Bab 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah foto berbingkai hitam menarik perhatianku, berisi seorang laki-laki berpakaian kasual, berdiri berpose dua jari dengan bibir yang tersenyum lebar. Jantungku berdetak melambat seolah napasku mau terhenti. Hingga kemudian, pemilik kamar itu datang.

"Jimin, i–ini foto siapa? Apa hubunganmu dengan laki-laki yang ada di foto ini?"

Ekspresi Jimin berubah seketika mendengar pertanyaan dadakan yang kuajukan. Aku berpikir, apakah waktu itu aku salah bicara? Sebab, Jimin langsung menarik tanganku ke luar dari kamarnya. Bahkan ia mendiamiku dalam waktu yang cukup lama. Sejak hari itu, Jimin sama sekali tak mau menemuiku. Pertemuan yang kami agendakan pun jadi berantakan. Ia tak bisa dihubungi, dan aku tak mendapat jawaban atau penjelasan apapun darinya soal Park Jinyoung. Ya, foto itu adalah milik Jinyoung, mantan pacar Sohyun yang sudah meninggal.

***

Aku selalu bertanya-tanya, apa hubungan Park Jimin dengan Jinyoung? Apa mereka teman dekat? Saudara? Jika iya, mengapa Jimin sama sekali tidak muncul dalam ingatan Sohyun? Siapa sebenarnya Park Jimin itu?

Kepalaku jadi bertambah pusing. Perban masih menutupi keningku, aku berbaring di atas ranjang rumah sakit selama beberapa hari. Berita baiknya, besok aku sudah diperbolehkan pulang.

Selama dirawat, aku selalu sendirian. Cuma Kak Jisoo yang kadang-kadang menjengukku di tengah jadwal syutingnya yang padat. Aku melarang siapapun—termasuk Taehyung—untuk mengabari mamaku soal kecelakaan kecilku. Ngomong-ngomong tentang Taehyung, pria itu juga sama sekali tak pernah menengok. Aku tahu kesibukannya dalam mengurus syuting, apalagi di saat aku sedang absen begini. Tapi ini aneh. Setelah berhari-hari tidak mendatangiku, mengapa out of the blue pria ini muncul di ruang rawatku dan terus mengawasiku tanpa henti dari tempatnya duduk? Bagaimana aku bisa tidur lelap kalau ditatap terus olehnya?

"Apa yang mau kau sampaikan? Kenapa kau datang malam-malam begini dan melihatku dengan tatapan menyeramkan seperti itu?"

Aku tidak berbohong. Ini memang sudah malam. Lewat tengah malam malah. Jarum pendek jam dinding di ruanganku telah menunjuk angka satu. Sewajarnya aku—sebagai pasien—telah mengistirahatkan mataku. Tapi aku malah terus terjaga sejak dia muncul sejam yang lalu.

Taehyung tak bergeming. Posisiku memunggunginya. Aku tak tahu apa yang ia lakukan selain duduk memperhatikanku. Aku hanya mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Semakin dekat, mataku pun semakin terbuka lebar. Tangan Taehyung memegang pundakku, membalikkan tubuhku tanpa aba-aba. Telunjuknya lalu menyentuh tepat di atas perban lukaku.

"Bagaimana karyawan baru bisa mendapat luka seperti ini? Apa kau tidak malu?"

Aku mengernyitkan dahi mengetahui komentarnya. Memangnya aku begini atas kemauanku sendiri? Memangnya manusia bisa mengatur takdir mereka masing-masing? Kalau bisa pun, aku sudah pasti masih bernapas dan menjalani kehidupanku dengan tenang. Mungkin juga lelaki brengsek itu—Kim Seokjin—sudah kuputuskan dan kucampakkan terlebih dahulu. Ahh, meninggal pun aku punya banyak penyesalan hidup.

"Ck, kalau mau menyalahkan, salahkan lighting yang mendadak menimpa kepalaku dong. Aku ini korban."

"Kalau lighting bisa ngomong, kalau lighting punya otak, dia tidak akan jatuh di atas kepalamu. Jelas-jelas kau yang ceroboh, bodoh. Kau membuang-buang uangku untuk biaya jaminan kesehatan yang seharusnya tidak kukeluarkan."

Oh, jadi itu perkaranya. Lagi-lagi masalah uang, aku muak.

"Berhentilah bicara, aku pusing! Tenang saja, aku pasti ganti uangnya nanti. Aku bukan pengemis yang bisanya cuma diberi dan dikasihani. Kau bisa kuras tenagaku sesukamu, okay? Urusan kita selesai. Aku mau tidur."

Aku mengubah posisi seperti sebelumnya—memunggunginya. Aku juga menarik selimut sampai ke leherku. Entah mengapa ruangan yang sudah ber-AC ini jadi makin dingin semenjak ada Taehyung. Auranya menjadi sangat mencekam, membuatku menggigil.

Alih-alih mendengar suara pintu tertutup, aku rasa Taehyung malah merebahkan dirinya di atas sofa. Dan benar saja, laki-laki itu masih bersikeras tinggal di sini. Padahal, ia sudah kuusir secara halus. Apa pria ini tidak pernah bisa peka terhadap wanita?

"Kenapa kau tidak pulang? Kasur di apartemenmu lebih hangat dan empuk daripada sofa itu."

Taehyung yang tak menjawab apa-apa memaksaku untuk berbalik dan mengeceknya. Ya Tuhan, apa dari tadi aku bermonolog? Sebenarnya seberapa lelah pria ini sampai-sampai sudah tidak sadarkan diri dalam hitungan detik.

Ada apa? Kenapa aku merasa senang? Aku menginginkan pria itu pulang, tapi mengetahui dia masih bertahan di sini membuatku merasa nyaman.

Sungguh perasaan yang rumit.

***

Akhirnya, aku berada di mobil. Bukan taksi yang akan menagihku dengan bill berdasarkan perhitungan argometernya melainkan mobil pribadi milik suamiku, Kim Taehyung. Kok bisa aku berakhir di sini?

"Mau makan apa?"

"Kita pulang saja. Kepalaku masih berat."

Aku tidak bohong. Rasanya aku tak dapat melihat dengan benar, objek di depan mataku terus berputar-putar. Aku hanya ingin pulang dan tiduran di kamar, itu saja. Tetapi, bukan Taehyung namanya kalau ia tidak pemaksa. Kami pun sampai di sebuah restoran besar dekat rumah sakit.

Sarapan dengan hotpot?

Aku melirik jam di ponselku. Aku heran, restoran hotpot ternyata masih buka sepagi ini. Apa pemiliknya tidak tidur semalaman?

"Makan yang banyak," perintahnya.

Tapi aku tidak suka pedas. Gimana aku bisa melahap habis sup dengan kuah merah ini?

"Kau juga harus makan. Aku tak mau menghabiskannya sendirian."

Pria itu seenaknya memerintahku, mana mungkin aku bisa menghabiskan porsi sebesar ini?

Sama sepertiku, ekspresinya melihat kuah hotpot yang merah dan panas sungguh mengesankan. Tadinya aku pikir ia tidak suka pedas, tetapi akhirnya ia lahap juga menyantap makanan yang tersaji di atas meja itu.

Kami berdua makan dalam diam. Setelah habis, tak begitu lama Taehyung izin ke toilet. Ah, bukan izin seperti yang kalian bayangkan. Ia pergi dengan ancaman.

"Jangan ke mana-mana atau kau kupecat seketika kau menginjakkan kaki dari meja ini!"

Akan lebih bagus kalau dia jujur pada dirinya sendiri. Dasar. Pasti Taehyung sakit perut.

Selagi menunggu Taehyung, aku yang bosan ini memutuskan untuk melihat-lihat isi restoran. Tidak bangkit dari tempat dudukku, aku hanya mengedarkan pandangan ke sepenjuru arah. Mengamati struktur bangunan dan tata letak ruangan yang cukup minimalis. Tak banyak orang yang tampak makan di restoran. Beberapa sepertinya pegawai medis yang bekerja di rumah sakit tempatku dirawat. Hingga tatapanku tertuju pada seseorang dengan kemeja biru mudanya. Dengan mengenakan kacamata yang menghiasi wajahnya, aku mengenali Park Jimin. Orang yang menghindariku selama beberapa hari terakhir.

Aku masih butuh penjelasan.

"Park Jimin," panggilku. Jimin langsung menyadari kehadiranku. Ia terkejut namun berhasil menetralkan kembali ekspresi mukanya.

Dengan elegan, ia mengelapkan tisu ke mulutnya meski makanannya belum terlihat habis. Kali ini ia tidak menghindar. Apakah aku punya kesempatan bertanya padanya tentang Jinyoung?

"Jimin, kau tidak bisa menghindariku lagi. Katakan padaku, apa hubunganmu dengan—"

"Apa hubunganmu dengan pria ini, huh? Nyonya Kim?"

Seseorang jelas-jelas berdiri di belakangku. Aku pun merinding dibuatnya. Tak berani memastikan, aku sudah yakin siapa pria yang nongol tiba-tiba seperti hantu ini.

"Ahaha, kami hanya mengobrol biasa. Dia kenalan lamaku," jawabku kikuk.

Kenapa aku tidak jujur saja kalau Jimin adalah terapisku, ya? Bodoh sekali.

"Sejak kapan Sohyun yang selalu dijauhi orang punya teman?"

Iblis! Dia selalu ngomong tanpa perhitungan.

"Orang kesepian juga masih punya teman kok," elakku dengan memaksakan senyum di bibir.

"Bibi, berapa total makananku?"

Aku tersentak saat Jimin sudah berdiri di depan kasir dan hendak membayar sarapannya. Aku mau menyusulnya karena dia belum membalas pertanyaanku, namun sialnya tangan Taehyung menahan kerah bajuku.

"Lepaskan."

"Tidak. Kau mau kabur ke mana, huh? Kita akan pulang."

"T–tapi...."

"Tidak ada alasan. Aku harus segera kembali bekerja."

"Ya sudah, pergi saja. Kenapa mengkhawatirkanku?"

"Khawatir? Hah. Jangan terlalu percaya diri, kau berhutang budi padaku. Kalau saja kakakmu tidak sibuk dan menyuruhku untuk menjemputmu, kau pasti merangkak sampai apartemen sendirian."

Jadi dia datang karena disuruh? Aku terlalu berpikir positif padanya. Sialan.

Satu hal yang tidak kumengerti dari seorang Kim Taehyung. Aku tahu kalau dia dingin dan tidak berperasaan. Tidak pernah sedikit pun merasa peduli atau simpati kepada istrinya sendiri. Manusia paling egois yang hanya mengutamakan pekerjaan dan uang di atas segalanya. Tetapi, aku selalu merasa bahwa setiap tindakan baiknya terhadap Sohyun itu tulus. Walaupun agak menyebalkan ketika mengetahui bahwa itu dilakukan bukan atas kehendaknya sendiri. Namun, hatiku mengatakan kalau sebenarnya pria ini punya keinginan untuk datang ke rumah sakit. Hanya saja, gengsi yang tinggi menghalanginya.

Kim Taehyung, orang seperti apa kau? Kenapa aku hanya mengingat hal-hal yang kejam tentangmu?

Aku mengalihkan perhatianku ke luar jendela. Daegu selalu terlihat rindang karena beberapa pepohonan tumbuh dan dirawat di pinggir jalan. Terasa sejuk. Matahari pun telah muncul, sayang sinarnya masih tertutup oleh gedung-gedung pencakar langit yang ada di sebelah timur.

Ketika mobil kami lewat di depan sebuah klinik spa, tanpa sengaja aku melihat sosok itu. Park Jimin yang sedang berdiri menyandar pada mobilnya seolah menunggu seseorang di depan sana. Aku memfokuskan perhatianku. Dan benar saja, tak lama kemudian seseorang keluar dari dalam klinik. Seorang wanita dengan rambut lurus–panjang. Karena terhalang jarak yang cukup jauh, mataku tidak bisa menebak siapa wanita itu. Apa mungkin ... kekasihnya?

Sudahlah, Yooseul. Lagian urusan pribadi orang lain bukanlah urusanmu. Kenapa kau sangat ikut campur?

Kalau bukan karena perilaku Jimin yang mendadak aneh, aku tak mungkin sepenasaran ini.

***

Tbc

Double up yeu, silakan baca bab selanjutnya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro