Melati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Penulis: Aesyzen-x
Keyword: Manuju, Hari, Ini, Melati

◇○◇

Aku muncul begitu saja. Dengan tubuh berselimut kain putih panjang, rambut hitam tergerai, di tengah-tengah hutan dan bebatuan. Warna-warni abstrak yang kulihat hanya berlangsung sejenak, sebab otakku mulai beradaptasi dengan cahaya dan menampakkan warna yang sebenarnya.

Celingukan dan ketakutan adalah hal pertama yang kulakukan begitu tercipta. Tak ada seorang pun yang bisa kutanyai bagaimana caraku mewujud, karena aku memang sendirian di sini. Yang terakhir kuingat hanyalah ruang hampa, segalanya gelap dan aku tak mampu menggerakkan anggota tubuhku seperti sekarang.

Beberapa saat aku hanya mematung seperti orang bodoh—memang bodoh—sebelum sorot cahaya menyiramku di bawah langit yang semakin rebah intensitas cahayanya. Sebuah benda ajaib, matahari buatan barang kali, ada di genggaman makhluk yang wujudnya mirip denganku, dan dia bisa berbicara!

Untuk sesaat aku benar-benar tidak paham apa yang dia katakan. Rambutnya cepak belah samping, tertiup angin dingin, dia hanya menjerit—begitulah yang kudengar. Namun, setelahnya aku mulai memahami apa yang dia ucapkan.

"Halo? Halo! Bisa mendengarku? Apa kau tersesat?" katanya, rambut tipis di atas bola matanya bergerak risih. Kemudian matahari buatan dari tangannya kembali menyorotiku.

Sesaat, tubuhku meringsek mundur. Apa dia berbahaya? Kenapa bentuk kami sama? Tidak, ada perbedaan di antara kami. Aku memiliki daging lebih di dada, dia tidak memilikinya. Rambutku juga lebih panjang, miliknya lebih pendek.

Kami terjebak hening, sebelum dia mendekat lagi dan aku diam saja kala digeret keluar dari pohon-pohon besar nan tinggi. Omong-omong, aku sungguhan digeret, sebab aku tak mengerti bagaimana cara mengoperasikan dua tulang berbalut daging di bagian bawah tubuhku.

Bagian belakangku merasakan sensasi sakit sejak dedaunan yang menjadi alas kami berpijak mulai menipis dan hilang digantikan bebatuan kecil. Namun, sekali lagi aku tidak tahu harus berbuat apa karena segalanya terasa begitu baru untukku.

"Nah, karena sudah malam dan kau bisa dimakan Gracilis ...." Dia berhenti bicara, menatap susunan pohon yang sudah dipotong dan dibentuk persegi. "Ini rumahku. Kau bisa menetap semalam."

Kutatap bentuk tiga dimensi itu berkali-kali. Limas segitiga di bagian atas, kubus di bagian bawah. Ada tabung-tabung kecil dan beberapa bentuk abstrak di sekitar benda yang dia panggil 'rumah'.

"Siapa namamu?" tanyanya sambil merendah di hadapanku.

Astaga aku melupakan siapa namaku. Elektron? Proton? Neutron? Supernova? Komet?

Makhluk di depanku mengeluarkan suara lenguhan panjang, lalu menyeretku lagi masuk ke dalam kubus dari pohon. "Oke, aku tidak tau apakah kau ini bisu atau tidak. Jadi akan kupanggil kau Melati—sebab bajumu putih dan entah bagaimana caranya kau wangi di tengah rimba."

Beberapa saat, dia meninggalkanku. Rupanya dia paham aku belum bisa bicara. Beberapa saat, dia berdiri termenung. Rupanya dia berpikir aku ini sebenarnya apa. Beberapa saat, dia kembali padaku. Dia bertanya, "Apa kau baru lahir hari ini?"

Tanpa alasan, bagian paling atas tubuhku (kepala) terayun ke atas dan ke bawah.

Kemudian, mulailah dia mengajariku. "Ini kepala." Dia menunjuk bagian tubuh yang paling banyak rambutnya. "Ini tangan, badan, kaki, jari—" Satu-satu dia tunjukkan bagian tubuh. Saat langit benar-benar gelap, kami tidak lagi main tunjuk-tunjukan.

"Namaku Asoka."

Asoka.

"Namaku ... Melati." Percayalah, aku mulai terbiasa. Mendengarnya banyak bicara membuat otakku belajar perlahan-lahan.

Hingga cahaya pertama dari puncak pohon muncul, aku hampir persis seperti Asoka. Dia bilang aku ini perempuan, dan dia laki-laki. Yang bersinar di langit itu matahari. Aku bahkan sudah bisa berjalan, merangkak, berguling, melompat, dalam satu malam—rupanya aku tidak sebodoh itu untuk belajar banyak hal.

Lelaki itu mengajariku banyak hal, berburu, meramu, membuat kerajinan tangan dari tanah liat, memahat batu, dan membuat api. Itu seperti matahari yang ada di genggaman tanganku.

Hari demi hari berlalu, bola gas itu terbit dan terbenam selisih berganti. Namun, kepalaku mulai bertanya-tanya apakah hanya kami manusia yang ada di sini? Maksudku, saat berburu aku selalu melihat kawanan Brontosaur main di danau atau teluk. Banyak jumlahnya, kami juga melihat yang berukuran kecil.

Asoka tak pernah menyebutkan tentang manusia lebih jauh saat kutanya. "Hanya kita berdua? Apa sebelumnya kau sendirian?" tanyaku suatu hari, dan dia mengabaikanku. "Hei, kau yang menjariku kalau pertanyaan harus dijawab. Kenapa kau diam saja?"

Tangan kanannya membawa kapak perimbas, sementara yang satunya lagi menyeret bangkai anak Ceratopsian. "Iya. Hanya aku sendiri. Kenapa? Kau takut sekarang?" Asoka menoleh, tatapannya jadi tajam seperti senjata runcingnya.

Aku menggeleng. Aku tidak pernah mengenal manusia selain Asoka, atau pernah tahu adanya spesies sejenis kami. Hanya Asoka, dan dia tak pernah melepas pandangan dariku. Kami selalu menempel, di manapun, kapan pun, sekalipun saat aku memanjat pohon sendirian.

"Aku sudah hidup, jauh sebelum kau muncul," katanya, duduk di sebelahku, di atas dahan pohon. "Makanya aku senang saat kau datang." Dia tersenyum, menyelimuti tanganku dengan dua telapak tangannya.

Sebenarnya dia baik. Asoka hanya senang diam dan banyak bergerak. Menjelaskan hal-hal singkat dan jelas. Usai dia mengajariku dasar-dasar cara hidup, banyak hal yang tiba-tiba masuk ke pikiranku. Kami ini manusia, Gracilis, Brontosaur, dan Ceratopsian yang dimaksudnya adalah salah satu jenis hewan bernama dinosaurus. Itu artinya kami masih berada di zaman pra-aksara. Dunia ini belum mengenal tulisan.

"Aku ... tercipta dari bintang," desisku tanpa sadar. "Namaku Caffau." Dan kalau sejak awal aku mengenal elektron, proton, dan neutron, itu artinya aku pernah singgah di abad ke-20. Tunggu, sebenarnya aku ini apa?!

"Kau kenapa, Melati?" Asoka menggeser duduknya, melonggokkan kepala demi menatap mataku.

"Tahun berapa ini?"

Keningnya berkerut. "Tahun?"

Sudah kuduga! Baiklah, mari kita luruskan dari awal. Aku adalah bintang jatuh, sungguh ingatanku tentang ruang hampa itu benar adanya, tetapi entah bagaimana sebagian memori dalam otakku mendapat gambaran miliaran tahun ke depan. Tentang punahnya dinosaurus, kemunculan manusia purba, revolusi, hingga terciptanya satuan tahunan.

Yang aneh di sini adalah aku dan Asoka. Kami manusia yang seharusnya terpisah lumayan jauh dari masa kejayaan dinosaurus. Ini tidak masuk akal! Ini anomali, kesalahan, di dunia mana aku berpijak sekarang?

Begini urutannya yang ada di kepalaku. Big bang, terbentuknya semesta, terciptanya printilan-printilan seperti planet, nah salah satunya Bumi. Kemudian ledakan kambrium, membuat Bumi memiliki kehidupan, termasuk dinosaurus. Setelah hewan itu punah, barulah manusia purba muncul. Yang memiliki kapak perimbas, mengetahui teknik berburu-meramu, dan mampu membuat api, itu sudah jauh dari zaman kepunahan dinosaurus.

"Melati?"

Namun, kalau faktanya aku dan Asoka hadir di sini, bersamaan dengan dinosaurus, maka katakanlah ini sebuah anomali. Keajaiban ini mengerikan. Kalau begitu aku harus menemukan cara supaya kami bisa selamat dari—

Mataku melirik ke arah lain. Cahaya terang datang dari langit. Awalnya satu, lalu yang lain menyusul.

"Hujan meteor!" pekikku.

Masih banyak yang ingin kutanyakan pada pemuda itu. Tentang namaku, kehidupan sekarang, interaksi sosial, dan sudah kubilang banyak sekali. Namun, ini bukan saat yang tepat.

Kutarik tangannya dan lari menjauh setelah melompat dari pokon. Asoka mulai menyadari apa yang terjadi. Ya, inilah penyebab punahnya dinosaurus, hujan meteor, pendinginan bumi, surutnya permukaan laut, hingga kabut tebal yang menghalangi cahaya matahari hingga tumbuhan tak mampu berfotosintesis.

Bodohnya aku. Sejauh apapun kami berlari, nasib akan sama saja. Bumi di ambang kemusnahan massal. Termasuk aku dan Asoka. Kueratkan genggaman tanganku, memeluknya untuk pertama dan terakhir kali di zaman mesozoikum, sebelum dunia kami menggelinding dan jatuh lantas ditimpa meteor.

Nah, begitulah kami mati.

◇○◇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro