Eightteen Harmony-Hear, The Trouble On Earth

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tanggal 8 Desember, awal musim dingin yang menggigilkan. Langit kelam keabu-abuan yang sedang menangis di luar sana menambah suhu sekitar menjadi dingin. Mungkin tahun ini salju akan turun di pertengahan, atau mungkin bisa jadi tahun ini tidak bersalju. Jika bukan atas kebaikan Hikaru dan Akira, mungkin saja esok hari aku sudah terkena demam.

Aku terduduk canggung di dalam sebuah Cafe hangat. Jika berdasarkan apa yang dikatakan Hikaru, Cafe ini adalah milik Akira. Dan lebih mengejutkannya lagi adalah ini Cafe tempat Shiro kerja paruh waktu. Bangunan Cafe ini ada dua lantai. Di lantai satu adalah tempat Cafe berada, sedangkan di lantai dua adalah tempat tinggal Akira.

Akira itu gadis yang baik hati. Dia rela meminjamkanku satu setel baju rajut yang sangat nyaman dan hangat. Dia juga memberikanku kopi hangat secara percuma.

"Minumlah," Akira tersenyum manis kepadaku. "Itu kopi yang paling laris di sini. Dicoba, ya."

Aku mengangguk kikuk, lalu menyeruput kopi hangat di depanku ini. Kupikir rasanya akan pahit, ternyata tidak. Rasanya manis.

"Oh, kalau kau suka, ajak teman-temanmu ke sini." Hikaru menyeringai lebar begitu mendapat pelototan dari Akira. "Agar Cafe ini makin laris."

"Kau mau promosi atau apa? Jangan memaksa," Akira berbisik. Meskipun begitu, aku masih dapat mendengarnya.

"Agar ramai. Ini kan keuntungan buat kita juga," balas Hikaru.

Aku hanya tersenyum tipis mendengarnya. Mereka tampak menyenangkan. Sepertinya aku bisa menenangkan diriku dulu di sini. Lalu setelah ini ... apakah aku harus kembali ke rumah? Apakah Ibu mencariku, ya?

"Ah, Yuki," panggilan dari Akira membuatku menatapnya, heran. "Aku bukannya ingin ikut campur atau apa. Tapi, kenapa kamu hujan-hujanan? Dan lagi ... jika aku tidak salah tebak, kamu habis menangis?"

Aku tertegun. Akira ternyata orang yang begitu peka, ya. Dia dapat menarik kesimpulan hanya dengan sekali lihat. Setelah menimbang-nimbang untuk beberapa saat, akhirnya aku memutuskan untuk bercerita. "Uh ... iya. Aku baru saja bertengkar dengan Ibuku."

"Oh," Akira dan Hikaru saling berpandangan, sebelum akhirnya kembali menatapku. "Apa ada masalah?"

"Sebenarnya, aku selama ini mencoba untuk bersabar. Aku sudah melakukan apapun yang kubisa untuk membuat Ibu bahagia. Tapi ... sekalinya aku berbuat salah, Ibu begitu marah padaku," mataku kembali berkaca-kaca. "Padahal, ini bukan sepenuhnya salahku."

"Aku bukannya sok tahu, tapi menurutku sebaiknya kau meminta maaf," warna suara yang keluar dari mulut Hikaru berubah menjadi biru. Sorotnya yang sedari tadi bersahabat berubah serius. "Kuyakin, meskipun dari luar Ibumu tampak tidak peduli, Ibumu pasti sangat menyayangimu."

"Aku tahu," aku tersenyum kecut.

Atmosfer sekitar berubah mencekam, membuat keadaan sedikit canggung. Kami saling berdiam diri, membiarkan suara hujan di luar mengisi kekosongan. Suasana Kafe saat ini begitu sepi, hanya ada kami bertiga bersama para pelayan yang sibuk menonton TV karena tidak ada pesanan masuk.

Akira berdeham pelan, mencoba memecah keheningan. "Yuki, kau tahu? Di sini ada seseorang yang bekerja paruh waktu. Namanya adalah Kurohi Shiro," entah mengapa, kalimat yang terlontar dari mulut Akira sangat mencuri perhatianku. "Dia itu orang yang sangat unik, kau tahu? Dia orang yang sangat mencintai musik lebih dari apapun. Dia jarang berbicara, namun kami pernah berbincang-bincang dengannya beberapa waktu lalu."

Hikaru mengangguk, membenarkan. "Kami pernah bertanya kepadanya, kalau dia menyukai seorang gadis, bagaimana cara dia menyampaikannya."

"Kami?" Akira melirik Hikaru lewat ekor matanya sembari mendesis sinis. "Bukannya hanya kau yang bertanya itu? Kenapa aku juga?"

"Kan saat itu ada kamu juga," Hikaru menyengir, tampak tak merasa dosa sedikitpun. "Dan Yuki, apa kamu tahu apa jawaban Kurohi?"

Aku menggeleng. Aku tidak tahu.

"Katanya, dia hanya perlu bernyanyi." Mataku mengerjap beberapa kali. Kutatap manik biru Hikaru. Aku tidak mengerti. "Iya, dia bilang dia hanya perlu bernyanyi."

"Musik, dapat menyampaikan kata yang tidak tersampaikan," Akira menyeruput kopi hangatnya. Ia tersenyum. Embun tipis terlihat di kacamatanya saat ia meminum kopi hangat tersebut. "Begitulah yang dia katakan. Unik, ya?"

Aku terdiam, membisu. Shiro benar. Mengapa aku tak berpikir ke sana? Selama ini aku tak bisa mengatakan isi hatiku kepada Ibu. Lantas, mengapa tidak aku bernyanyi? Aku pernah mencobanya kepada Fuyumi, dan hal itu berhasil. Shiro juga sering mengatakannya kepadaku.

Tanpa sadar, senyum merekah di wajahku. Musik itu sihir. Aku dapat mengantarkan kata yang tak terucapkan lewatnya.

"Kau benar," ujarku. "Shiro itu ... memang orang yang sangat unik."

"Sepertinya suasana hatimu sudah membaik, ya?" Hikaru tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya yang tersusun rapih. "Kalau begitu, boleh aku minta tolong?"

Aku menaikkan sebelah alisku, menatap tidak mengerti. "Minta tolong? Boleh. Selama aku masih sanggup melakukannya."

Akira melotot, lalu menyikut pinggang Hikaru. Yang disikut justru menatap tanpa merasa berdosa. Mereka berbisik-bisik, jika terlihat dari warna yang terlihat samar diantara mereka. Entahlah, aku tak dapat mendengarnya. Setelah beberapa saat, Akira tampak menghela napas menyerah. Ia menatapku lamat-lamat, membuatku menegup air liurku, ragu. "Yuki," panggilnya.

Sontak, aku duduk tegap. "I-Iya?"

"Kudengar, kamu bisa meretas?" pertanyaan yang dilontarkan oleh Akira membuatku terkejut setengah mari. Dari mana dia tahu? Seakan membaca pikiranku, dia menjawab, "Aku mendengarnya dari Sakura."

Ah, Sakura.

"Kau mengenal Sakura?" tanyaku dan langsung dijawab dengan anggukan kepala Akira. Dengan ragu, aku kembali bertanya, "Memangnya kenapa kamu menanyakan hal itu?"

"Aku butuh bantuanmu, Yuki," Hikaru menatap tajam. "Seminggu dari sekarang, akan ada organisasi yang mencoba menghancurkan bumi."

"Hah?" Aku melongo seperti orang bodoh. Menghancurkan bumi? Dia sedang membual atau apa? Tentu saja aku takkan percaya! Namun dari warna yang terlihat dari suaranya, dia tidak berbohong. Hal itu membuatku menegup air liurku. Menatap mereka dengan ragu. "M-Menghancurkan bumi?"

Yang ada di imajinasiku adalah mereka mengahncurkan bumi dalam arti sebenarnya. Jika mereka menghancurkan bumi, lantas para manusia akan tinggal dimana?

Melihat raut wajahku yang berubah, Akira segera menambahkan, "Ah, menghancurkan bumi yang dimaksud Hikaru berbeda dengan yang kau pikirkan."

Hikaru mengangguk. "Ada organisasi yang akan menyerap sumber daya bumi untuk kepentingan mereka. Jika sumber daya bumi terserap, lambat laun bumi akan kehilangan kesuburannya. Dan puncaknya ada di masa depan. Tepatnya di tahun 2030. Sebelas tahun dari sekarang. Di saat itu, bumi begitu kering. Tidak ada pohon, apalagi air. Untuk mendapatkan seteguk air, kami harus menguraikan bahan-bahan kimia agar bisa diminum."

Jika saja aku tidak diberkati untuk bisa melihat warna dari suara, mana mungkin aku mau mempercayainya. Tapi, dia serius. Warna putih keluar dengan sangat pekat. Mereka tidak berbohong.

"Kami dan tim kepolisian akan segera menghentikan mereka. Namun, tim kepolisian yang bekerja sama dengan kami tidak mendapat izin dari kantor pusat," Akira membenarkan letak bingkai kacamatanya. "Jadi, kami membutuhkan orang yang dapat meretas server mereka. Kami membutuhkan bukti yang kuat untuk itu." Akira meraih tanganku, lalu menggenggamnya erat-erat. "Kumohon, bantu kami."

Aku menggigit bibir bawahku, ragu. Setelah kebaikannya kepadaku, mana mungkin aku menolaknya, kan? Setelah menimbang-nimbang beberapa kali, akhirnya aku mengangguk. "Baiklah, akan kucoba."

Hikaru mengangguk puas. Ia beranjak berdiri, lalu pergi ke lantai dua. Beberapa saat kemudian, dia kembali dengan sebuah laptop di tangannya. "Kau bisa mulai meretas sekarang. Kami membutuhkan informasi secepat mungkin."

"Tapi, bagaimana jika tertangkap?" Aku menatap takut. "Nanti bisa dipidana."

"Tenang saja," Akira menepuk bahuku, mencoba meyakinkan. "Ini laptop yang sudah dimodifikasi oleh Hikaru agar tak mudah terlacak."

Aku mengangguk pelan. Aku mulai menyalakan laptop, lalu mengetik kode-kode yang masih kuingat. Detik berikutnya, layar laptop berubah hitam. Lalu muncul deretan angka 1 dan 0 secara acak. Baru teringat akan sesuatu, aku menatap mereka berdua lekat-lekat. "Apakah kalian ada kode yang berhubungan dengan organisasi itu? Email atau kode tertentu?"

"Ah, ada," Hikaru merogoh saku jaketnya, lalu memberikan secarik kartu tipis kepadaku. "Ini kode yang kutemukan waktu menyelinap ke sana."

Tanpa banyak bertanya, aku menerima kartu itu. Kuketik kode yang tertera di kartu, lalu aku kembali mengetik beberapa huruf dan angka. Beberapa detik kemudian, layar hitam laptop terganti dengan layar putih, menampilkan deretan dokumen serta file yang kuyakinkan adalah berkas dari server yang berhasil kuretas. "Sudah terhubung," ujarku dengan lega.

"Cukup lama, ya?" Akira menarik kursi di dekatku.

Aku mengangguk, "Firewall yang menjaga servernya cukup kuat. Jadi sedikit memakan waktu untuk dihancurkan," jelasku.

"Ini sudah terhubung?" Hikaru menatap kagum. "Kalau begitu, coba kita cek filenya satu-satu."

Kamipun mulai memeriksa dokumen serta file yang berhasil kami sadap. Aku sebenarnya sedikit terkejut karena omongan Hikaru terbukti benar. Di salah satu file yang kubuka, ada rincian rencana tentang penyerapan sumber daya bumi secara besar-besaran. Mereka akan melakukannya seminggu dari sekarang. Dan yang paling membuatku takut adalah, organisasi ini melakukannya secara ilegal.

"Ini menakutkan," ungkapku jujur. Sekujur tubuhku sudah gemetaran hanya dengan membaca dokumen-dokumen itu.

Akira mengangguk setuju. Raut wajahnya tampak begitu serius. Sesekali ia mencatat hal penting di note kecilnya.

Tiga jam berlalu, dan kami sudah membuka seluruh file yang berhasil kami dapatkan. Aku memutuskan untuk berhenti melihat file sejak dua jam yang lalu. Membiarkan Hikaru dan Akira yang melihat sisanya. Aku tak berani tahu lebih banyak. Ini benar-benar menyeramkan.

Hujan sudah mereda. Kini saatnya aku pergi. Saat aku pamit kepada Akira dan Hikaru, mereka menahanku untuk beberapa saat.

"Tidak perlu dipikirkan," ucap Hikaru sambil tersenyum hangat. "Kami pasti akan berhasil menghentikan mereka. Jangan khawatir ya?"

"Dan, tolong dirahasiakan." Akira meletakan jari telunjuknya di bibir. Dia tersenyum, namun entah mengapa senyumnya itu tampak mengintimidasiku. Dengan patah-patah, aku mengangguk.

"B-Baiklah," aku memaksakan seulas senyum. "Terima kasih. Sampai jumpa."

Meskipun mereka bilang aku tak perlu mengkhawatirkannya, tapi aku tetap memikirkan hal tersebut.

Aku menarik napas dalam, kemudian menghelanya. Semoga saja semuanya baik-baik saja.

***TBC***

A/N

Konflik selanjutnya udah kebuka? Hoho, belum dong.

Masih banyak konflik di seri WM selanjutnya. Ini hanya salah satunya :3

Apakah kalian udah ketebak spesialisasinya Hikaru?

Belum? Wkwk.

Ini adalah konflik spesial yang Vara ceritakan :3

Bubyeee, Vara mau lanjut ngetik. Nyari bahan buat next chap. Sumpah, dari kemarin ga ketemu terus :')

Pengen cepet cepet update, soalnya kebanyakan basa basi wkawkawkakkk

Adios!

Big Luv, Vara.
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro