Sheet 4: Hanya Angin yang Mau Melambai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

The Gilded Cage by Fukuyama12 (2022)

Genre: Teenfict

.

.

.

Sheet 4 

Hanya Angin yang Mau Melambai

Suasana benar-benar sunyi senyap, meski di luar sana, murid-murid sibuk berhamburan keluar kelas dan asyik mengobrol. Hal itu berbeda jauh dengan kondisi kelas A yang mencekam. Hemlock bangkit dan duduk di kursi itu dengan wajahnya yang pucat, berbeda dengan seluruh siswa kelas A lain yang memasang wajah penuh dengan kepuasan, meski tidak menunjukkannya sampai seratus persen.

Tak hanya ada Mrs. Suzanne saja yang berdiri di depan kelas, tetapi ada satu guru konseling dan Waka Kesiswaan. "Berdasarkan laporan yang diberikan oleh Raven Windblows, kamu sudah menyuap beberapa guru yang ada di sini. Apa itu benar?" suara dingin Mrs. Suzanne menggema di tengah-tengah kelas yang hening.

Satu seringai kecil di bibir yang pucat itu terlihat. Matanya masih saja berani menatap tajam pada Raven yang duduk dengan tegap di kursinya."Bagaimana bisa Anda sekejam ini? Menuduh tanpa bukti bukankah hal yang baik, kan?"

"Tanpa bukti?" Dengusan remeh Raven terdengar, semua orang menunggu jawaban yang akan dikeluarkan oleh pemuda itu. Tatapan dari iris hitam itu juga terasa sangat menusuk. Pemuda itu bangkit dari kursinya dengan membawa lembaran kertas yang tersusun dengan rapi.

"Aku menyalin semua bukti transaksi yang kamu lakukan. Guru yang melakukan kerja sama denganmu juga sudah mengakuinya setelah disidang di ruang guru kemarin. Tidak perlu repot-repot mengelak dan simpan saja ludahmu itu," sindir Raven. "Kelas A tidak butuh orang sepertimu."

Raven melanjutkan, "Lagi pula siswa di sini juga tidak ada yang ingin berbagi tempat yang sama denganmu. Kau hanya membuat udara semakin pengap saja. Sadarilah di mana posisimu dan pilihlah lawan yang seimbang. Jika tidak bisa mendaki, jangan bersusah payah untuk melakukannya dengan cara kotor."

"Pecundang sepertimu pergi jauh-jauh saja." Zelts Crainard, yang duduk di depan bangku Hemlock bersuara.

"Manusia itu diciptakan sama. Aku tidak suka dengan orang-orang yang mengejek." Sive ternyata juga ikut berkomentar. Bahkan saat berbicara seperti itu, dia tetap berfokus pada mainan yang dibawanya.

"Kupikir yang takut terjatuh di sini hanyalah kamu, karena aku sangat percaya dengan kemampuanku sendiri," ucap Raven.

"Mrs. Suzanne," Blue membuka suaranya, "Jika Hemlock tidak dikeluarkan, turunkan saja dia dari predikat kelas A ke kelas biasa."

"Tidak." Yang berbicara itu adalah Kniga Acanthus. "Berdasarkan peraturan sekolah, siswa kelas A yang diketahui melakukan kecurangan akan mendapatkan hukuman drop out karena sudah mencoreng nama sekolah juga membuat seluruh siswa di angkatan ini merasa dirugikan."

"Kalau aku jadi dia, aku sudah dengan senang hati keluar daripada menanggung nalu." Aida memicingkan matanya saat melihat Hemlock yang memerah.

"Sepertinya Acanthus tahu peraturan sekolah dengan baik. Hari ini akan jadi hari terakhirmu, maka dari itu ucapkan selamat tinggal pada teman-temanmu. Orang tuamu sudah menunggu di ruang BK, jika urusanmu sudah selesai, kau bisa pergi," ucap Guru Konseling yang sedari tadi hanya memperhatikan.

Mulut Hemlock tertutup sangat rapat, rahangnya mengeras saat ia mendengar ucapan itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan kedua orang tua Hemlock jika tahu anaknya ketahuan berbuat curang bahkan sampai melanggar peraturan sekolah hingga berujung pada penghapusan namanya dari daftar siswa Akademi SL.

"Ini akan jadi pelajaran bagi kita semua. Kami tidak akan memaafkan siapa pun yang melakukan kecurangan, terutama bagi siswa kelas A yang seharusnya menjadi teladan bagi murid-murid di sini," tambah Waka Kesiswaan.

"Kelas selesai sampai di sini. Terima kasih sudah menyempatkan waktu kalian."

Setelah berkata seperti itu, Mrs. Suzanne bersama dua guru pergi meninggalkan kelas. Suasana kembali dengan keheningan yang familiar dengan kelas A, kupikir ini sama heningnya dengan kelas yang kosong saat semua siswa kembali ke rumahnya.

Hemlock berdecak kesal. Ia berdiri di depan kelas dan berkata, "Aku tidak akan pernah memaafkan kalian."

Kalimat itu sama sekali tidak kami hiraukan. Ia pergi dan disusul dengan bunyi gebrakan pintu yang ditutup dengan sekuat tenaga. Bodoh sekali dia melampiaskan kemarahannya pada pintu tak bersalah. Kami sama-sama tidak sudi untuk mengantarkan kepergian pemuda itu.

Semua keheningan buyar saat suara rintik hujan menabrak jendela. Akhirnya, awan gelap itu mengeluarkan semua beban yang dibawanya. Pemandangan di luar jendela mengabur karena derasnya hujan yang datang, aku bisa melihat angin mulai menggoyangkan pohon-pohon yang ada di taman. Mungkin, hanya pohon itu saja yang mau melambai pada kepergian Hemlock tanpa mengucapkan selamat tinggal.

***

Meski Mrs. Suzanne sudah meminta izin untuk memperpanjang jam kepulangan, tetapi sopirku tidak juga datang bahkan setelah sepuluh menit aku keluar dari kelas. Entah sudah keberapa kali aku mengecek arloji perak yang melingkar di tanganku. Kakiku bergerak gelisah dan sesekali aku akan memengeratkan mantel hitam karena angin kencang yang terus berembus.

Badai tiba-tiba datang, tidak biasanya ramalan meleset seperti ini. Semua rencana yang sudah kususun buyar, aku sudah terlambat masuk kursus lebih dari 40 menit, dan pesan masuk yang mengatakan jika sopirku terjebak macet membuatku merasa jika kesialan ini semakin bertambah.

Inilah mengapa aku benci dengan hujan. Kuharap kamu cepat berhenti agar orang tuaku tidak marah karena aku terlambat masuk kelas.

"Wah, hujannya deras sekali!"

Aku menoleh saat mendengar suara yang tidak asing. Tepat di sebelahku, gadis berambut pirang dengan pita putih yang menghias rambut pendeknya berdiri. Namun, yang lebih menarik perhatianku adalah jas hujan kuning cerah dengan gambar kelinci putih yang dipakainya. Itu tidak seperti pakaian anak kelas 1 SMA, lebih cocok jika dipakai oleh .

"Oh, selamat sore, Magnolia! Kau juga belum pulang, ya?" Aida menyapa dengan ramah, tetapi itu senyum palsu, senyum yang biasa ditunjukkan untuk basa-basi dan pendekatan pada orang asing.

"Aida!" Aku dan Aida menoleh serempak pada pemuda berkacamata yang berseru. Alisnya bertaut tajam saat mengamati gadis berambut pirang itu. "Kenapa kau memakai jas hujan? Aku tidak mengizinkanmu untuk bermain hujan-hujanan di tengah badai seperti ini!"

"Siapa juga yang mau melakukannya! Aku memang menyukai hujan, tetapi aku bukan orang bodoh yang akan melakukan hal itu. Aku hanya memakainya untuk jaga-jaga saja. Lagi pula, anginnya terlalu kencang, jadi jas hujan ini akan melindungi seragamku." Percakapan itu berubah menjadi perdebatan kecil tanpa aku di dalamnya. Biarlah, aku juga tidak tertarik.

"Sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat."

Aku kembali menoleh ke sisi lain, kali ini seorang pemuda dengan seragam yang sama denganku berdiri. Wajahnya yang imut dan khas itu, serta rambutnya yang berwarna kemerahan dan tindikan di telinga yang sama sekali tidak cocok dengan wajahnya membuatku tanpa sadar terus memperhatikannya.

"Apa aku terobos saja, ya?"

Aku melirik helm merah yang ada di tangannya, sepertinya dia menaiki sepeda motor ke sini. Itu bukan hal jarang, tetapi memang tidak banyak yang melakukannya. Rata-rata siswa Akademi SL akan menaiki mobil pribadi mereka atau berjalan kaki menuju sekolah.

"Mau ikut?"

Mataku melebar saat pemuda beriris emas itu tiba-tiba saja menatapku. Oh, itu mata yang indah, seperti mata kucing yang berwarna emas. Aku segera menarik kembali jiwaku yang berkelana di atas awan. Rasa gugup menyerang saat ia tidak berhenti menatapku, hingga tanpa sadar aku terus membuka mulut tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Lebih baik ikut atau tidak? Jika aku ikut, mungkin aku bisa segera sampai di tempat kursus, tetapi memangnya dia siapa? Maksudku, aku tahu dia adalah Zelts Crainard yang menempati posisi kelima, tetapi tidak ada alasan bagi dirinya untuk mengantarku. Tidak mungkin juga dia mau bermurah hati melakukannya, pasti ada hal dibalik ini semua.

"Ti–tidak, terima kasih," jawabku singkat setelah mengubah ekspresi kebingunganku.

"Yah, memangnya kamu siapaku, sih?" Dia membuang wajahnya. Aku menganga saat mendengarnya, tidak paham dengan pola pikir Zelts yang rumit. Kupikir seharusnya aku yang berkata seperti itu.

Aku menghela napas panjang dan mencoba membuang pikiranku. Pikiranku kembali teralihkan pada waktu yang berjalan. Kekhawatiranku semakin bertambah saat melihat jarum jam yang terus berputar. Aku menggigit bibir bawahku. Jika seperti ini, orang tuaku pasti akan benar-benar marah saat aku sampai di rumah nanti.

.

.

.

To be continue

.

.

Catatan Author:

Haloow! Terima kasih sudah mampir^^

Seperti biasa, Aida sama Kniga adem-ayem tentram damai sentosa.

Kalau dilihat, Zelts awal-awal begini ngeselin banget, ya, ternyata?

Btw, ini cuma preview yaa, sisanya bisa baca di buku The Gilded Cage (tersedia di shopee). Range harga sekitar 80k

Terima kasih banyak sudah selalu mendukungku, love you~

See you next sheet!


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro