Hanyut

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Penulis: AmeliaRO_
Keyword: Seperti, Itu, Bab, dan Tulip

◇ ○ ◇

Semua manusia punya angan, tapi terkadang angan hanyalah angan. Terkadang juga angan dapat berubah menjadi sebuah kenyataan.

Bila sebagian angan barangkali menjadi kenyataan, mungkinkah satu angan seorang Didi akan menjadi nyata? Tidak terlalu muluk-muluk, Didi hanya berangan dapat menyatakan perasaanya pada gadis yang telah ia sukai lima tahun belakangan ini. Ia selalu berharap memiliki keberanian lebih untuk mengungkapkan isi hatinya pada gadis itu. Terdengar konyol, tapi Didi benar-benar berharap akan hal itu.

Ralexa. Nama gadis yang Didi sukai lima tahun belakangan ini. Gadis berkulit putih dengan senyum manis itu, entah bagaimana berhasil mengusik jantung Didi dengan debaran yang menyenangkan. Mungkin dengan senyumnya atau mungkin dengan tingkah laku gadis itu. Tak ada yang tahu pasti.

Hari ini barangkali akan menjadi hari hari yang bersejarah, karena angan seorang Didi mungkin akan segera menjadi nyata. Hari ini di pinggir sungai, Didi berniat menyatakan perasaanya pada Ralexa. Dengan rambut klimis, kemeja biru serta celana bahan berwarna hitam, Didi tampak berbeda dari biasanya. Lelaki itu tampak ... lebih rapi?

Tak lupa tangannya membawa sebuket bunga tulip kuning--yang ia ambil secara diam-diam dari kebun tetangganya--yang ia rangkai sendiri. Bunga tulip berwarna merah, katanya memiliki arti sebagai alat untuk mengungkapkan perasaan dan juga memiliki arti cinta yang dalam. Berhubung di kebun tetangganya tak ada bunga tulip berwarna merah, jadi Didi memutuskan untuk mengambil tulip kuning milik tetangganya itu. Dalam pikiran Didi, sesama bunga tulip harusnya memiliki arti yang sama, entah itu warna merah, kuning atau warna apapun itu.

Jantung Didi berdebar kencang, padahal gadis yang ia nanti belum datang. Ia bahkan tak dapat membayangkan bila gadis yang ia nanti akan muncul di hadapannya, mungkin jantungnya akan meletus, saking cepatnya berdetak. Oh, oke, mungkin kata meletus terlalu berlebihan. Lagi pun Didi tak ingin jantungnya meletus, ia masih ingin hidup--menghirup oksigen secara gratis.

Ah, detik itu benar-benar datang. Gadis yang Didi nanti akhirnya memperlihatkan figur tubuhnya--yang terbalut pakaian santai--dari kejauhan. Didi tak bisa untuk tidak gugup, bahkan saking gugupnya ia secara tak sengaja meremas buket di tangannya. Untungnya Didi segera sadar dengan apa yang dilakukan tangganya, bila tidak, mungkin sekarang buket tulip itu sudah tak berbentuk. Dan tentu saja jika hal itu terjadi, Didi pasti akan merutuki dirinya sendiri habis-habisan.

"Sebenarnya ada apa kamu mengajakku bertemu di sini?" ujar gadis, yang Didi kenal sebagai Ralexa, tanpa basa-basi.

"Emmm, itu anu ...." Sungguh, lidah Didi terasa begitu kelu, hingga sulit mengucapkan sebuah kalimat. Dan lagi gadis di depannya itu membuatnya gugup setengah mati hanya karena tatapan gadis itu.

Dahi Ralexa tampak berkerut, "Hah?"

Didi tampak berdeham pelan mencoba menetralisir rasa gugupnya. "Oh itu .... Hai Ralexa."

Sungguh, Didi merutuki dirinya sendiri yang bertingkah konyol. Jujur saja, itu bukan kalimat yang ingin Didi sampaikan, tapi entah mengapa mulutnya malah mengucapkan kalimat sapaan. Ah, Didi merasa bodoh di depan Ralexa saat ini.

Ralexa tentu saja makin bingung dengan tingkah Didi. Lelaki itu tiba-tiba mengajaknya bertemu. Bila mengajak bertemu di sebuah tempat makan, mungkin itu terdengar normal. Tapi ini mengajak bertemu di pinggir sungai. Apakah lelaki itu sudah tidak waras, hingga mengajak wanita secantik dirinya bertemu di sungai?

"I-iya, hai juga. Ada apa sebenarnya? Apa yang ingin kamu bicarakan sampai mengajakku bertemu di sini?" ujar Ralexa sembari menatap tempat sekitarnya dengan risih. Tempat ini cukup sepi, dan sungguh Ralexa tak tahu maksud dan tujuan lelaki itu mengajaknya bertemu. Dan yang lebih aneh menurut Ralexa, yaitu penampilan Didi yang tampak seperti orang yang akan berangkat kerja atau bisa juga seperti orang yang akan pergi ke kondangan.

Didi terdiam sejenak sembari menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan. Dan tanpa aba-aba. "Ini buat kamu," ujar Didi sembari menyodorkan buket bunga tulip kuning ke pada Ralexa.

Ralexa tampak mengerjap beberapa kali, "Buat apa?"

"Buat kamu," sahut Didi cepat tanpa menatap gadis di depannya.

"Iya, maksudku ... dalam rangka apa kamu kasih bunga ke aku?" Ralexa menatap bunga buket tulip kuning yang kini ada ditangannya. Ia jelas tahu arti dari bunga  berwarna kuning yang kini di tangannya itu.

"Dalam rangka ... rangka ...."

"Dalam rangka?" tanya Ralexa tak dengan tak sabarnya.

"Dalam rangka aku suka kamu!" sahut Didi cepat membuat Ralexa memundurkan sedikit tubuhnya.

"Hah?" Ralexa menatap Didi dengan pandangan aneh, kemudian tertawa hambar. "Maksudnya."

"S-selama i-ini aku suka sama kamu." Didi berujar dengan kepala menunduk, ia tampak melirik Ralexa ragu-ragu.

"Terus?"

"I-itu ...."

"Sebentar. Kamu minta aku kesini, karena   kamu pengin menyatakan perasaan kamu ke aku?" Didi menganggukan kepalanya pelan. "Kamu berharap aku jadi pacar kamu?" Sekali lagi Didi menganggukkan kepalanya. Malah, sekarang berani mengangkat wajahnya dan menatap Ralexa. Didi merasa mendapat angin segar ketika Ralexa tahu tahu tujuan Didi mengajak Ralexa bertemu di tempat ini. Didi pikir, dengan Ralexa yang  dapat menebak tujuannya, berarti Ralexa mungkin juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Yah, walau pemikiran ini terasa tak masuk akal. Tapi siapa peduli dengan manusia yang tengah jatuh cinta.

Ralexa terdiam sejenak hingga akhirnya ia tertawa keras, hingga membuat Didi bingung. Tak ingin terlihat aneh, Didi akhirnya ikut tertawa meski tak tahu tujuan dari tawa yang berderai itu.

"Lucu!" ujar Ralexa, membuat Didi merona padahal kalimat itu dilontarkan bukan untuk memuji Didi.

"Lucu! Lucu sekali harapanmu itu!" kata Ralexa sembari mengusap ujung matanya yang mengeluarkan air karena tertawa. "Kamu berharap jadi pacarku? Konyol dan tak masuk akal!"

 Raut Didi yang berubah seketika. Ia tak mengerti mengapa Ralexa berkata demikian. Bukankah tak seharusnya Ralexa berkata seperti itu?

"Harapan kamu benar-bebar konyol, Didi. Seharusnya kamu tahu diri, bukan malah menuruti harapan konyolmu."

Didi tak berkedip menatap Ralexa, entah kenapa ia tiba-tiba merasa sesak. Padahal bisanya jika ia melihat Ralexa, pasti dadanya akan terasa membucah-bahagia, bukan sesak seperti ini. "Ha-harapanku konyol."

Ralexa menatap Didi tajam. "Ya, konyol. Sangat konyol. Kamu menyatakan perasaanmu ke aku saja sudah konyol, apa lagi harapanmu untuk menjadi pacarku. Bukankah itu terdengar lebih konyol."

"Kenapa?

Dahi Ralexa tampak mengernyit. Ia menatap Didi dari atas hingga bawah. "Lihat diri kamu sendiri. Kamu aneh."

"Aku tidak aneh!" sahut Didi cepat.

"Ya, terserah apa katamu. Yang jelas aku tak suka kamu. Bayangkan saja jika aku harus bersanding denganmu. Lihat aku, aku terlihat modis dan kamu ... norak."

Didi menggigit lidahnya sendiri untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. "A-aku bisa belajar untuk jadi modis."

"Belajar, ya mungkin kamu bisa melakukan itu. Tapi, hanya dengan membayangkan namamu berdampingan dengan namaku di undangan sudah membuatku muak. Ralexa dan Didi. Bukankah itu sangat tidak cocok? Namaku terdengar elegan. Dan namamu? Tentu saja kampungan!"

"K-kamu ...." lidah Didi terasa kelu, dia merasa sakit hati dengan apa yang dikatakan Ralexa. Ralexa yang ia sukai ternyata tak seperti yang ia lihat selama ini.

"Dan lagi. Selain norak kamu juga bodoh, ya. Baru pertama kalinya aku melihat seseorang menyatakan perasaan di pinggir sungai. Dasar tak mau modal!"

Gigi Didi saling bertabrakan hingga membuat rahang pria itu mengeras. Mungkin ini memang salahnya, benar kata Ralexa, ia tak seharusnya menyatakan perasaan di pinggir sungai, mungkin jika di sungai yang menakjubkan itu baru benar. Tapi tidak dengan sungai berair keruh yang ada di pinggir desa. Tapi ia memilih tempat ini bukan tanpa sebab, ia memilih pinggir sungai karena tempat ini sepi. Dia pikir dengan begini ia dapat mengutarakan perasaanya dengan leluasa tanpa gugup karena keramaian.

"Kamu tahu bunga ini artinya apa?"

"Cinta yang dalam," jawab Didi tanpa sembari menatap bunga tulip yang kini Ralexa angkat tepat di depan wajah Didi.

Ralexa mendengus keras. "Kamu benar-benar bodoh! Tulip kuning artinya persahabatan!"

"Ki-kita juga sahabat," celetuk Didi ragu-ragu.

"Ya, sahabat atau lebih tepatnya Teman. Tapi mulai sekarang tidak!" ujar Ralexa lantang kemudian melempar buket tulip tersebut ke sungai.

Mata Didi melebar ketika melihat buket bunga yang susah-susah ia rangkai dibuang begitu saja.

Ralexa sungguh tak peduli dengan raut terkejut Didi. Bagi Ralexa seorang teman tak seharusnya menyatakan perasaan kepada dirinya, kecuali jika orang itu tampan dan ..., yah setidaknya setara dengannya. Bukan seperti Didi, sudah norak dan tak tahu diri. Sudah bagus, Ralexa mau berteman dengannya, tapi dengan tak tahu dirinya Didi malah menyatakan perasaanya pada Ralexa. Didi boleh suka padanya, tapi mengapa harus diutarakan, itu sungguh membuat Ralexa jijik.

Didi terdiam, ia menatap tulip kuning yang hanyut terbawa arus sungai. Beberapa kali buket tulip itu menabrak bebatuan, tapi tampaknya hal itu tak menghentikan perjalanan si tulip untuk terus terhanyut.

Pundak Didi tampak meluruh, ia menatap sekilas punggung Ralexa yang menjauh. Gadis itu benar-benar membuatnya sakit hati. Dan entah bagimana caranya, rasa sakit itu membuat perasaan sukanya pada Ralexa perlahan meluruh.

Ia merasa Ralexa tak seharusnya berkata demikan, mungkin tampilannya tak modis. Mungkin ia agak bodoh. Tapi mengapa ia harus mempermasalahkan namanya? Nama itu pemberian ibunya, Dan Didi merasa namanya terdengar bagus-bagus saja. Didi atau lebih tepatnya Ardi Cahyadi. Namanya Ardi dan namanya memiliki arti tangguh. Bukankah namanya bagus?

Lagi pula nama Ralexa tak sebagus yang gadis itu pikir. Nama Ralexa malah terdengar seperti permen rasa mint yang sering dijual di warung-warung.

Didi menarik napasnya panjang-panjang kemudian menghembuskannya secara perlahan. Wajahnya mendongak menatap langit, kemudian ia mengalihkan penglihatannya untuk menatap sungai yang mengalir. Bunga tulip hasil curiannya sudah tak tampak pandangan. Bunga itu hilang tertelan arus sungai.

Mungkin memang benar kata orang-orang. Sesuatu yang diawali dengan keburukan akan berakhir keburukan. Harusnya ia tak mencuri bunga milik tetangganya, mungkin saja bunga itu masih ada di tangan Ralexa bukan berakhir hanyut di sungai. Ah, tapi mungkin juga akan berakhir sama. Tapi sekarang ia merasa tak peduli lagi, toh tulip itu telah hanyut dan tenggelam setelah bertabrakan dengan batu sungai. Sama seperti hatinya-perasanya yang telah hanyut menabrak batu-batu menyakitkan kemudian tenggelam begitu saja.   

[SELESAI]

◇ ○ ◇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro