera menghampiri Dokter.

“Kita bisa bicara sebentar, Bu?” tanya Dokter itu. Arna mengangguk lalu pergi mengikuti Dokter itu ke ruangannya.

***

Arna menemui Riki yang masih setia duduk di depan ruangan UGD, seusai menemui Dokter Riki menunduk dengan lesu di sana.

“Riki,” panggil Arna menyentuh pundak Riki.

Riki bangun dari duduknya. “Giamana Oma?” tanya Riki.

“Kamu boleh pulang. Terima kasih, ya, udah bawa Aleta ke sini. Aleta sudah bisa di pindahkan ruangan dan akan di tangani Dokter Maya,” kata Arna.

“Riki nggak keberatan di sini Oma.”

“Jangan. Nanti kamu di cariin sama orang tua kamu. Lagian Aleta baik-baik aja,” kata Arna dengan suara bergetar.

“Oma maaf, tapi saya sudah tau semuanya tentang penyakit Aleta.” kata Riki yang membuang Arna terkejut.

“Jadi, saya tidak keberatan untuk di sini. Riki akan pulang setelah Aleta sadar. Kalau Oma ingin bilang tentang perkembangan penyakit Aleta, saya siap mendengarkan,” lanjut Riki.

...

Salam sayang
NunikFitaloka


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro