Bab 28

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ingatanku akan kematian terlintas jelas. Ketika napasku berembus untuk terakhir kalinya, ketika jantungku berdetak semakin pelan hingga tak mengeluarkan suara, ketika mataku terasa sangat lelah dan mengantuk hingga terpejam untuk selama-lamanya. Aku tidak ingin mengalami hal itu lagi! Disaat Jisoo memergoki rencanaku dan berhasil menemukan alat perekam suara di tasnya, saat itu pula kedua tangannya langsung mencekikku.

Tak sedetikpun ia biarkan aku untuk berbicara. Tenggorokanku terasa sempit, aku tak dapat bernapas lega. Paru-paruku terasa kering, hanya sorot tajam Jisoo yang mengancam keberanianku, menghadirkan rasa takut yang tak tertandingi. Aku bersusah payah melepas jari-jemarinya yang berkuku tajam itu melukai kulit leherku. Namun, ia sangat kuat, sama seperti kebenciannya terhadap Sohyun.

"Kughh!"

"Kenapa kau tidak mati saja dan biarkan aku hidup bahagia? Kenapa kau selalu mendapat apa yang kau mau? Kenapa aku tidak bisa sepertimu yang diperhatikan oleh orang-orang?"

"K—kak!"

Suaraku tidak mau muncul. Jisoo kehilangan akal sehatnya, jika tak ada seseorang yang menghentikannya, maka aku benar-benar akan mati di sini!

"Ugh, mati saja kauu!"

Sakit. Kupikir orang yang pernah mengalami kematian tidak akan takut kehilangan nyawa. Namun faktanya, itulah yang terjadi padaku. Aku hidup, aku menjadi manusia. Tentu saja aku bisa merasakan sakit. Tanpa sadar, tetesan darah mengalir menuruni leherku. Mengotori pakaianku.

Aku mulai pasrah bila harus gagal menyelesaikan misi ini. Setidaknya, aku berhasil memberitahu dan meyakinkan Taehyung bahwa penderitaan Sohyun semua berawal dari wanita ini. Benar. Kim Taehyung, apakah aku mati tanpa berpamitan dan berterima kasih padanya? Aku belum mengucapkan salam terakhirku sekaligus pesanku padanya untuk menjaga Hamin dengan baik. Aku tidak boleh mati begini! Tidak ditangan wanita ini!

Dengan sisa keberanian yang kumiliki, aku mendorong kuat-kuat tubuhnya. Tangan Jisoo terlepas dari leherku, aku terbatuk-batuk. Aku meraup udara sebanyak-banyaknya, pernapasanku terasa lebih lega.

"Bukan begini cara Kakak melampiaskan rasa marah! Kakak tidak perlu membunuhku, kenapa harus dengan cara seperti ini? Kak, kita dulu sangat dekat, namun hanya karena permasalahan sepele, kau tega menyakiti adikmu sendiri?"

"Dekat? Ya, setelah tahu kau memanfaatkan posisiku untuk menyadarkan orang lain akan kesempurnaanmu, aku tidak merasa selama ini kau benar-benar baik padaku. Katakan, kau cuma pura-pura, iya kan?!"

Apa selama ini bagi Jisoo, kebersamaannya dengan Sohyun tidak berarti apa-apa? Masa kecil yang mereka lalui, kasih sayang satu sama lain, itu juga tidak menyentuh perasaannya? Sohyun, kebaikanmu justru disalahartikan. Aku makin kasihan padamu. Seharusnya kau tidak memiliki kakak berhati iblis sepertinya.

"Karena kau sudah mengingat semuanya, percuma aku memasang senyumku dan pura-pura baik padamu. Kau ke sini pasti untuk mengantarkan nyawamu, kan?" Jisoo tersenyum lebar. Tiba-tiba tertawa seperti orang sakit jiwa.

"Kau memang adik yang baik, makanya, pergilah dengan tenang. Aku akan membantumu, percaya padaku. Ini tidak akan sakit."

Lagi-lagi Jisoo mencoba untuk membunuhku. Bukan dengan tangan kosong, ia meraih pisau buah yang tergeletak di dekatnya.

"Jika pisau ini kutancapkan tepat di jantungmu, kau akan langsung mati kan? Dengan begitu, kau tidak perlu kesakitan."

Gila, dia sungguh-sungguh ingin menghabisi nyawa adiknya! Tidak heran, memang ada yang tidak beres dengan akal sehatnya. Dia mencoba membunuh Sohyun sebanyak dua kali. Aku berpikiran untuk kabur, tetapi kedua kakiku tidak mau bergerak sesuai kemauan.

"Kenapa kau diam saja? Kau tidak mau melawanku? Kau sudah menyerah?"

Aku melangkah dan meraba-rabakan tanganku ke belakang. Aku tidak bisa menatap ke arah lain, jika aku teledor sedikit saja, bisa-bisa pisau itu sudah menancap entah di bagian tubuh yang mana. Aku tidak dapat mengalihkan pandanganku dari Jisoo meskipun hanya sekejap.

"Ucapkan selamat tinggal, adikku tersayang—"

Kedua mataku terpejam! Namun tak terjadi sesuatu. Aku masih bernapas, aku masih hidup. Nyawaku tidak melayang. Setelah kubuka kembali kedua mataku, pria itu sudah berdiri di sana.

"J–jimin?"

Jisung. Itu Jisung yang berada dalam tubuh Jimin. Jinyoung menerobos masuk ke dalam apartemen Jisoo. Menahan tangan Jisoo yang hampir saja melukaiku.


"Kenapa masih bengong?! Cepat keluar dari sini, kabur!"

"Bagaimana kau bisa masuk?"

"Apa itu penting sekarang? Kau mau mati?"

"T–tapi kau—"

Jisung menarik napas dalam-dalam dan mendesah. Pria itu menampilkan ekspresi yang sama ketika kami terakhir kali bertemu. Lelah, pasrah, dan menyerah. Bukankah ia pernah bilang padaku bahwa sekali kita (suffer) menyebutkan identitas asli kita kepada orang lain, maka akan berdampak buruk. Apakah itu ada hubungannya dengan kejadian sekarang ini? Apabila aku pergi seperti perintahnya, dia akan dalam bahaya?

"Yooseul, kau harus tetap hidup untuk mengungkap kematian adikku dan juga penderitaan Sohyun."

Namaku dipanggilnya. Setelah Jisung mengatakan hal itu, hatiku dipenuhi keyakinan bahwa aku memang harus tetap hidup untuk membongkar kejahatan Jisoo. Aku tidak boleh mati sia-sia sebelum misiku berhasil. Aku mengerti, Jisung sedang berusaha membantuku keluar dari sini. Haruskah aku mempercayai kata-katanya dan pergi meninggalkannya? Bahkan ketika nyawanya terancam seperti ini?

"Pergilah, sebelum aku menghilang," ujarnya lirih.

Relung hatiku retak seketika. Apa maksudnya menghilang? Dia mau kabur ke mana? Sembunyi ke mana? Pikiranku jadi kalut. Namun, Jisoo yang berhasil menggores pipi Jisung yang menahannya pun menyadarkanku dari kekalutan.

"Pergi, Yooseul!"

Kakiku bergerak secara otomatis. Berlari sekuat tenaga meraih pintu keluar. Terbirit-birit melewati lorong yang kebetulan sepi, suara langkah kakiku yang keras menghantam lantai, menggema hingga ke ujung koridor. Sampai tiba di depan lift, perasaanku masih tidak tenang. Napasku terengah, tanganku dengan gemetaran menumpu pada pinggiran pintu lift hingga tiba-tiba pintu itu terbuka dan menampilkan wajah seseorang.

Bagaimana ia sampai sini? Bagaimana ia mengetahui aku ada di sini dan dalam kondisi yang menyedihkan? Ingin kutanyakan semua pertanyaan itu padanya, Kim Taehyung, suami Sohyun. Dengan wajahnya yang panik, ia merengkuhku ke dalam pelukan. Menarikku masuk ke lift, tak membiarkanku lepas. Bahkan kakiku yang lemas—hingga rasanya mau ambruk—berhasil ia tahan dengan perhatian hangatnya.

"Sohyun! Kau baik-baik saja? Apa terjadi sesuatu padamu? Ya Tuhan! Aku sudah menduga kau akan datang ke sini!"

"Tae, Taehyung!" Aku melepas pelukannya. Tatapanku memohon agar Taehyung mendengar ceritaku dan melakukan sesuatu untukku.

"Ayo, kita ke kantor polisi!"

***

Kami berakhir dengan melaporkan Jisoo ke kepolisian. Berharap agar masalah ini segera ditangani karena sudah menyangkut nyawa seseorang. Di kantor polisi, aku dimintai keterangan. Kujelaskan semua dari nol, tentang Kak Jisoo yang melakukan percobaan pembunuhan terhadapku dan berakhir dengan percobaan pembunuhan terhadap Jimin. Aku masih ketakutan. Berbagai hal melintas di kepalaku.

Bagaimana kondisi Jisung sekarang?

Apakah tindakanku sudah tepat?

Apa yang Jisung maksud kalau dia akan menghilang?

"Sohyun, semua akan baik-baik saja. Kau sudah mengambil keputusan yang tepat," ucap Taehyung. Tangannya merangkul pundakku, mengusap kepalaku sampai aku merasa lebih tenang.

Tak lama kemudian, kedua orang tuaku datang. Mereka sengaja dipanggil ke sini. Disusul oleh Jisoo. Aku merapatkan genggaman tanganku pada lengan Taehyung begitu pandanganku dan Jisoo bertemu.

"Sohyun, apa-apaan kau ini?!"

Bukannya ditanya, apa aku baik-baik saja? Kenapa leherku bisa terluka? Tetapi Tuan Kim—Papa Sohyun—justru menghakimiku tanpa alasan. Aku merasa aneh dengan semua hal. Terutama, tatapan mama—yang biasanya tulus dan penuh kasih terhadapku. Hari ini, detik ini, beliau tampak ragu. Ia menghindariku meskipun ia tahu putri bungsunya terluka gara-gara putri sulungnya. Mama, yang harusnya berada di pihakku, memelukku, namun ia malah berlari ke arah Jisoo. Memeluknya dan mencium keningnya dengan penuh gelisah.

"Jisoo, Nak, kau terluka?! Tenang, Sayang. Mama dan Papa di sini, kau akan baik-baik saja."

Harusnya Mama mengucapkan itu padaku. Kenapa padanya? Orang yang jelas-jelas menghancurkan hidup Sohyun-mu?

Aku dan Taehyung saling bertatapan. Kami sama-sama tidak tahu apa yang terjadi di sini. Apa maksud dari keadaan yang terbalik ini.

"Ma? Aku terluka, Kak Jisoo mencoba mencekik dan membunuhku, kenapa Mama membela dia?"

"Diam kau, anak tidak tahu diuntung! Selama ini, kurang peduli apa kami padamu?! Kamu mau membunuh kakakmu sendiri?"

Aku? Membunuh Jisoo? Kenapa aku?!

"Pa, aku bicara jujur. Sohyun datang ke apartemenku, awalnya kami membahas hal-hal sepele. Tetapi dia berubah marah saat aku menyinggung soal Taehyung. Pa, Papa tahu kan, aku sudah berkorban banyak hal. Termasuk merelakan tunanganku menikah dengan adikku sendiri. Kurasa dia menaruh dendam gara-gara itu. Kondisi stresnya, pasti membuat depresinya kambuh. Ia melukai dirinya sendiri ketika melihat pisau buah yang ada di atas meja. Lalu, tiba-tiba saja.... Tiba-tiba, dia—"

"Sudah, jangan dilanjutkan, Nak. Tenangkan dirimu, kau sudah cukup banyak menjelaskan."

"Tapi, Ma .... Aku tidak ingin adikku tersakiti karena penyakitnya itu. Dia tidak salah, ini semua karena penyakit depresi yang dia derita. Tidak bisakah kita bebaskan dia dari penjara?"

"Mem–membebaskanku dari penjara? Apa maksudnya?!"

"Sohyun, maaf. Papa menuntutmu atas percobaan pembunuhan terhadap Jisoo, Mama tidak bisa menghentikan keputusannya."

"Ma .... Mama juga tidak percaya padaku? Mama...."

Aku kecewa. Usahaku selama ini demi memperjuangkan keadilan bagi Sohyun berakhir seperti ini. Mama, satu-satunya orang yang kuharapkan akan mempercayaiku—selain Taehyung—justru angkat tangan. Kenapa, Ma? Apa karena Mama tidak mau melawan Papa?

Sebagai seorang anak tanpa orang tua, aku sedih melihat Sohyun yang tak mendapatkan kasih sayang dan perhatian kedua orang tuanya saat berada di posisi tersulit. Kenapa keadaan harus jungkir–balik begini?

"Tunggu!" Aku mencegah polisi itu memborgol tanganku. "Ada seorang saksi, ada seseorang yang menjadi korban sama sepertiku. Dia datang ketika mencoba menyelamatkanku. Kenapa kalian tidak membawanya juga? Aku yakin, dia juga ada di apartemen itu."

"Jangan membual! Jelas-jelas kau salah, kau masih berani berbohong?"

"Pa, aku berkata jujur! Saat Kak Jisoo berusaha menusukku dengan pisau, seorang pria datang dan menyelamatkanku. Dia ... Park Jimin."

"Sohyun, kenapa kau mengarang cerita? Tidak ada orang lain di apartemenku. Hanya ada kita berdua. Sohyun, kalau kau berkata jujur, Kakak janji, Kakak akan membujuk Papa untuk tidak memenjarakanmu."

"Tidak! Aku tidak bohong, aku bersumpah! Park Jimin, dia seorang pria yang mencoba membantuku ketika insiden itu terjadi. Kenapa kalian para polisi tidak membawanya ke mari sebagai saksi?"

"Maaf, Nona. Tidak ada pria bernama Jimin. Tidak ada seorang pun di apartemen itu selain Nona Jisoo."

"Tapi—"

Plak. Tangan Papa, tangan figur ayah yang Sohyun ingat dalam kepalanya sebagai sosok penyayang. Pria itu dulu menggunakan tangannya untuk melatih Sohyun berjalan. Membantu Sohyun berdiri ketika jatuh. Mengusap kepala Sohyun setiap kali Sohyun pulang membawa prestasi. Hari ini, pertama kalinya tangan seorang ayah menampar pipi putrinya sendiri. Sang putri yang polos, tidak tahu apapun, putri menjadi korban kedengkian saudaranya. Terfitnah, ditindas secara mental hingga bertahun-tahun hidup dalam rasa takut dan bayang-bayang kematian orang yang ia cintai. Mengapa dunia begitu kejam bagi orang-orang yang masih hidup? Bahkan aku, yang sudah meninggal ini, merasa tak sanggup lagi memikul beban berat Sohyun.

Hal yang lebih beratnya lagi adalah ketika satu-satunya orang yang berdiri di belakangku, melepas tanganku dan membiarkanku jatuh. Seseorang yang tadinya kupercaya akan menjadi pelindungku. Kini, dia menatapku penuh ragu.

"Sohyun, apa benar kau melukai kakakmu?"

Taehyung ... seharusnya tidak kau tanyakan pertanyaan itu. Kau tahu, gara-gara wanita itu kehidupan istrimu berantakan. Masa depannya hancur. Bayinya meninggal, orang yang pernah ia cinta juga meninggal. Sohyun terlalu banyak menghadapi kematian. Mantan kekasihnya, bayinya, bahkan dirinya sendiri. Ada apa dengan pola pikirmu yang mendadak berubah haluan?

"Taehyung, kau .... Kita berdua tahu, bagaimana sifat sebenarnya dari Kak Jisoo. Kenapa kau tidak mempercayaiku?"

"Taehyung, Jimin .... Mungkin pria itu terbunuh di sana. Atau ia terluka di suatu tempat, kita harus mencarinya, ayo, cepat!"

"Sohyun!!!" teriak Taehyung. Baru ini aku mendengar teriakannya yang frustrasi.

"Aku sudah mencoba mempercayaimu. Aku tahu, mungkin apa yang kau katakan benar. Tapi, perilakumu ini tidaklah benar. Aku tidak bisa mentoleransi tindakan impulsifmu yang mau menghabisi nyawa kakakmu sendiri."

"Taehyung? Aku sudah bilang, dia yang mencoba membunuhku, bukan aku! Makanya, ayo kita cari Jimin. Dia saksinya, dia yang akan mengatakan semuanya!"

"Berhenti!" cegah Taehyung ketika aku mulai menarik tangannya untuk pergi.

"Lagi-lagi Jimin. Jimin, Jimin, Jimin! Berkali-kali kau mengucapkan omong kosong. Tidak ada yang namanya Jimin, polisi sudah mengatakannya, kan?"

"Taehyung, dia terapisku. Orang yang pernah aku ceritakan padamu."

"Sejak kapan kau punya terapis? Jangan berbohong lagi, kumohon. Semakin kau berbicara omong kosong, semakin sulit aku untuk mempercayaimu lagi."

"Taehyung ... baru beberapa saat lalu kita berdua melaporkan Kak Jisoo yang mau mencoba membunuhku dan Jimin. Apa kau sudah lupa?"

"Jelas-jelas aku kemari karena kupikir apa yang kau ceritakan benar. Jisoo ingin menyakitimu, tetapi setelah semua kebohongan yang kau katakan, aku sulit percaya. Sohyun, jika kau mengakuinya, aku juga berjanji, akan membebaskanmu dari sini. Kita pergi ke psikiater yang lebih ahli lalu membuatmu sembuh dari belenggu penyakit mental ini."

Aku menyerah. Aku mengaku kalah. Jika saja ... jika saja Jinyoung ada, mungkin tidak begini jadinya. Apa ini maksud dari perkataan Jinyoung bahwa ia akan menghilang? Benar-benar hilang hingga semua orang melupakan siapa dirinya?

Park Jimin, tubuh baru Jisung, apakah lenyap tanpa jejak dari muka bumi ini? Hanya aku yang dapat mengingatnya, tetapi tidak dengan orang-orang. Apakah ini masuk akal?! Di saat aku hampir mengalahkan wanita itu, kenapa hal seperti ini bisa terjadi?!

Tuhan, apa kau mengutuk Sohyun untuk terus menderita? Mengapa tidak kau biarkan aku segera menyelesaikan misiku dan membuat wanita itu bahagia di atas sana?

***

Tbc

Jangan sampai cerita ini terlupakan lagi :)

Hari ini "Decade" nggak update dulu, ya. Besok deh, aku mau double up lagi. Hari ini ada tugas dari kampus, jadi waktu banyak kesita buat ngerjain tugas itu. Dan kebetulan, cuma cerita ini yg berhasil aku ketik. So, untuk malem ini, kita ngikutin ceritanya Yooseul dulu.

Terima kasih.

With love,

Oca🌻


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro