Twenty First Harmony-Hear, The Tears

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi hari yang mengejutkan.

Bagaimana tidak? Pagi ini aku masuk ke Kelas, dan para anak gadis Kelasku berjejer di depan pintu masuk, berbaris dengan raut wajah penuh penyesalan.

Fuyumi berdiri di hadapan mereka, menggaruk kepalanya yang masih dibalut perban.

Aku berjalan menghampiri Fuyumi, menatap keadaan. Aku menaikkan sebelah alisku. "Kenapa?" tanyaku kepada Fuyumi.

Fuyumi mengangkat kedua bahunya. Dia berbisik, "Ketika datang ke Kelas, mereka sudah berbaris seperti ini."

"Huh?" Aku mengerjap tak mengerti. Kulempar tatapanku kepada para gadis sekelas. Mereka tampak berbisik-bisik, lalu serempak balas menatapku, membuatku menegup air liur karena terlalu canggung. "Uh ... ada apa?"

"Asai Yuki, kami mau minta maaf," Miku berkata lantang. Dia berdiri di barisan paling depan. "Kami sadar kalau selama ini kami salah. Maka dari itu, kami mohon maaf."

"Iya, aku juga. Maafkan aku."

"Aku juga!"

Mereka menunduk dalam, membuatku sedikit panik. "E-Eh, tidak perlu seperti ini ...!"

"Tidak, ini memang perlu," bantah Miku. "Otosaka Fuyumi, kami juga mau minta maaf. Maafkan kami. Meski kami tahu bahwa kami tidak pantas dimaafkan."

"E-Eh ... bukan masalah, kok," Fuyumi melemparkan seulas senyum canggung. "Sudah kumaafkan."

Ada beberapa warna yang menyerbak di sekitar. Ada warna putih, biru, juga abu-abu. Beberapa diantara mereka mungkin meminta maaf karena terpaksa, beberapa karena ikhlas dan murni sadar. Aku menghela napas panjang. Pasti ada saja orang-orang yang tak menyukai kita, sejauh apapun kita pergi.

Aku menepuk bahu Miku, memintanya berhenti menunduk. "Tidak perlu meminta maaf. Aku sudah memaafkan kalian, kok."

"S-Setelah apa yang kami lakukan?" salah seorang gadis bertanya. Matanya tampak berkaca-kaca.

Aku dan Fuyumi mengangguk mantap. "Kalau begitu, ayo kembali ke kursi masing-masing. Sebentar lagi bel masuk berbunyi."

Kerumunan bubar, kami kembali ke kursi masing-masing. Sebelum aku duduk di kursiku, Fuyumi menarik ujung lengan seragamku―menahan. Aku menoleh, menatap heran. "Ada apa?"

"Itu ..." Fuyumi menunjuk kursi depan paling ujung―tempat Aira duduk.

Aku ikut mengedarkan pandanganku ke arah Fuyumi menatap. Kudapati sosok Aira berdiri, menyorot hampa mejanya yang dipenuhi coret-coretan dan sampah. Keningku terlipat. Aku menghampiri Aira, Fuyumi mengekoriku dari belakang. Di meja Aira terlihat dengan jelas ada coret-coretan dari cat dan spidol merah.

Mati saja dasar pembully.

Bodoh.

Orang yang suka menyebarkan hoax dilarang hidup.

Jelek. Mati saja sana.

Itu kata-kata yang tertulis jelas di meja Aira. Ditambah, ada beberapa sampah berupa bangkai sarden dan bunga pemakaman di atas mejanya.

Aira terus menunduk, menatap kosong kakinya yang memijak lantai.

Rasanya, hatiku tercabik. Aku mengarahkan pandanganku ke arah anak sekelas. "Siapa yang sudah mengotori meja Aira?!"

Beberapa anak gadis berdiri, "Dia memang pantas menerima itu, Yuki!"

"Tapi, ini keterlaluan!"

"Dia sudah menindasmu! Sudah sepantasnya seorang penindas mendapatkan hal yang serupa."

"Kalian menindas seorang penindas. Bukankah kalau begitu kalian sama saja?" Aku menatap tajam. "Batu tidak boleh dibalas dengan batu. Itu hanya akan memperkeruh segalanya!"

Kelas hening selama beberapa saat. Selang beberapa detik, suara isak tangis terdengar. Aku menoleh, menatap panik Aira yang mulai menitikkan air matanya.

Aira tiba-tiba saja menarik tanganku, memaksaku untuk mengikutinya keluar kelas. Fuyumi juga sedikit terkejut, tapi memilih berdiam diri dan membiarkan Aira membawaku pergi.

Aira membawaku ke luar Kelas. Lorong sudah sepi karena bel masuk telah berbunyi beberapa menit lalu. Aira melepaskan genggaman tangannya, lalu menatapku dengan mata yang sudah sembab. "Setelah puas meminta mereka menindasku, kamu masih sempat-sempatnya mencari muka?! Munafik!"

Aku menatap tidak mengerti. "Aku tidak meminta mereka untuk melakukan hal itu kepadamu."

"Jangan membual!" Aira berseru parau. Aku melihat beberapa murid mengintip lewat jendela Kelas akibat teriakkan Aira. "Setelah apa yang kulakukan padamu, kamu pasti dendam padaku!"

"Aku tidak mengerti," ungkapku jujur. Warna merah yang keluar dari suaranya melambangkan dengan jelas bahwa dia begitu murka. "Mengapa kamu begitu membenciku? Apakah aku memiliki salah padamu?"

"Kamu ... terlihat gadis yang begitu bahagia," Aira menutup matanya menggunakan kedua telapak tangannya. "Hidup tanpa beban. Bahagia setiap saat. Kamu adalah tipe gadis yang paling kubenci! Orang sepertimu, tidak akan pernah tahu bagaimana rasa pahitnya hidup!"

Aku tertegun. Warna merah perlahan digantikan dengan warna biru tua. Aku menggepalkan telapak tanganku erat-erat. Tanpa sadar, aku tertawa getir. "Gadis ... paling bahagia?"

Aira berhenti terisak, menatapku lamat.

"Hanya karena aku selalu tersenyum, bukan berarti aku bahagia. Aku hanya menutupi semua kegundahanku lewat topeng bernama senyuman."

Aira terdiam.

Aku menggigit bibir bawahku, mencba menahan emosi yang mulai meluap. "Aku ... hanya muak melihat orang-orang bersimpati sesaat. Aku hanya tidak mau orang-orang mengetahui kesedihanku. Kamu tidak pernah tahu, kalau aku adalah orang yang selalu merasakan rasa pahit tanpa tahu apa arti dari rasa manis."

"Kalau begitu, kenapa kamu masih membelaku disaat aku telah melakukan hal buruk kepadamu?" Aira kembali menunduk.

Aku menatap insten, "Sejujurnya, aku tidak mau memaafkanmu."

Aira terperangah, menatap sedikit panik.

Aku menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Tapi, kalau aku tidak memaafkanmu sekarang, maka aku akan menyesal selamanya. Aku tahu kamu orang yang baik. Hanya saja kamu belum menemukan seseorang yang dapat dijadikan sahabat."

"Kenapa aku harus menemukannya?"

"Karena ... sahabat adalah orang yang akan menuntunmu ke jalan yang terbaik," aku tersenyum penuh arti, mulai mengingat kebaikan Fuyumi dan Shiro yang telah membuatku menjadi pribadi yang lebih baik.

Aira terdiam, gadis itu menatapku. Air mata kembali menetes di pipinya. "Y-Yuki ... maafkan aku ..."

"Aku sudah memaafkanmu."

"Maafkan aku ...!" Gadis itu memelukku erat, terisak dalam.

Mendapati Aira menangis, membuatku ikut ingin menangis. Warna putih yang menyerbak dari suaranya membuat hatiku tersentuh.

Jadi ini ... yang namanya bahagia.

Aku bersyukur masih diperbolehkan untuk hidup.

Terima kasih, Tuhan. Karena telah memperlihatkanku betapa manisnya rencana yang telah engkau susun untukku.

***TBC***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro