Salik dan Lelaki Bersorban Hitam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Penulis: NozdormuHonist
Keyword: Onta, Gurun, Langit, dan Mawar Merah

◇ ○ ◇

Hari ini ketika aku terbangun, aku melihat sesosok manusia berbalut sorban serba hitam. Tentu saja, hari ini aku sudah terbangun sebanyak tiga kali: sebelum berangkat ke sungai, setelah terdampar di pinggiran sungai, dan dua jam menjelang tengah malam. Yang kumaksud adalah bangunku untuk kedua kalinya pada hari ini.

Setidaknya sekarang tanganku tidak gemetar lagi, dan ajaibnya, tidak ada luka berat di sekujur tubuhku-hanya beberapa memar dan nyeri di bagian punggung dan kaki-dokter yang memeriksaku pun sampai heran. Kini aku agak memaksakan diri untuk menulis kisah ini-mumpung ingatan masih segar-dengan selembar kertas dan pensil karena orang tuaku belum memperbolehkanku menyentuh gawai, setidaknya untuk saat ini.

Namun sebelum melanjutkan cerita, aku ingin kalian, para pembaca, menyimak kata-kataku selanjutnya dengan baik.

Aku ingin kalian membayangkan apa saja yang kualami seolah-olah kalian ada di sana, seakan-akan kalian bersamaku, seakan kalian adalah diriku sendiri. Kesadaranku tidak pernah hilang sepenuhnya selama tubuh lemahku masih menjejak bumi. Salah satu kesalahan terbesar yang pernah kulakukan adalah dengan naifnya percaya bahwa di manapun aku berada, di sanalah rumahku-sebab aku sungguh-sungguh percaya pada diriku sendiri.

Panggil aku Salik, yang dilahirkan di Gombolirang, dua puluh tahun yang lalu. Keluargaku mulanya bekerja di lahan enau milik seorang saudagar kaya raya dari Gardenia Estate. Kami hidup di pinggiran Dusun Cungking, terpisahkan sungai kecil yang memagari kebun tebu. Di balik kebun tebu itu, ada sebuah petilasan yang sakral bagi warga sekitar. Jika engkau bertanya padaku, aku masih bisa mengingat benar suara gemericik air yang mengalir usai adzan subuh di depan rumah dan gelebug kelapa saat musim panen tiba.

Tiap pagi, jika engkau membuka tirai jendela rumahku, maka akan tampak jelas siapa yang hilir-mudik: tukang sayur keliling, petugas kebersihan dari pemkab, abang penjual bakso, ibu-ibu buruh cuci, para petani, dan masih banyak lagi. Semuanya berlalu-lalang di bawah mega-mega jingga yang diarak dari lereng gunung di barat menuju laut di sebelah timur. Adapun aku waktu itu masih hidup dalam ketidaktahuan: belajar membelah hutan tebu dengan berlari, menunggangi kelapa genjah untuk menyentuh awan, dan mencelupkan diri menuju kedalaman sungai yang sesekali bercampur buih deterjen, kantung plastik, dan ranting kayu.

Yang terakhir itu semestinya tidak kulakukan. Namun apa gunanya engkau melarang remaja berusia tujuh belas tahunan untuk bermain bersama kawan-kawannya di tepi sungai? Semakin dilarang, semakin penasaran, dan berujung pada hal-hal nekat nan bodoh. Semestinya aku mendengarkan mereka waktu itu.

Apa yang engkau lakukan ketika rumah tengah sepi dan ada seorang kawan yang mengajakmu bermain? Tentu aku tidak bisa bilang tidak waktu itu. Aku bersama beberapa kawan lain tiba di pinggir sungai tempat kami sering bermain secara diam-diam di bawah kolong jembatan. Detailnya masih kuingat: gerombolan bambu di arah barat, kerumunan pokok kelapa dan pisang di arah timur sempadan sungai-mengikuti jalan setapak di bawahnya.

Tentu saja, tiada dari kami yang tahu bahwa cuaca terik bisa berubah menjadi hujan petir dalam waktu sesingkat satu jam. Begitu menilik gumpalan-gumpalan awan dari langit barat, hatiku macam digelantungi untaian bom waktu yang siap meledak kapan saja. Sayangnya, karena pada saat itu aku tak mau disebut sebagai seorang pecundang, aku meneruskan apa yang kuperbuat. Bahkan hingga guntur pertama merasuk dalam telinga.

Lambat laun, angin bertambah kencang dan jari-jari kami ikutan bergetar karenanya. Akhirnya, langit menumpahkan jarum-jarum beningnya ke bentala, membuat tanah sekitar kami menjadi lecek, menggenang, dan licin. Rangkaian kata-kata tersekat dalam kerongkongan, dan aku berulang kali menghela napas dalam-dalam, membungkam panik sekaligus grogi.

Aku ingin pulang, pikirku.

Namun badai tak kunjung berhenti, dan saat itulah aku baru menyadarinya. Air sungainya mulai keruh dan banyak dedaunan serta ranting yang hanyut ke arah timur. Bersamaan dengan itu, ada bunyi gemuruh samar-samar di hulu aliran. Sementara itu aku dengan bodohnya masih bertahan di bawah kolong jembatan bersama mereka, takut tersambar petir dan cemooh mereka jika lari terbirit-birit.

Beberapa detik kemudian, air bah datang memangsa kami.

Kedua tanganku yang lemah berusaha memegang pokok kelapa yang ada di dekat kolong jembatan, kakiku menjelma jangkar bagi seorang kawan lain. Kami semua berteriak pilu pada langit dengan mulut dan hidung yang tenggelam dan muncul ke permukaan, tetapi tak ada satu pun yang menjawab. Arusnya semakin deras, dan kakiku rasanya hampir patah. Satu per satu dari kami terseret ke tengah aliran sungai. Teriakan berubah menjadi jeritan. Aku tak mampu bertahan lagi.

Begitu kulepas peganganku, tak jelas lagi kaki siapa yang menendang kepala siapa, kepala siapa yang menyentuh kaki siapa. Kami saling menjambak, menarik, memeluk, bahkan mencekik satu sama lain untuk bisa meraih permukaan air. Tanganku berusaha menggapai potongan pokok kayu yang tiba-tiba muncul di permukaan, demikian juga kawan-kawanku yang lain. Tubuhku seketika terbalik dan untuk sejenak, aku hanya bisa memandang warna kelabu pekat di angkasa-hanya untuk digulung kembali menuju kedalaman air yang keruh. Air dan pasir mendobrak masuk melalui sela-sela napasku lewat hidung, mulut, dan telinga.

Kakiku berusaha melawan arus air, tetapi rasanya sia-sia saja menyaksikan dirimu terseret begitu jauh dari satu jembatan ke jembatan lain. Dari ekor mataku, dapat kutangkap gambaran menara dan kubah masjid di sebelah kanan-atau kiri sungai, aku tidak tahu-dan aku menjerit sekencang-kencangnya sembari megap-megap, berharap ada orang atau musafir yang barangkali mendengar sebelum badanku melewati jembatan setelahnya.

Tiada yang mendengar. Hanya aku, deburan air, gemuruh petir, dan jeritan kawanku.

Kuposisikan tubuhku agar searah dengan tiang penyangga jembatan di depanku sekuat tenaga, menghindari pusaran-pusaran air. Menghantamkan seluruh tubuh pada benda tersebut, tangan lecetku dengan panik menggapai bagian bawah tiang, dan akhirnya berhasil. Dengan posisi membelakangi arus sungai, kucengkeram tiang itu dengan kuku-kuku jariku seerat mungkin, kupeluk seakan-akan benda tersebut adalah bagian dari ragaku.

Untuk sesaat, aku merasa lega, sebelum akhirnya dihantam sesuatu dari belakang.

Aku tak tahu apakah itu air bah, kayu, batu, atau apa. Yang pasti, setelahnya, aku tak sadarkan diri. Hanya ada kegelapan.

Entah berapa lama, dalam kegelapan, aku melihat secercah cahaya dari atas. Orang-orang yang pernah berada di ambang kematian banyak yang sudah bercerita perihal cahaya di ujung terowongan besar. Apa yang kualami kurang lebih sama, tetapi alih-alih bergerak secara horizontal, tubuhku terdorong oleh arus tak terlihat menuju ke atas, seolah ada puluhan bahkan ratusan balon yang terikat di leher dan kedua pergelangan tanganku. Mataku menyipit, tak ingin terbutakan oleh derasnya cahaya di atas.

Tubuhku kemudian terlontar menuju pelukan cahaya, keluar dari ... kegelapan apapun itu yang sebelumnya berada di bawah. Terkesiap, paru-paruku bergelora dengan semilir udara segar, badanku telentang di atas hamparan tanah selembut kapas dengan mata menusuk langit biru kelam, cerah tanpa awan. Kedua belah pipiku basah akan air mata, menahan nyeri di sekujur tubuh. Apa yang kulihat selanjutnya benar-benar di luar nalar.

Kucoba menolehkan kepala ke sebelah kiri, dan aku menyaksikan hamparan pasir kuning keemasan yang bergulung-gulung membentuk bukit dan gunung dari kejauhan. Di sebelah kanan, rangkaian kelopak bunga berwarna merah muda, putih, dan kirmizi mekar dalam semak-semak hijau tua yang memanjang secara horizontal. Tiada lagi petir, guruh air, maupun teriakan dari kawan-kawanku. Kucoba merasakan diriku sendiri, ternyata baju dan celana yang kupakai masih utuh dan tidak basah sama sekali.

Aku ada di mana?

Dari belakang kepalaku, muncul suara derap kaki seekor binatang. Kepalaku berusaha bangkit dari lautan pasir, tetapi tampaknya tangan dan kakiku bagai sulur-sulur anggur yang telah rontok di penghujung musim gugur. Kubenamkan kuku-kukuku ke dalam pasir, berharap ada sedikit sisa tenaga untuk mampu duduk tanpa bergetar ketakutan.

Sebuah bayangan dengan cepat menghalangi tatapanku dengan matahari, mewujud sesosok wanita yang mengenakan sorban sehitam arang dan setipis sutra. Sorban dan kain serba hitam yang ia kenakan melilit seluruh kulitnya-dari mata kaki hingga ujung rambut-hingga hanya kedua mata zamrudnya yang dapat kupandang. Aku tak tahu sorban dan turban macam apa yang ia kenakan, tetapi ada satu hal yang pasti darinya. Ia datang seperti hantu, melangkah dengan pelan dan tenang seraya mengangkat kepalaku dari samudra pasir.

"Anakku, engkau tak apa-apa?"

Di luar dugaanku, suaranya ternyata begitu maskulin, layaknya madu sidr yang mengalir dari ujung pisau menuju semangkuk penuh susu coklat hangat.

"Siapa engkau? Aku ... aku ada di mana? Apa aku sudah mati?" tanyaku menahan tangis dan kekaguman dalam satu waktu.

Sang pria bersorban hitam kemudian mendudukkanku dan berkata, "Belum, kau ada di persimpangan jalan, anakku. Minumlah dulu." Ia lantas menyodorkan kantung air dari kulit yang ia ambil dari unta merahnya. Namun, kalbuku tetap bersikeras untuk memerintahkan agar tangan dan lidahku tak bergerak sedikit pun. Seakan menyembunyikan tawa, sang pria bersorban hitam memegang tangan kananku yang gemetaran sembari menyodorkan kantung airnya.

"Tenanglah, tidak ada racun di dalamnya," jelasnya ringan.

Aku merasa terhimpit di antara dua tebing yang begitu sempit. Di satu sisi, aku tidak tahu apa yang terjadi dan di mana aku sekarang. Di sisi lain, pria ini mungkin hanya satu-satunya jawaban yang kupunya untuk menemukan jalan pulang ke rumah. Aku tak mempercayai gelagat pria ini sedikit pun, tetapi aku juga tak punya pilihan ketiga.

Kureguk isi kantung itu dengan cepat. Tenggorokanku yang semula terbakar, kini menjelma derasnya air terjun di tengah kemarau, terlapisi dengan rasa manis-gurih di tiap tegukannya. Sekujur luka di kaki, tangan, dan punggung terasa berbeda ... rasa sakitnya jauh lebih hilang daripada beberapa menit tadi.

"Namaku Razbar, anakku," ujarnya sambil duduk di dekatku, "akulah penjaga tempat persimpangan ini." Matanya tampak berkilat-kilat menatapku.

Dengan tak sabar aku menyergah, "Apa kau bisa membawaku pulang, Pak Tua? Ke rumah? Aku ingin melihat Mama dan Papa lagi." Mataku berkaca-kaca, nyaris tak sanggup menahan tangis.

Razbar menghela napasnya dan menjawab, "Pertanyaannya bukan itu, anakku. Yang perlu engkau tanyakan adalah, maukah engkau kembali?"

Saat itu aku berpikir, tentu saja aku ingin pulang. Dasar pria aneh, memangnya siapa manusia yang sudi mengembara di gurun pasir dengan menggunakan kaus oblong? Aku lebih baik mati saat itu juga daripada harus bertahan hidup di tempat tersebut, jika memang itu yang dimaksud oleh Pak Tua ini. Aku dengan sigap menganggukkan kepalaku berkali-kali.

Razbar melihatku dengan saksama selama beberapa detik, seakan mencari tanda-tanda keraguan pada raut wajahku, tetapi bagaimanapun juga, aku tetap teguh. Ia sempat membanting pandangannya ke arah kakiku sebelum berujar, "Jika memang itu yang engkau inginkan, baiklah."

Sang pria bersorban hitam menyingkapkan tangan kanannya dari lipatan kain hitam, kemudian mengulurkannya padaku. "Kemarilah, peganglah telapak tanganku," rayunya lembut.

Aku tak punya pilihan lain selain menerima uluran tangannya.

Lumayan halus juga tangan orang ini, pikirku saat itu.

"Ketika badai menerjang, tiap manusia akan bergerak sesuai instingnya masing-masing. Beberapa ada yang bersembunyi di bawah kolong jembatan, tergerogoti oleh teror, ada pula yang berlari kocar-kacir tanpa arah," katanya jelas dan tegas. Aku terkesiap, nyaris menginterupsinya jikalau saja dia tidak melanjutkan kata-katanya.

Razbar menambahkan, "Dan ada yang mengepakkan sayapnya lebar-lebar layaknya seekor burung dan membumbung tinggi bersama angin menuju mata badai."

Dalam sekejap, tanganku seperti tersetrum arus listrik bertegangan tinggi yang refleks membuatku menutup mata erat-erat dan merintih kesakitan. Tulang punggungku serasa ditarik dari bagian ekor menuju ke bawah pasir dengan cepat. Aku berputar-putar dalam kegelapan tanpa pegangan, memekik sekuat tenaga.

Saat aku baru saja akan menyerahkan semuanya pada takdir, mataku terbuka lebar-lebar, menerjang langit biru tua dengan mega-mega kelabu. Jantungku berdebar-debar, hendak meronta keluar dari dalam dada. Menggelepar dan kejang-kejang layaknya seekor ikan di tengah gurun, aku mulai berpikir bahwa aku akan mati. Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi.

Sesuatu memaksa keluar dari kerongkonganku. Dengan bantuan siku sebelah kanan, aku menjangkarkan tubuhku pada bumi dan mulai menyuruh lambungku agar mengeluarkan sisa-sisa isi yang ada. Pertama, yang keluar adalah batu-batu kerikil berukuran kecil dengan cairan warna kuning kehijauan. Kedua, setelahnya berguguran beberapa kelopak mawar putih bersama cairan berwarna kuning kecoklatan. Ketiga, yang terakhir, meneteslah cairan pekat berwarna kuning kemerahan-kurang lebih seperti kecap yang dibuat dari tumbukan kelopak mawar merah dan minyak zaitun.

Saking paniknya, aku lupa bagaimana cara untuk menjerit dan menangis.

"TOLONG! TOLONG! TOLONG!" jerit seseorang dari kejauhan.

Aku tak sanggup membalikkan badan untuk menoleh siapa atau dari arah mana dia datang. Perhatianku teralihkan menuju sekujur telapak tangan yang disentuh oleh Razbar. Ada bercak berwarna kemerahan di bawah telapak tanganku seperti luka bakar. Tanganku seperti melepuh, tetapi alih-alih merasa nyeri atau panas, aku malah merasakan hawa sejuk.

Kulemparkan pandangan dari sela-sela jari menuju seberang sungai yang ditutupi oleh barisan bambu dan tanaman liar. Aku masih bisa melihatnya di kejauhan. Walau seberapa deras dan kotor arus sungainya, meski barisan tumbuhan di seberang sungai cukup rapat dan rimbun, kendati mega-mega masih memayungiku dalam gelap, aku masih bisa menyaksikan lelaki bersorban hitam itu di antara semak belukar, mengangguk dan tersenyum padaku sebelum melebur bersama hijaunya alam.

◇ ○ ◇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro