Abhipraya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Penulis: alzafilla
Keyword: Kami, Kunci, Bagus, dan Camellia

◇ ○ ◇

Seandainya bisa, aku ingin bertanya, kapan kamu akan kembali? sudah sejak lama, baju-baju di lemari itu tak kau gunakan, kadang-kadang aku memeluknya kala rindu itu menerpa.

Aroma khasmu masih tertinggal di sana meski berpuluh tahun sudah lewat masanya.

Oh, iya, hari ini cucu kita menanyakan kenapa aku gemar sekali membuat dua cangkir teh yang pada akhirnya akan kuminum sendiri. Apakah satu saja tidak cukup.

Awalnya yang kuseduh hanya satu, tapi karena kebiasaan yang setiap hari kulakukan, cangkir teh itu tak bisa berakhir sendirian, harus ada cangkir teh yang lain untuk melengkapinya.

Hari ini turun salju...

Waktunya persis seperti saat kau berlalu pergi waktu itu.

Lagi-lagi aku bertanya, kapan kau akan kembali?

* * *

Kutemukan buku usang dalam lemari nenek ketika mencari perlengkapan yang akan dibawa ke rumah sakit.

Aku menghela napas, menyimpan buku itu kembali, bukankah tak sopan kalau membaca diari milik orang lain, meski aku sudah membacanya sedikit.

Aku tak pernah bertemu dengan kakek, namun bayangannya seperti melekat diingatan sebab nenek selalu saja bercerita tentangnya, ia tak pernah bosan meski aku akan berakhir dengan kepala hampir rebah ke lantai karena mengantuk.

Mama bilang, nenek adalah wanita paling tangguh yang ia kenal.

Ditinggal kakek puluhan tahun yang lalu saat menjadi tentara dan dikabarkan menghilang setelah sebulan lamanya. Saat itu mama masih dalam kandungannya. 

Banyak yang bilang kalau kakek kemungkinan sudah meninggal karena saat itu terjadi kudeta di tempat dinas kakek, ratusan tentara mati mengenaskan.

Namun, bagi nenek, selama jasadnya belum ditemukan, ia tak akan menyerah menunggu kakek pulang.

Meski hanya tinggal tulang dibadan ia tak peduli.

Kueratkan pakaian tebal yang melingkupi ketika keluar dari rumah, pantas saja udara menjadi sangat dingin, salju perlahan mulai turun, gumpalan putih mengenai pakaianku, luruh ke tanah dan rerumputan, dan inilah saat-saat yang selalu nenek tunggu, sebab bertepatan dengan kepergian kakek kala itu, katanya ia akan pulang mungkin paling lambat pada musim salju berikutnya, saat itu tiba, mereka akan menjadi pasangan paling bahagia sebab sudah memiliki anak dan membangun rumah sederhana dengan halaman luas.

Mungkin bisa diralat sedikit, sekarang sudah ada aku juga, cucunya.

Bisa dibilang ini bukan pertama kali aku menunggui nenek di rumah sakit, usia senja memang membuat seluruh badan mudah terserang penyakit, alat bantu pernapasan dengan selang infus menjadi pertanda kalau tubuhnya sedang tak baik-baik saja.

"Kita pulang, ya?" ucap Nenek dengan suara membujuk ibuku. 

Alasannya ia sudah merasa lebih baik, netra redupnya sedari tadi mengarah ke luar jendela, di mana gumpalan putih itu terlihat jelas.

"Ibu harus dirawat dulu, kalau sudah sembuh kita pulang," ucap ibuku sambil memegang tangannya. 

Namun Nenek sama keras kepalanya denganku, alih-alih mengikuti ucapan Mama, ia lebih memilih untuk bangkit, menolak untuk dirawat, lagipula kan bisa panggil perawat ke rumah katanya.

Padahal satu-satunya alasan yang ingin ia capai agar bisa bertemu dengan kakek yang menurutnya akan pulang.

Dan itu ucapan yang entah sudah berapa kali kudengarkan.

"Kakek tidak akan pulang, kalau mau pulang ia tak akan membuat Nenek menunggu terlalu lama," gumamku dalam hati sebab tak sampai hati untuk mengatakannya.

Bagiku yang masih naif, kakek terlalu egois, membuat nenek menunggu dengan ucapannya yang tak pernah bisa ia pertanggungjawabkan dalam puluhan tahun terkahir. 

Masa dewasa menuju hari tua, semuanya nenek lakukan tanpa bantuan dari kakek.

Pada akhirnya kami pun pulang, sebelum Nenek mengamuk karena tidak dituruti keinginannya. 

Tahu sendiri kan perangai orang lanjut usia, mereka biasanya akan kembali seperti anak-anak.

Lalu dimulai lah lagi rutinitas yang kerap ia lakukan.

Nenek duduk di kursi rodanya sebab kakinya mulai ketar-ketir kalau berdiri terlalu lama. Ia menunggu di depan pintu meski cuaca lebih dingin dari defkolektor.

"Nek, sekarang masuk ya? nanti tambah sakit kalau diam di sini terus," kataku mencoba membujuk. Gerakan itu memang pelan, namun aku masih bisa melihatnya, ia menolak.

Di akhir musim salju, aku merasa kasihan pada nenek. Lagi-lagi tak nampak keberadaan kakek.

"Musim memang berganti, namun perasaanku masih sama, aku akan menunggu di musim dingin berikutnya," kudengar nenek bergumam sebelum kudorong kursi roda itu untuk melewati pintu masuk. 

* * *

Aku tak seharusnya menangis, namun air mata ini terus luruh menatap ke arah bunga kamelia. 

Bunga peninggalan nenek yang tengah mekar, dulu aku selalu marah kalau disuruh mengurus tanamannya dan kini semua terasa berbeda.

"Ada apa, Ellie?" itu suara kakek ketika kurasakan tangan ringkihnya mengusap punggungku lembut, ia sendiri tengah memotong ranting yang kering.

Ya, dia kakekku, saat kukira semuanya hanyalah kesia-siaan semata namun kemunculannya pada saat musim dingin terakhir mengejutkan kami semua, kecuali nenek.

Aku masih mengingat betapa hebohnya diriku kala melihat seorang pria renta turun dari mobil didampingi pria yang lebih muda, sebelum sempat kutanyakan siapa itu, nenek sudah lebih dulu bangkit perlahan dari kursi rodanya.

Kaki gemetarnya dan air mata yang mengalir ke cekungan tulang pipinya membuatku sadar, yang ditunggunya selama ini akhirnya kembali juga.

Ibu setengah berlari ketika mendapatiku memanggil kakek dengan kencang.

Nenek berjalan tertatih, udara dingin perlahan terasa menghangat saat mereka berpelukan. 

"Aku kembali," lirih kakek mengecup kening nenek. Semua gambaran dari nenek tentang kakek semuanya sama persis.

Kakek nyata dan menepati janjinya.

Sayangnya nenek berpulang sekitar satu bulan setelah pertemuan itu.

Kata dokter harusnya nenek sudah lama wafat karena penyakitnya terus memburuk. Namun satu bulan terakhir ia tak pernah mengeluhkan sakit, senyumnya terlalu lebar untuk dikatakan sedang tak baik-baik saja.

Ia meninggal dalam ketenangan, dalam pelukan hangat kakek ketika kami sekeluarga menonton film keluarga home alone.

"Aku tidak apa-apa," lirihku mengusap wajahku dengan punggung tangan menghentikan secarik kenangan yang terbuka lalu memilih untuk menyiram bunga kembali.

* * *

Ku lap deretan bingkai foto itu sebelum berdebu kembali.

Deretan foto terakhir nenek, senyumnya lebih cerah dari musim semi, ada kakek, mama, papa dan aku.

Seperti katanya kami menjadi keluarga paling bahagia.

Kata kakek, cinta itu tak pernah bisa diukur, dikurangi atau pun ditambah, cinta adalah sesuatu yang kau rasakan.

Beberapa orang mungkin tak pandai untuk mengungkapkannya, namun beberapa lagi seperti memperlihatkannya secara berlebihan.

Mungkin sudah puluhan tahun kakek membuat nenek menunggu sesuatu yang tak pasti, tapi sejak hari itu, aku bisa tahu kalau kakek begitu romantis, ia hampir datang setiap hari ke makan nenek, membersihkan kuburannya sambil bersenandung lagu lama mereka.

Kakek bilang sekarang gantian nenek yang menunggunya.

Aku masih naif kala itu, dengan pikiran khas remaja kebanyakan. 

Aku berharap bisa memiliki kasih seperti nenek dan kakek.

"Ellie?" kudengar namaku dipanggil dari arah samping, ketika berpaling kudapati ada nenek di sana, melambaikan tangan ke arahku dengan sebelah tangannya lagi memegang tangan kakek.

"Mau merawat tanaman kamelia bersama lagi?" tanya Nenek, detik berikutnya kurasakan pipiku mengembang, setengah berlari sambil mengganguk.

"Aku mau!"

~Tamat~

◇ ○ ◇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro