Sheet 5: Menerobos Badai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



The Gilded Cage by Fukuyama12 (2022)

Genre: Teenfict

.

.

Sheet 5

Menerobos Badai


Aku berhasil sampai di kursus lebih lama 54 menit. Selama itu juga, badai belum berhenti. Aku pun hanya sempat mengikuti satu kelas Bahasa Jerman karena beberapa mata pelajaran selanjutnya diliburkan dan para murid bisa belajar di rumah. Jadi, aku kembali ke rumah tanpa sempat belajar.

"Nona Azure, Tuan meminta Anda untuk segera datang ke ruang kerjanya setelah Anda sampai."

Aku menaiki tangga dan menuju ruang kerja di lantai dua. Musim gugur membuat rumah ini terasa lebih menusuk dari sebelumnya. Gagang pintu itu terasa dingin saat aku menyentuhnya. Aku menghela napas panjang saat menyadari kalau aku tidak punya kenangan baik dengan ruang kerja ini.

Aku mengeratkan cengkeraman pada briefcase-ku dan melangkah maju sembari menahan debaran jantung yang memacu. Padahal aku baru saja masuk, tetapi buliran keringat muncul di dahiku. Aku tidak nyaman dengan suasana di ruang kerja Ayah, terlalu menyesakkan dan membuatku ingin segera keluar dari sini. Aku menghentikan langkah di depan meja kerja Ayah tanpa berani mendongak sedikit pun untuk menatap matanya.

"Azure Magnolia sudah datang, Ayah," salamku. Lagi-lagi aku menegukkan ludah gugup.

"Kenapa sudah datang?" Suara Ayah sudah cukup untuk membuatku tersentak, sedangkan pertanyaan yang diberikan olehnya cukup untuk membuatku berpikir panjang.

"Ka–karena ada kelas kursus sedang diliburkan sampai beberapa hari ke depan. Mereka bilang jika badai akan terus berlangsung sampai empat hingga lima hari," jawabku.

Aku bisa merasakan ujung jariku gemetar saat menyadari Ayah yang menatap tajam. Sekuat apa pun aku memikirkan jawaban untuk menjelaskan keberadaanku di sini, Ayah pasti tetap tidak akan puas. Aku bisa langsung tahu dari caranya berbicara dan menatapku.

"Kenapa kamu sudah pulang?" Pertanyaan Ayah lagi-lagi membuatku mengernyit ketakutan.

Apa jawabanku barusan memang jauh dari kata puas untuknya?

"Ada salah satu perpustakaan yang masih buka sampai jam sembilan nanti. Kenapa kamu pulang? Seharusnya kamu tetap belajar di tempat lain."

Ah, ternyata itu maksudnya. Aku tidak tahu jika masih ada perpustakaan yang buka di tengah badai begini. Padahal dari berita yang kudengar dari siaran radio di mobil mengatakan jika banyak pohon yang tumbang karena badai ini. 

Namun, aku memang tidak berpikiran untuk pergi ke perpustakaan, entah mengapa yang ada dalam otakku hanyalah kamar yang menyenangkan, yang akan menyambutku lebih ramah daripada ruangan ini.

"Kudengar kamu juga terlambat datang ke kursusmu. Kenapa kamu terlambat?" Pertanyaan ayah ternyata masih belum selesai.

"Mr. Ji-Hoon terlambat karena badai, dia bilang jalanan macet total."

"Kenapa kamu terlambat?" Pertanyaan itu kembali terulang. Ayah terus mengulangi pertanyaan jika jawaban yang kuberikan tidak memuaskan hatinya. Bahkan sampai saat ini pun, aku tetap tidak bisa mengerti apa yang ada dalam pikirannya.

Aku sudah tidak tahan dengan ini semua. Rasanya mataku memanas dengan pertanyaan ambigu itu. Seharusnya aku tahu jika jawabanku bukanlah yang Ayah inginkan.

"Bukankah kamu bisa memesan taksi? Atau jangan-jangan kamu tidak punya kaki untuk berjalan?"

Aku menatap wajah Ayah tidak percaya. Ah, benar juga. Bodoh sekali aku tidak memikirkan hal itu. Seharusnya aku meminta siapa saja untuk mengantarkanku. Jika aku takut bajuku basah, aku bisa membelinya di toko yang ada di dekat kurus. Jika aku takut terkena demam, aku bisa meminum banyak suplemen daya tahan tubuh.

"Apa yang kamu lakukan saat menunggu Ji-Hoon menjemputmu?"

Gawat! Aku tidak mungkin berkata jika aku hanya berdiri dan merutuki hujan badai yang turun. "A–aku." Suaraku bergetar. Rasanya aku ingin kembali ke masa lalu dan menarik diriku untuk pergi ke kurus meski menerjang badai. "A–aku hanya menunggu Mr. Ji-Hoon di lobi sekolah."

Brak!

"Kya!" Aku memekik pelan, tanpa sadar melepaskan cengkeramanku pada briefcase dan memilih untuk menutup telinga. Bagaimana ini? Ayah sudah marah. Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan maafnya?

"Memangnya berapa umurmu! Kamu bukan anak kecil, kamu sudah enam belas tahun! Hanya butuh waktu tiga tahun sampai kamu lulus. Kamu tidak boleh membiarkan orang lain menduduki posisi yang ada di atasmu! Orang-orang hanya melihat siapa yang duduk di peringkat pertama dan mengabaikan nomor di bawahnya!"

Aku dengan cepat berlutut, meletakkan kedua tanganku di atas lantai, dan membungkuk dalam. "Ma–maafkan aku, Ayah! Aku janji tidak akan terulangi lagi!"

Tidak ada jawaban dari Ayah. Perlahan, aku mendongak untuk mengintip apa yang sedang Ayah lakukan. Namun, mata Ayah terlalu menakutkan untuk ditatap, membuatku dengan cepat menarik kembali keputusanku. Setidaknya aku tahu jika dia sedang terusik dengan laptop di depannya, kacamatanya memantulkan cahaya laptop dan deretan-deretan kalimat di sana.

"Ayah akan menarikmu dari kursus-kursus yang libur. Mereka tidak profesional sampai meliburkan kelas. Ayah sudah menghubungi guru yang bisa mengajarmu via daring. Kembalilah ke kamarmu."

"Ba–baik, Ayah." Aku meraih tas dan mendekapnya dalam pelukan, mencoba menemukan perisai yang bisa menenangkan ketakutanku, lalu bangkit keluar menuju kamar yang tidak jauh dari tempat ini.

***

Aku menghela napas panjang setelah menutup pintu kamar. Segera saja kubukaa laptop yang sudah tersedia di atas meja belajarku. Dan benar saja, sebuah email masuk berisi tautan kelas daring tersedia di sana. Tidak ada waktu untuk berganti baju atau makan malam. Untungnya aku sudah menghabiskan dua roti panggang berisi daging yang tersedia di dalam mobil saat perjalanan pulang tadi.

Tahun pertamaku ini rasanya sangat kacau dan aku pun semakin membenci hujan yang telah mengacaukan semuanya. Mungkin, aku tidak akan merasakan suasana SMA yang berkesan seperti yang dikatakan oleh orang-orang pada umumnya.

***

Setelah beberapa hari satu kursi kosong akibat dikeluarkannya Hemlock dari kelas dan sekolah ini, akhirnya seorang siswi baru mengisinya. Ia adalah gadis dengan mata kehijauan yang tenang, rambutnya yang bergelombang dengan warna secokelat kayu itu menjuntai sampai punggung, bibirnya tipis berwarna kemerahan, dan yang lebih menarik perhatian adalah karena ia punya aura menawan yang keluar dari tubuhnya.

"Aku Sophia Rosewood, salam kenal! Kuharap kita bisa menjadi teman baik."

Aku jadi ingat jika itu adalah kalimat perkenalan yang pertama kali kudengar dari mulut seorang siswa di kelas ini. Saat pertama kali masuk ke kelas A, aku tidak berkenalan dengan murid-murid yang ada di sini. Pun dengan mereka, tidak ada yang berusaha untuk memperkenalkan diri. Dia menjadi satu-satunya siswa kelas A yang tersenyum seperti itu.

Saat jam istirahat ini, kulihat Iris menjadi teman Sophia untuk berkeliling sekolah. Ia dengan suka rela memperkenalkan kami satu persatu padanya. Kudengar dia juga berencana untuk menunjukkan tempat-tempat yang ada di sekolah ini. Aku tidak punya banyak waktu untuk melakukan hal sia-sia seperti itu. Padahal Iris bisa saja memberikan buku identitas sekolah yang berisi denah yang lengkap.

Aku mengulas senyum yang aku sadar jika tidak semanis gadis di depanku. "Salam kenal juga, aku Azure Magnolia."

Kupikir akan lebih baik jika kelas ini hanya berisi sebelas orang saja, dengan begitu tidak perlu ada persaingan yang lebih ketat lagi. Semakin sedikit lawan, maka semakin mudah juga tujuan yang ingin dicapai. Namun meski begitu, aku tidak ingin melakukan cara buruk untuk menghilangkan murid-murid yang ada di sini.

Aku jadi penasaran berapa nilai tes masuk Sophia, semoga saja jauh di bawahku. Aku tidak tahu apa yang akan orangtuaku lakukan jika peringkatku semakin turun.

.

.

To be continued

.

.

Catatan Author:

Di sini ada yang nggak deket sama ayahnya juga nggak? Aku harap semoga tidak separah Azure, ya!

Btw, ada yang mau nebak peringkat Azure sama Sophia, nggak? Kira-kira siapa yang lebih tinggi?

Terima kasih sudah membaca! See you next sheet!


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro