Bahtera Langit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Penulis: ZiviaZee
Keyword: Tornado, dark, sunset, and Lily

◇ ○ ◇

Bajra sudah hampir mengudara. Kurang dari dua puluh empat jam dan semuanya akan berubah sia-sia. Pribumi tidak punya tempat di sana, di bahtera langit yang dibangun tirani menggunakan keringat pribumi jauh-jauh hari sebelum hujan meteor akan sampai ke Nusabang. Sekarang, tinggal menunggu jarum jam berdetak sebanyak dua puluh empat kali dan batu angkasa pertama akan mendarat di Laut Banda. Menciptakan gelombang tsunami yang akan langsung menyapu habis seluruh kota.

Bara menepikan diri dari ribuan orang yang berdemo di depan Pangkalan Garuda. Demo itu sudah berlangsung selama berhari-hari sejak Bajra diresmikan dan tiketnya mulai diperjualbelikan dengan harga yang hanya mampu dibayar tirani-tirani kaya. Mereka lupa, bahwa lima bahtera itu berdiri berkat kerja keras pribumi. Namun tak satu tempat pun disediakan bagi kaumnya sebab tak punya harta.

"Mereka masih belum membukakan pintunya?" tanya Kamal yang sudah lama menyerah menyerukan permohonan pada para tirani yang sudah duduk manis di bahtera.

"Tirani-tirani congkak itu ... jika bukan karena kerja keras kita, mereka tidak akan bisa leha-leha di saat-saat menjelang kiamat begini!" Nuktah yang baru datang bersama Bara melepas bandananya kasar. Hampir habis kesabaran karena usaha berhari-harinya untuk membuat pintu Bajra dibuka bagi kaum pribumi tak juga membuahkan hasil memuaskan.

"Mereka tidak akan membukakan pintunya," ujar Bara setelah menegak sebotol penuh air mineral. Pemuda berkulit sawo mata itu nampak sudah benar-benar di ambang batasnya. Dahinya yang berkerut-kerut marah dibanjiri banyak peluh. "Mereka mempekerjakan kita tanpa membiarkan kita tahu soal meteor itu. Jika Zirad tidak curi-curi dengar, kita tidak akan pernah tahu. Sejak awal mereka memang akan meninggalkan kita mati di sini."

"Lalu kita harus bagaimana? Pasrah saja jadi rempeyek meteor sementara orang-orang itu menonton dari atas bahtera? Sialan! Tahu begini aku akan buat mesinnya jadi malfungsi biar sekalian kita semua mati bersama di sini."

"Kalau begitu ayo lakukan," balas Bara dingin.

"Apa?" Kamal mengorek telinganya seolah ada sesuatu di sana yang membuatnya salah mendengar.

"Kita buat Bajra jadi malfungsi." Bara menjelaskan. "Jika mereka tidak membiarkan kita ikut berlayar, maka kita akan buat mereka tidak bisa melakukannya juga. Mari karamkan bahtera langit sialan itu!"

"Dan merusak satu-satunya kendaraan kita untuk pergi dari Nusabang? Ini sama saja bunuh diri!" Zirad tidak setuju.

"Kita tidak akan bisa pergi dari sini." Bara membalas. "Kau pikir jika kita bersujud-sujud di kaki mereka sambil menangis sesenggukan akan ada keajaiban mereka membuka hati untuk kita dan membuka pintunya? Tidak! Tirani picik itu tidak mau bernapas di satu ruangan yang sama dengan kita yang mereka nilai rendah. Bahkan lebih rendah dari tai! Itulah nilai kita di mata mereka. Jadi, apa lagi? Kita hancurkan mereka juga. Hanya itu keadilan yang bisa kita dapatkan atau tidak sama sekali."

"Atau!" Kamal berseru tiba-tiba. "Atau kita buat mereka terpaksa membukakan pintunya untuk kita."

"Ya, dan bagaimana caranya?" tanya Nuktah skeptis. "Jujur saja ide Bara lebih terdengar masuk akal buatku."

"Ingat? Kita yang memasang mesin-mesin baja hitam besar itu. Seperti kata Nuktah, kita buat mesinnya malfungsi. Mereka akan membawa kita karena hanya kita yang bisa memperbaikinya Bajra."

• •—<><>—• •

"Bajra milik pribumi! Bajra ada berkat pribumi! Bajra untuk pribumi! Buka pintu untuk pribumi! Buka pintu untuk pribumi!"

Seruan-seruan pendemo terdengar semakin lantang tatkala matahari mulai menuruni puncaknya. Menara jam pangkalan Garuda berdetak tujuh kali, menandakan tinggal delapan jam lagi sebelum meteor jatuh menghantam bumi. Dan hanya tinggal tiga jam lagi sebelum baterai energi Bajra terisi penuh, lalu bahtera itu akan mengudara meninggalkan kerumunan di bawahnya.

Bara dan kawan-kawannya tidak lagi ada di sekitar lapangan. Mereka berkumpul di pos jaga Pangkalan Garuda yang ditinggalkan penjaganya sebab kiamat akan datang sebentar lagi. Namun seruan-seruan putus asa itu tetap dapat terdengar jelas. Nuktah sebagai yang paling terakhir masuk berinisiatif menutup pintu Demi meredam suara dari luar.

Sebuah meja digeser ke tengah ruangan. Gelas bekas kopi, secarik koran, sisa puntung rokok dan segala barang di atasnya disingkirkan. Bara membentang cetak biru ruang mesin Pangkalan Garuda. Kamal, Zirad dan Nuktah bergegas mengelilingi meja.

"Kita akan ke sini," ujar Bara menunjuk salah satu ruangan di gambar cetak biru.

"Ruang daya beterai. Mesin Bajra tidak bisa mengudara jika baterainya tidak penuh. Ide bagus," tanggap Nuktah. "Sekarang, bagaimana caranya kita memasuki pangkalan? Pengawalan di luarnya saja ketat sekali."

"Kita bisa gunakan mereka." Kamal menunjuk ke arah luar jendela pos jaga. Pada kerumunan pendemo yang tak lelah mengayunkan kepalan tangan ke udara seraya berteriak di depan baja hitam raksasa, Bajra.

Genap rencana selesai dibuat, empat mantan teknisi Bajra itupun memulai pergerakannya. Bara, Nuktah, Kamal dan Zirad berdesakan berusaha menyelinap ke tengah-tengah kerumunan. Saling berpencar di berbagai titik agar aksi mereka bergerak secara merata. Bara yang akan memancing khalayak massa untuk pertama kali. Ia menyelinap tepat ke depan  Pangkalan Garuda, bersemuka dengan barisan prajurit militer yang menghalangi mereka. Lelaki itu merebut paksa pengeras suara dari tangan pemimpin demo dan menggunakannya untuk memanasi para warga.

"Tangan ini ... adalah tangan yang membangun Bajra hingga berdiri kokoh seperti yang kita lihat sekarang!" seru Bara ke khalayak ramai yang hening seketika. Ia menunjukkan telapak tangannya ke segala arah untuk memastikan semua pendemo terfokus ke arahnya. "Ya, ini adalah tangan pribumi. Jadi, kasih tahu mereka! Siapa yang pantas menaiki Bajra? Pribumi atau tirani?!!"

"Pribumi!" seru para pendemo serentak.

"Apakah kita akan diam saja melihat tirani-tirani itu mengambil hak kita?! Kalau begitu apakah kita akan diam saja saat ketidakadilan ini membunuh kita?!!"

Kerumunan pendemo diam. Tidak yakin akan apa yang mereka lakukan. Berhari-hari melakukan demo dan tidak membuahkan apa-apa membuat banyak di antaranya dirundung pesimis dan bahkan menyerah.

"Tidak!" Di tengah-tengah keheningan, Kamal di sayap kiri lapangan berseru lantang, sama sekali tanpa keraguan.

Seruan percaya diri Kamal lantas disusul oleh seruan penuh amarah Nuktah. "Kami tidak akan diam saja!"

Melihat satu persatu orang mulai berseru, pemimpin demo pun turut menyuarakan seruannya. Meski ada sedikit ketidakyakinan dalam nada suaranya, namun semua itu hilang saat mulai semakin banyak orang menyerukan kata tidak.

"Semuanya ikut aku! Kita rebut tempat kita di sana!" Bara menunjuk ke arah Bajra yang berdiri kokoh di balik gedung Pangkalan Garuda.

"Kita rebut tempat kita!" seru mereka serentak.

Kemudian para pendemo dengan serentak mulai menerobos barikade militer yang menutup Pangkalan Garuda. Terjadi bentrokan yang dalam sekejap berubah menjadi kericuhan besar. Ribuan orang memaksa masuk.

Bara dan kawan-kawannya lekas bertindak. Tatkala barikade militer mulai tumbang dan ribuan orang berlarian memasuki gedung Pangkalan Garuda, Bara dan tiga temannya cepat-cepat memanfaatkan arus orang-orang masuk ke dalam gedung pangkalan. Sementara para pendemo bergerak ke landasan, barisan militer dan keamanan pun bergerak mengikuti mereka. Selagi tidak ada anggota keamanan yang memperhatikan mereka, Bara, Nuktah, Kamal dan Zirad berbelok menuju ruang mesin.

Ruang mesin adalah ruangan besar yang memiliki banyak bilik. Untuk mencapai ke ruang daya baterai, Bara harus memasuki bilik baterai. Di dalam bilik, mesin-mesin berukuran besar saling menyambung. Ruangan ini panas dan mesin-mesinnya mengeluarkan suara bising yang cukup membuat telinga sakit.

Bajra adalah kendaraan raksasa yang memerlukan energi besar untuk menyalakannya. Baterai Bajra berbentuk tabung-tabung besar berdaya radiasi nuklir sebagai energi untuk menghasilkan listriknya. Sebelum terisi ke tabung-tabung baterai yang terdapat di badan Bajra, energi nuklir diproses terlebih dahulu di ruang daya baterai yang tersambung pada saat pengisian daya. Melalui serangkaian mesin di ruang ini, bahan radioaktif akan mengalami proses peluruhan zat radioaktif yang kemudian akan menghasilkan radiasi nuklir. Radiasi nuklir yang disertai dengan pelepasan elektron atau muatan listrik kemudian akan disalurkan melalui generator ke medium baterai Bajra.

"Kita hanya perlu mematikan generatornya. Jika generator ini mati, maka energi tidak dapat tersalurkan ke baterai. Mesin Bajra akan mati," jelas Kamal ketika mereka sudah berdiri di depan sebuah generator besar dengan tuas kendali. "Kita harus mematikannya dari sini. Jika kita mematikan daya dari ruang kendali mesin, mereka akan dapat dengan mudah menyalakannya kembali."

"Tapi kita tetap harus mematikan dayanya juga. Begini saja, aku akan menarik ke bawah tuasnya untuk mematikan generator. Zirad dan Nuktah pergi ke ruang kontrol dan matikan daya dari sana. Kalian hanya perlu menarik sebuah kunci untuk mematikannya dan pastikan kuncinya aman di tangan kita. Lalu Kamal, bagian favoritmu, rusak sedikit mesin baterainya. Untuk berjaga-jaga jika mereka berhasil merebut kunci ruang kontrol dari tangan kita, mereka tetap tidak akan bisa menyalakan generatornya karena yang bisa memperbaiki mesinnya hanya kita."

"Ide yang sangat bagus!" seru Kamal kegirangan. "Aku akan merusaknya dengan sangat baik."

"Tapi, jangan sampai merusaknya terlalu parah, atau kita tidak akan bisa menyalakannya lagi dan terjebak di sini sementara meteor itu menghantam kita," peringat Zirad.

"Tentu saja. Aku juga tidak mau mati."

"Kalau begitu ayo kita lakukan."

Semuanya mulai bergerak memenuhi tugasnya masing-masing. Bara dengan sekuat tenaga menarik tuas generator ke bawah. Begitu tuas itu berhasil tertarik ke bawah, di saat yang sama, lima bahtera langit kehilangan cahayanya. Lampunya serentak padam dan mesinnya mati. Bajra kini senyap. Ribuan pendemo di landasan langsung berbisik-bisik heboh melihat anomali yang terjadi pada lima bahtera di depan mereka.

Keamanan Pangkalan Garuda mulai ikut disambangi kepanikan. Mereka lekas meninggalkan landasan dan kembali menuju pangkalan. Ruang yang pertama mereka sambangi adalah ruang kendali mesin di lantai atas pangkalan. Menyadari tidak ada yang aneh di ruangan tersebut, mereka bergegas turun ke bawah. Ke ruang mesin.

Di saat yang sama, seluruh lampu di Pangkalan Garuda mati. Nuktah dan zirad berhasil mencabut kunci yang langsung mematikan daya listrik di seluruh pangkalan. Saat itulah Kamal mulai mengerjakan bagiannya. Lelaki itu dengan lihai membuka salah satu mesin dan mempreteli beberapa bagiannya.

Tepat saat semua tugas sudah selesai, pintu ruang daya baterai dibanting dari luar. Pintu itu terbuka memperlihatkan dua penjaga pangkalan.

"Apa yang kalian lakukan?!"

"Kamal, ayo!" seru Bara memperingatkan Kamal.

Kamal menyudahi pekerjaannya dan langsung melarikan diri bersama Bara. Mereka berlarian di atas besi-besi penyangga kemudian turun ke bawah. Dua penjaga itu mengikuti mereka dengan tak kalah gesit. Keduanya terkepung di lorong jembatan besi yang menjadi satu-satunya jalan keluar.

"Sialan!" Bara mengumpat kesal.

"Mau bagaimana lagi? Nikmati saja selagi bisa menghajar mereka." Kamal menyeringai bersemangat dan maju lebih dulu untuk menyerang.

Bara tak punya pilihan selain ikut menerjang salah satu penjaga. Kamal melayangkan banyak pukulan dengan semangat yang terlampau kentara. Ia sudah lama menunggu kesempatan untuk menghajar tirani-tirani itu. Pada kesempatan kali ini, ia benar-benar tidak menyia-nyiakannya.

Bara menyerang dengan lebih tenang. Yang ada dipikirannya saat ini bukanlah melampiaskan emosi. Melainkan mencari cara agar pergulatan ini cepat selesai. Setelah berkali-kali hanya melakukan gerakan bertahan, Bara pun mulai menyerang begitu melihat kesempatan. Tak tanggung-tanggung, ia melayangkan pukulan kencang langsung ke area fatal. Si penjaga jatuh tak sadarkan diri kemudian. Penjaga satu lagi menyusul setelahnya.

Keduanya bergegas meninggalkan ruangan mesin. Mereka bertemu kembali dengan Nuktah dan Zirad tepat di luar ruangan mesin. Sekumpulan penjaga yang melihat keempatnya keluar dari sana lantas berbondong-bondong menghampiri hendak menangkap mereka.

"Lari!" seru Nuktah.

Lantas keempatnya bergegas lari ke landasan. Belum sampai pintu, Kamal dan Zirad sudah tersusul oleh sekumpulan penjaga itu. Mereka dibekuk di tempat. Bara dan Nuktah yang berlari paling depan spontan berhenti.

"Pergi!" seru Kamal pada mereka. "Buat tirani congkak itu membuka pintu Bajra."

Tak punya pilihan, Bara dan Nuktah terpaksa meninggalkan dua rekannya. Keduanya berlari sekuat tenaga untuk mencapai landasan. Di belakang mereka, gerombolan penjaga pangkalan berusaha mengejar. Derap sepatu yang terdengar heboh dan memburu menyita perhatian orang-orang yang tengah berdemo. Pemimpin demo sigap membaca keadaan dan langsung berseru, "Tahan para penjaga itu! Jangan sampai mereka menangkap kawan kita!"

Melalui komando sang pemimpin demo, para pendemo serentak menerjang gerombolan penjaga. Berkatnya, Bara dan Nuktah dapat sampai ke barisan depan lebih cepat.

Bara mengambil pengeras suara dari tangan pemimpin demo. Ia berseru ke arah Bajra. "Kami bicara padamu wahai para elit brengsek di dalam! Kalian mungkin sudah tahu apa yang terjadi. Jadi tidak usah bertele-tele lagi, buka pintunya! Biarkan kami masuk lalu akan kami nyalakan kembali mesin mengisi daya baterai Bajra."

"Bukan pintunya! Buka pintunya!"

Para pendemo di sekitarnya ikut berseru. Seruan-seruan mereka kali ini nampaknya mampu menembus dinding Bajra yang tebal dan tak bercela. Salah satu bagian tingkap di dinding atas Bajra terbuka ke atas. Lalu muncul tirani-tirani berkulit pucat, berambut pirang yang dibalut sutera-sutera mereka.

Nuktah yang sudah lama ingin berhadapan dengan mereka spontan merebut pengeras suara dari tangan Bara. "Keluar juga kau cecunguk sial! Buka pintunya! Atau kalian ikut mati bersama kami di tanah Nusabang yang kalian hancurkan!"

"Serahkan dulu kunci yang ada di tanganmu itu, lalu kami akan membiarkan kalian masuk."

Salah satu dari tirani itu merespon. Nampaknya melihat kunci utama untuk menyalakan listrik ada di tangan Nuktah. Nuktah melirik kunci di tangannya. Bibirnya tersenyum sinis. "Ambil saja jika kau mau. Tapi meski kau berhasil menyalakan listrik pangkalan sekalipun, generator pengisi daya tidak akan bisa menyala. Kau tahu kami teknisinya 'kan? Hanya kami yang bisa memperbaiki mesin itu. Sekarang buka pintu bahtera itu brengsek sial!"

Nuktah berpikir para tirani itu akan gentar mengetahui bahwa mereka juga akan terjebak di Nusabang. Namun yang tak diduga-duga, justru tirani itu mengembangkan senyum aneh. Perlahan senyum itu berubah menjadi gelak tawa memuakkan.

"Kalian ternyata sudah pintar, ya. Tapi apa kalian yakin kami tidak bisa menyalakan mesin Bajra hanya karena kalian merusak generatornya?"

Alis Bara berkerut bingung. "Apa?"

Sejurus kemudian, Bajra yang semula senyap mulai mengeluarkan suara dengung bak mesinnya menyala. Rupanya benar saja. Tidak lama berselang lampu-lampu Bajra mulai menyala kembali. Bara dan Nuktah membelalak, begitu juga dengan gerombolan pendemo yang mulai kehilangan harapan di wajah mereka.

"Apa? Bagaimana bisa?!" tanya Nuktah keheranan sekaligus kesal.

Tirani itu tertawa sinis. "Kalian pikir kami tidak mengira kalian akan begini? Asal kalian tahu saja, baterai Bajra sudah lama penuh. Bahkan sebelum kalian berhasil masuk ke landasan ini. Kami sebenarnya sedang menunggu baterai cadangan terisi penuh. Namun tanpa baterai cadangan pun, Bajra akan tetap bertahan hingga ratusan tahun ke depan. Sampai saat itu, bumi akan kembali pulih dan kami akan turun untuk menguasai tanah ini lagi. Sementara kalian, hanya akan mati di bawah sini. Hahahaha ...."

Bara mengepalkan tangannya kuat. Ia benar-benar sudah habis kesabaran. "Cepat buka pintunya! Buka pintunya, sialan! Kami berhak menaiki Bajra! Kami yang membangunnya dengan tangan dan keringat kami! Buka pintunya!"

"Sepertinya, ini waktunya kami untuk berangkat." Dengungan mesin Bajra semakin kencang. Baling-baling raksasa di atas bahtera itu mulai berputar cepat. Perlahan tubuh Bajra terangkat ke udara. "Selamat tinggal."

Gerungan putus asa, Isak tangis, umpatan-umpatan kasar mulai terdengar memenuhi udara. Khalayak massa kian kalang kabut, menciptakan hiruk-pikuk kegelisahan. Wajah Bara memerah marah. Jantungnya berdetak kencang melihat semua usaha yang telah ia lakukan hanya membuahkan kemalangan. Ia berlari, ke bawah Bajra yang semakin meninggi. Meneriakkan dengan berang semua umpatan yang ia tahu, menyuruh mereka untuk kembali turun meski ia tahu mereka tidak akan mendengar. Meski ia tahu semua itu sia-sia.

"Bara!"

Nuktah menyusul Bara.

"Sialan!" teriak Bara kencang. "Pada akhirnya selalu kita yang kalah. Selalu kita yang terinjak-injak! Pada akhirnya semesta tidak pernah berpihak pada kaum lemah seperti kita!"

Bara terisak. Hatinya patah. Harapannya sirna. Ia hancur sampai tidak lagi bersisa. Terkoyak habis semangatnya hingga padam dan binasa. Sia-sia belaka semua yang telah ia lakukan. Nyatanya, hanya khianat yang ia dapatkan. Semesta mengkhianatinya dengan cara yang teramat kejam. Pada akhirnya, keadilan memang tidak pernah berpihak pada yang lebih lemah. Keadilan hanyalah omong kosong—

"Bara lihat!" seru Nuktah tiba-tiba. "Semesta berpihak pada kita."

Bara menengadah ke hamparan nabastala. Barang kali semesta dan kebesarannya mulai bergerak. Mungkin inilah bentuknya. Tepat di atas kepala mereka, di atas Bajra yang tengah mengudara dengan agung, batu meteor pertama sudah terlihat di atas awan. Menara jam masih memiliki kesempatan berdetak sebanyak tiga kali lagi, namun rupanya batu langit maha besar itu memilih sampai pada pelukan bumi lebih awal dari yang diperkirakan.

Semua mata memandang ke atas. Memandang pada kiamat yang sudah sampai di depan wajah mereka. Selama beberapa saat, hanya ada keheningan. Semua terpana pada apa yang datang ke arah mereka.

"Kiamat sudah datang," gumam Bara kecil. Tubuhnya bergetar ketakutan. Namun entah mengapa, ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari meteor di atas kepalanya. Layaknya terhipnotis, ia merasa tidak perlu kabur. Anomali perasaan itu melingkupi dirinya hingga ia tak lagi merasa takut. Alih-alih, ia merasa ... damai.

Kesunyian akhirnya pecah tatkala meteor itu menghantam dua Bajra sekaligus. Membawanya jatuh. Ledakan hebat memekakkan telinga. Langit dengan cepat dihiasi api dan asap. Detik itu juga, orang-orang di landasan mulai disambangi kepanikan luar biasa. Mereka mulai berlarian. Kerumunan manusia pecah saat orang-orang mulai meninggalkan landasan. Teriakkan ketakutan, Isak tangis kian lantang terdengar.

Namun Bara dan Nuktah terpaku abadi pada kesunyian mereka.

Saat-saat langit meledak seperti bunga api raksasa. Saat-saat ribuan batu angkasa mulai memasuki atmosfer bumi. Menciptakan pemandangan hujan meteor yang nyatanya ... nyatanya terlihat sangat indah.

"Kelihatannya tidak terlalu buruk," gumam Nuktah.

"Ya."

"Inilah kematian kita."

"Ya, inilah kematian kita."

Kematian yang datang oleh kiamat yang telah menghantui mereka hingga mati-matian berusaha kabur dari Nusabang yang katanya akan binasa. Namun pada akhirnya, inilah takdir yang harus dipenuhi. Inilah akhir yang semesta inginkan.

Tatkala satu persatu meteor mulai jatuh menghantam tanah Nusabang, dan lima Bajra yang dulu kokoh genap karam ke Laut Banda. Bara dan Nuktah saling bergandengan tangan. Saling meremas erat, memberikan kekuatan melalui tautan itu. Lalu berpasrah keduanya pada semesta dan kehendaknya.

Inilah akhirnya, baginya dan semua pribumi yang mendiami tanah Nusabang. Lahir dan mati di sana. Di tanah mereka yang dirusak oleh tirani anggak. Inilah akhirnya. Kala bumi meledak, samudera bergejolak, dan mulai hancur oleh gempuran-gempuran. Bara dan Nuktah menarik napas terakhir mereka, lalu memejamkan mata.

Menyambut kematian yang sudah digaris dan dinanti.

End

◇ ○ ◇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro