Seventeenth Harmony-Hear, The Lonelyness

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Uh ..." Fuyumi mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa saat, sebelum akhirnya dapat melihat dengan jelas sekitar. "Y-Yuki ..?"

Jantungku berpacu dengan cepat. Fuyumi telah sadar, dan hal itu membuatku menghela napas lega. "Fuyu, syukurlah kau baik-baik saja."

"Uh, iya," Fuyumi beranjak duduk dari posisi rebahannya. "Ini di mana?"

"Rumah sakit," jawabku. "Tadi Fukushi membawamu ke UKS, lalu penjaga UKS segera membawamu kemari," jelasku.

Gadis itu menyentuh perban di kepalanya, sebelum akhirnya mengangguk mengerti. "Ayah dan Ibuku sudah tahu tentang ini?"

"Sudah," aku tersenyum, "Sekarang mereka sedang mengurusi administrasimu."

"Mereka bagaimana?"

"Cemas. Tadi saat kemari, mereka tampak histeris. Tapi saat tahu kalau kau tidak apa-apa oleh dokter, mereka langsung lega." Aku tertawa kecil. "Syukurlah kau tidak gegar otak."

Fuyumi meringis, "Mengerikan."

"Maaf ya," ujarku pelan. "Seharusnya aku yang tertimpa pot. Tapi justru kamu. Aku ini memang sahabat yang buruk."

"Bilang apa sih?" Fuyumi tersenyum. "Kamu sahabat yang baik, kok. Aku justru senang kamu tidak terluka-" Fuyumi memicingkan matanya, menatap tajam tepat ke lenganku yang dibalut perban. "Kupikir kamu tidak terluka?"

"Hanya memar saja, kok," kataku.

"Ah, pasti karena aku mendorongmu ya?" Fuyumi menatap cemas. "Maaf ya. Seharusnya aku pelan saja."

Aku tertawa, "Tidak apa kok. Bukan masalah besar."

"Sekolah memberi tahu Ibumu?"

Aku mengangguk pelan, "Tadi sudah ditelepon dan Ibu diminta kemari. Guru kesiswaan ingin berbicara dengan Ibu dan orang tuamu. Mungkun dia akan-"

BRAK!

Baik aku maupun Fuyumi tersentak terkejut saat pintu ruangan terbanting begitu saja. Di ambang pintu, terlihat sosok Ibu di sana dengan napas menderu. Wajahnya memerah murka. Dengan langkah yang terhentak-hentak, ia menghampiriku.

Aku beranjak berdiri, "Ibu, aku-"

Tanpa kuduga, Ibu melemparkan tasnya tepat di wajahku. Aku terjatuh terduduk di lantai karena terkejut. Menatap Ibu dengan tatapan tak percaya.

"Mikir apa kamu?!" Ibu menatap murka. "Bukannya sekolah yang benar, justru menyusahkan. Jangan buat Ibu repot. Ibu sibuk! Dapat panggilan tiba-tiba saat di tengah pekerjaan. Dasar anak tak tahu diuntung!!" Warna merah mulai terlihat pekat, menandakan Ibu benar-benar marah.

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali. Semua kalimat itu meluncur dari mulut Ibu, bahkan tanpa jeda. Ibu ... serius mengatakan hal itu kepadaku?

Ibu bilang aku apa?

Menyusahkan?

Tidak sekolah dengan benar?

Anak tak tahu diuntung?

Apakah Ibu bahkan tahu kejadian sesungguhnya?

Apakah Ibu bahkan tahu kalau apa yang telah kulakukan selama ini hanya untuk membuatnya bangga?

Tidak, Ibu tidak pernah tahu.

Aku selama ini selalu berusaha keras untuk membuatnya bahagia. Tapi apa? Dia tidak pernah mengapresiasiku sekalipun.

Dan untuk pertama kalinya aku berbuat kesalahan, kerja kerasku selama ini tak ada artinya di mata Ibu.

Satu kesalahan, membuang seribu kebaikkan yang telah kuperbuat.

Ibu kecewa padaku?

Aku yang lebih kecewa.

"Kenapa ... Ibu memperlakukanku seperti ini?" Aku menunduk, tanganku menyentuh pipiku yang menghantam kerasnya besi dari tas Ibu.

Meskipun aku tak dapat melihat reaksi Ibu, namun aku tahu wanita itu tengah menatapku nanar.

"Aku ... selalu bekerja keras untuk membuat Ibu senang," suaraku mulai gemetar. Mataku memanas. "Tapi ... sekali saja aku berbuat kesalahan yang bahkan sama sekali bukan kesalahanku, Ibu membuangku?"

"Kamu sudah berani membantah, ya?!" Ibu memekik tertahan. "Ibu ini ibumu. Ibu yang sudah melahirkanmu. Ibu tahu apa yang terbaik untukmu!"

Aku tertawa getir. "Yang ... terbaik?" Seulas senyum sinis mengembang di wajahku. Aku menatap tepat di manik Ibu. "Ibu bahkan tidak pernah tahu apa-apa tentangku. Bagaimana saat aku di sekolah yang terus dibully sekitar. Setiap pagi selalu ada teroran di lokerku. Sepatuku yang selalu disembunyikan di tempat sampah. Ibu tidak tahu, kan?"

Ibu menatapku, tampak tak percaya.

"Apakah Ibu tahu, bagaimana perasaanku sebenarnya? Bagaimana rasanya aku yang sangat haus akan kasih sayangmu?" Gigiku menggertak, menahan emosi. "Apakah Ibu tahu?!"

Plak!

Tamparan dari Ibu sukses membuat air mataku terjatuh. Aku menatap Ibu tanpa ekspresi. Aku muak. Aku muak hidup seperti ini. "Tutup mulutmu, Yuki. Kau bahkan tak pantas berbicara seperti itu." Ibu memalingkan wajahnya. "Dasar menyusahkan."

Aku tidak pantas?

Aku menggepalkan kedua tanganku.

"Kalau begitu, kenapa Ibu melahirkanku?!" Jeritku. "Lebih baik, Ibu membuangku saja!!" Aku berlari, keluar dari ruang rawat Fuyumi.

Aku terus berlari. Aku tak mau mendengar warna suara Ibu. Aku tak mau melihat bagaimana reaksi Fuyumi. Aku tak mau ... melihat realita.

Karena realita begitu menyakitkan.

Lebih baik aku terus menutup mata, daripada melihat yang sesungguhnya.

Tidak. Ini terlalu menyakitkan.

Aku menyentuh dadaku yang mulai sesak. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, rasa sakitnya akan sesakit ini.

Aku terus berlari, pergi dari rumah sakit. Menuju sembarang arah. Suara petir terdengar susul menyusul. Langit kelabu mulai mendominasi. Perlahan namun pasti, air hujan mulai mengguyur Kota.

Kuhentikan langkah kakiku. Napasku sudah menderu. Aku lelah. Aku menengadahkan kepalaku. Mataku terpejam. Membiarkan air hujan membasahi tubuhku.

Aku ... membenci hujan.

Tapi di sisi lain, aku juga menyukainya.

Karena air hujan, telah menyamarkan air mataku. Menyamarkan betapa pedihnya hatiku saat ini.

Aku hanya berharap, semua masalahku meluap. Seperti hujan.

Tiba-tiba saja, aku merasakan air tak lagi membasahi tubuhku. Apakah hujan telah berhenti? Namun kegaduhan yang diciptakan hujan masih terdengar. Lantas, mengapa?

Aku membuka mataku. Aku sedikit terkejut begitu mendapati sosok seorang lelaki yang sepertinya sedikit familiar di mataku. Ia tengah mengulurkan sebuah payung kepadaku, mencoba melindungiku dari hujan. "Yuki ... ya?"

"H-Hikaru?" Aku menatap tak percaya. Kuratapi kembali sosok lelaki itu. Dia memang Hikaru, si lelaki aneh yang kutemui saat di Halte. Namun bedanya, tidak ada pakaian aneh di tubuhnya. Dia menggunakan pakaian biasa, sama seperti orang kebanyakan.

"Kenapa kau hujan-hujanan?" Hikaru bertanya. "Ini tidak baik untuk kesehatanmu."

Aku hanya terdiam, tak tahu harus menjawab apa.

"Ah, Hikaru," meskipun Hikaru yang dipanggil, namun aku juga ikut menoleh. Aku mendapati sosok seorang gadis berkacamata yang berdiri di belakang Hikaru. Dia juga membawa payung. "Bawa saja temanmu ke tempatku. Di sini dingin sekali."

"Baiklah, Akira." Dan detik itu juga aku mengetahui bahwa gadis itu bernama Akira. "Yuki, ayo. Sebaiknya kau ikut kami."

Karena aku tak memiliki pilihan lain, maka aku mengangguk mengiyakan.

Aku berjalan beriringan bersama Hikaru, menelusuri lebatnya hujan yang mengguyur kota Tokyo.

Entah mengapa, aku jadi teringat dengan momen dimana aku dan Shiro bertemu.

Dan itu ... membuatku sedih.

***TBC***

A/N

Demi apa pas Vara baca ulang Synesthesia latar awalnya itu musim semi?!

Ahahaha, kayaknya abis tamat ini story beneran perlu di revisi.

Banyak banget yang gajelas dong. Kayak Yuki sana Fuyumi ketemuan pas awal musim gugur. Terus besoknya pas main bareng udah pertengahan. Besoknya lagi pas ke makam Aoi udah akhir aja.

Terus pas musim dingin, tiba-tiba udah mau ke pertengahan aja pula.

Ada apa dengan otak Vara?

Yah... mungkin emang agak nggak sinkron sih. Soalnya chap 1 sampe 5 atau 7 itu Vara buat pas tahun 2017. Baru lanjut lagi pas nemu draftnya desember 2018. Akhirnya Vara publish januari 2019.

So, maap kalo agak gak jelas wkwk. Vara beneran bakal revisi ulang. Nanti bakal Vara buat chapter flashbacknya Shiro dan Fuyumi. Yuki juga!

Dan Oh! Vara belum ceritain kan gimana caranya Shiro bisa nebak Yuki suka fake smile di awal awal? Iya, itu bakal ada di chap masa lalu mereka.

Perkiraan sih ya, Synesthesia bakal tamat di chapter 25. Tapi baru perkiraan sih, belum tentu hehe.

Yaudah, met menikmati yah!

Adios~!

Big Luv, Vara.
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro