Bab 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa?"

Apa? Wajah Taehyung sangat mewakili satu kata penuh tanda tanya itu. Beberapa saat lalu, Yoo Hamin telah dijemput pulang. Rasanya, apartemen ini menjadi sepi lagi tanpa dia. Aku cukup bersedih dan agak terbawa perasaan. Dan kabar baiknya, entah kesambet apa, tiba-tiba saja Taehyung menanyakan apa yang aku inginkan. Bukan, bukan semacam romantisme picisan antara suami-istri di saat sang istri berulang tahun. Ya, ini karena hasil banting tulangku yang sukses membuatnya terpukau.

"Kau minta kita adopsi anak itu sebagai reward-mu?"

Aku mengangguk. Rumah tangga yang tak bernyawa ini untuk pertama kalinya diselimuti atmosfer tegang. Petir di luar menyambar-nyambar. Suara hujan kembali berkumandang. Aku menggigil kedinginan sembari menunggu jawaban pasti dari pria ini.

"Tidak. Aku lebih baik menerima tawaran penundaan proses perceraian itu daripada harus mengadopsi anak. Apa yang kau pikirkan? Gila."

"Kenapa? Bukannya kau menyukai Hamin?"

Taehyung menatapku balik dengan sorot yang selalu tegas. Bahkan lebih tajam lagi.

"Aku menggendongnya, aku mandi dengannya, itu semata-mata-"

"Sudahlah! Pokoknya aku tidak akan setuju. Cari permintaan yang lain saja."

Aku sudah menduga. Si "Tuan Seenaknya" ini akan menolakku. Baiklah, tidak masalah. Saatnya mengeluarkan plan B.

"Oke, kalau begitu, tolong jangan bercerai denganku."

"Kau semakin melunjak! Bukankah kau cuma mau menunda perceraian saja? Sesuai dengan kesepakatan pertamamu!"

"Iya ... tadinya. Tapi aku berubah pikiran. Lagi pula, tujuanku memperpanjang waktu penundaan kan juga untuk membuatmu membatalkan perceraiannya."

Taehyung menegakkan tubuhnya, ia berkacak pinggang. Keningnya berkerut ketika mendengar omonganku. Sudah menjadi kebiasaannya mengerutkan dahi ketika ia merasa kesal pada orang lain. Aku mulai mengamatinya akhir-akhir ini.

Belum ada jawaban meskipun suara hujan menguasai seisi ruangan. Aku khawatir kalau-kalau pembicaraan kami terganggu suara air yang deras. Gemuruh lagi-lagi terdengar.

"Aku perpanjang penundaan perceraian kita, 2 minggu. 2 minggu cukup. Jangan membantah keputusanku."

Pria itu pun melarikan diri. Berjalan cepat menuju kamarnya, meninggalkanku dengan kemarahan yang memuncak di dada. Apa-apaan? Katanya ia akan mengabulkan permintaanku. Bagaimana pun juga ujung-ujungnya reward-ku tetap diputuskan olehnya. Sangat tidak adil. Memangnya dia Hitler?

Sudah mendekati satu bulan aku membuang waktuku di tubuh Sohyun. Masih belum ada perkembangan dan itu memaksaku berpikir keras. Gelisah setiap waktu. Akan sampai kapan kah aku terjebak di sini? Apa aku juga akan meninggal di tubuh ini suatu hari nanti?

Tidak. Pokoknya aku harus secepatnya mengakhiri ini semua. Aku harus memastikan agar Taehyung menyukai Sohyun dan agar Hamin memperoleh keluarga yang hangat. Aku tidak mau jika meninggalkannya bersama Seokjin. Sangat tidak sudi. Tidak masalah jika hanya Bibi yang merawatnya, tetapi ... Bibi sudah tua. Aku tak tega merepotkannya. Makanya aku sempat berniat untuk mengadopsi Hamin bersama Taehyung, karena aku rasa pria itu sedikit suka pada anak-anak. Rupanya aku salah paham.

Kenapa pria ini mengingatkanku pada wolverine? Hewan soliter paling menyendiri, yang akan menggunakan kuku dan giginya yang tajam untuk mengusir makhluk hidup lain di sekitarnya. Apa ia pikir apartemen ini adalah Hutan Alaska? Tempatnya biasa berkeliaran dan mencari makan sendirian, daerah teritorialnya mutlak.

Tidak. Aku tidak mau keluar dari apartemen ini. Aku harus mengubahnya agar dia menyukaiku. Itu satu-satunya caraku bertahan dan kembali ke asalku.

***

Pekerjaan berat sekali lagi menghampiriku, menjadi rutinitasku. Berbeda dari sebelumnya, aku merasa syuting hari ini sangatlah menyenangkan. Orang-orang menghargai keberadaanku, mereka dengan cepat akrab padaku. Bahkan terang-terangan ada yang mulai mendekatiku. Sepertinya ia tertarik padaku.

Oh tidak! Hidungku pasti langsung memanjang seperti Pinokio.

"Jadi ... apa malam ini kau ada acara?"

Lihat, Kim Taehyung! Aku bisa menggoda laki-laki lain. Kau saja yang nggak punya gairah sama wanita. Pria tidak normal.

"Ma-af, Senior. Sebenarnya ... saya sud-"

"Sohyun, awas!"

Suara pecahan kaca diiringi oleh pencahayaan yang padam. Semua orang menjerit khawatir. Kepalaku berdenyut, ketika kusentuh, cairan merah kental mengucur bebas dari sana. Pandanganku memburam. Satu-satunya yang kuingat adalah wajah rekan kerjaku yang panik ketakutan. Hingga akhirnya aku ambruk dan tak sadarkan diri.

Benar, ini bukan hal yang baru lagi. Aku pernah merasakannya. Kegelapan yang menerkam secara tiba-tiba. Rasa sepi, bahkan ketika aku menyebut nama orang yang kukenali satu per satu, mereka tidak akan menyahut. Cahaya datang dari arah depan. Aku mengingatnya di mimpiku. Tempat ini, tempat Park Jinyoung menggantung diri. Kenapa? Kenapa aku harus kembali lagi ke mimpi buruk yang sangat ingin kulupakan?

Terdengar suara langkah kaki. Mendekat ke arahku dalam tempo lambat. Anehnya, kepalaku sama sekali tak bisa digerakkan. Aku merasakan seseorang berdiri di belakangku. Aku berharap bisa melihat siapa yang datang, namun ada sesuatu yang menahan pergerakanku. Aku terduduk seperti patung. Aku melirik ke depan, ada mayat Jinyoung yang masih tergantung di sana. Air mataku keluar dengan sendirinya. Tubuhku mendadak gemetar hebat. Ada rasa marah, sedih, kecewa ... entahlah.

"Kau membunuhnya. Pacarmu yang tidak bersalah. Semua gara-gara kau. Jinyoung mati gara-gara kau."

Perkataan itu seolah menikamku dari belakang. Hatiku hancur mendengarnya. Air mata mengalir semakin deras, aku tidak mengerti apa maksudnya. Kenapa aku menjadi makin sedih dan kecewa?

Bibirku, berkali-kali aku ingin membukanya. Siapa dia? Seperti tercekik, suara tidak mau muncul dari tenggorokanku. Ini sungguh menyiksa! Aku penasaran siapa dia dan kenapa dia menuduhku atas kejadian ini?

Akhirnya tubuhku bisa digerakkan. Secepat kilat aku membalikkan badan dan pemandangan tiba-tiba bertransisi. Aku berada di suatu tempat yang ramai orang. Musik melantun bising, menjelma menjadi sebuah distorsi yang mengoyak telinga. Kepalaku terasa berat. Beberapa gelas minuman tersaji di depanku, dan itu kosong semua.

"Kenapa? Apa kau pusing? Kau mabuk?"

"Ini baru gelasmu yang ketiga. Kau ingin melupakan masalahmu kan?"

Sebuah tangan menyodorkanku segelas minuman yang baru dituang dari botolnya. Kalimat orang itu secara ajaib membuatku tersugesti. Ada rasa percaya yang besar di dalam hati, tetapi kekesalan akan kehilangan orang tersayang ikut mengobrak-abrikku perasaanku. Sehingga ... kepercayaan itu perlahan semakin bias.

Pandangan mataku memburam. Dan ketika aku membukanya lagi, seluruh tubuhku terasa sakit. Aku sudah berbaring di tempat tidur dengan seorang laki-laki di sampingku. Aku melihat pakaianku berceceran di lantai. Aku terkejut. Terlebih, saat aku menyadari ada darah yang menempel di kasur ketika aku membuka selimut. Tindakanku membangunkan seseorang yang tadinya tertidur pulas.

"Kau sengaja menjebakku kan?"

Suara beratnya yang terasa dingin itu sukses mencabik-cabik harga diriku. Laki-laki itu duduk mensejajariku, ia telanjang sama sepertiku. Rambutnya terkesan acak-acakan. Tetapi aku meyakini satu hal, dia adalah laki-laki paling tampan yang pernah aku temui. Hidungnya yang mancung menjadi poin utama ketika aku meneliti profil wajahnya dari samping.

"Aku selalu berhasil menghindar dari para wanita murahan. Tapi aku tidak menyangka, kau satu-satunya yang berhasil."

"Kau sungguh tidak punya harga diri. Wanita paling murahan di antara wanita-wanita yang ada di rumah bordil. Katakan, kau butuh berapa uang?"

Percakapan terakhirnya terus terngiang-ngiang di kepalaku. Aku tidak sadar. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa menangis tersedu-sedu setelah itu. Aku menelungkupkan badanku di dalam selimut. Mencoba memahami sesuatu tetapi rasanya aku terlalu sakit hati sampai-sampai tidak bisa berpikir jernih. Aku kehabisan kata-kata saat lembaran uang dalam jumlah banyak berhamburan menjatuhi tubuhku.

Pria itu dengan jelas mengatakan bahwa aku harus melupakan ini semua dan agar aku berpura-pura tidak mengenali mukanya.

Suara tangisku semakin kencang seakan pita suaraku nyaris rusak. Aku membuka mata, sekali lagi berada di tempat yang berbeda. Kini sebuah gaun pengantin sederhana membalut tubuhku. Seseorang menyematkan cincin pernikahan di jari manisku. Ini suasana pernikahan, namun kenapa menjadi seperti suasana berkabung?

Sunyi. Hanya ada suara pendeta yang merestui pernikahan ini. Aku memberanikan diri mengedarkan pandangan. Tidak ada tamu, hanya terdapat beberapa orang tua berdiri. Satu pasangan menatapku penuh benci. Seorang lelaki paruh baya menunjukkan sikap yang sama. Hanya ada wajah seorang ibu-ibu yang melirikku iba. Matanya juga berkaca-kaca. Sementara, aku tak bisa melihat satu orang yang lainnya karena ia berada jauh dari jangkauan mataku.

"Ingat, pernikahan ini terjadi karena kau mengandung bayi itu. Jangan pernah berharap lebih. Karena ketika dia lahir, maka aku akan mencampakkanmu."

Tanganku gemetar. Aku mendongakkan wajahku dan seperti yang kuduga. Laki-laki itu adalah Kim Taehyung. Tatapannya masih sama, ia membenciku. Selalu begitu. Tidak ada suasana romantis di momen yang harusnya membahagiakan. Pikiranku mulai kosong. Dan aku mulai sadar, inilah awal dari segalanya. Segala penderitaanku di pernikahan yang sudah seperti neraka.

Aku terjebak di lubang penyiksaan. Jiwaku menghilang. Hanya tubuh ini yang masih bisa berdiri lemah. Setelahnya, aku bahkan tidak bisa mengenali siapa aku, jati diriku, karakterku. Yang tersisa hanyalah trauma akan menyaksikan kematian Park Jinyoung-mantan pacar yang sangat kucintai.

Karena ... kupikir aku telah membunuhnya.

***

"Sohyun? Kau sudah siuman?"

Aku merintih kesakitan. Di mana aku? Kepalaku terasa nyeri untuk digerakkan. Membuka mata dengan benar saja aku tidak sanggup. Seseorang menggenggam tanganku sementara yang lain buru-buru memanggil dokter.

"Aku ... di ... mana?" tanyaku lemas.

"Sohyun, kau di rumah sakit. Tadi sebuah lighting menimpamu di tempat syuting. Kami panik saat kau pingsan dan kepalamu mengeluarkan banyak darah."

Aku menggerakkan lenganku. Jemariku menggerayangi sumber rasa nyeri itu. Dan kepalaku tahu-tahu sudah diperban.

"Sohyun, kau baik-baik saja?"

"Aku mengingatmu," ucapku singkat.

Pandanganku yang kabur, perlahan-lahan mulai fokus. Seorang wanita dengan tampang yang panik muncul di depanku.

"Sohyun, apa maksudmu?"

"Aku mengingatmu, kau kakak yang selalu perhatian dan sayang kepadaku."

"Sohyun, kurasa kau perlu istirahat. Tidurlah, Dokter akan segera memeriksamu."

Aku mengingatmu.

***

Tbc

Sohyun ingat apa???

Maaf ya udah bikin kalian mikir berat malem-malem wkwk

Btw,
Selamat Hari Sabtu :)

Ujianku alhamdulillah udah selesai guys. Jadi, tunggu cerita "Decade" meluncurkan bab 1 perdananya yaw ^^ yang belum baca prolognya, buruan meluncur~

Hehe... Makasih, selamat malam :3

Wolverine tuh kayak gini ya ;)

Lu-lucu sih, tapi ... tapi ga jadi :v

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro