Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa hari terlewat, beberapa kali juga Ajang kembali bertemu dengan kedua pemuda yang waktu itu. Terkadang mereka sepaket, terkadang hanya Parta. Tetapi, di setiap pertemuan, Ajang akan diberikan makanan. Bukannya ia tidak pernah memakan makanan pemberian Parta dan Gilang, hanya saja, jarang. Makanan yang diberikan di markas hanya telur asin.

"Ini, buat kamu. Makasih, ya, Jang." Sekali lagi Parta memberikan hadiah untuk Ajang, kali ini manisan. Tempat mereka bertemu kadang-kadang berganti, tetapi tidak akan jauh-jauh. Masih di sekitar tempat mereka bertemu pertama kali. Seperti saat ini, mereka bertemu di salah satu gang sepi.

"Oh, ya. Besok-besok kita nggak perlu ketemuan lagi kayak gini." Gilang berucap setelah lama tidak membuka suara. Ajang menggaruk surai hitamnya. Apakah artinya dia tidak akan mendapat makanan lagi?

"Kenapa?"

"Karena nanti kita bakal bisa ketemuan dengan lebih leluasa."

...

Bulan menggantung, waktu Indonesia bagian malam dimulai. Ajang membilas tangannya, akhirnya ia selesai mencuci semua peralatan makan. Keadaan markas sudah sepi, pekerjaannya selesai, saatnya untuk tidur. Jadi ia berjalan di sepanjang lorong hotel, lampu-lampu yang terpasang di atas menerangi, sampai ia memasuki salah satu pintu. Ibunya dan beberapa pekerja lain juga bersiap hendak tidur.

"Sini, Jang. Cucian tadi udah beres?"

"Udah, Bu." Ajang memutuskan untuk tidur di bawah, tepat di samping kasur ibunya. Hanya beralaskan selimut tipis, ia berusaha untuk terlelap.

Tetapi sepertinya keadaan tidak membiarkannya untuk tidur, juga yang lainnya. Sekitar beberapa menit berselang, terdengar suara keributan dari luar.

Samar-samar suara berat Tentara Kompeni terdengar, juga beberapa tembakan yang meletus. Posisi kamar pekerja dan asrama para tentara dipisah oleh dapur. Keadaan ruangan masih gelap, semuanya dengan keadaan cemas masih berdiam di tempatnya sampai Ajang berinisiatif untuk mengecek.

Ia berjalan ke arah pintu, mengintip ke celah yang dibuatnya. Terpampang lorong yang kosong, pencahayaannya redup. Suara tembakan masih terdengar, juga pekikan yang mengiringinya. Ajang menengok sejenak ke arah kanan, lalu ke kiri, begitu seterusnya. Tidak ada hal aneh sampai sebuah bayangan terlihat di ujung lorong. Ajang buru-buru menutup pintu.

"Kenapa, Jang?" salah satu di antara pekerja bertanya. Ajang hanya bergerak menyentuhkan telunjuk kanan ke bibirnya. Ia tidak tahu sesuatu yang baik atau buruk yang akan terjadi.

'Brak!'

Suara teriakan terkejut muncul saat pintu tiba-tiba dibuka cepat. Ajang tersentak dan menjauh dari pintu. Di sana, sosok yang membelakangi lampu temaram, seorang pemuda berkemeja coklat sederhana, dengan caping di kepalanya. Kedua tangannya memegang senapan laras panjang.

Terjadi keheningan sejenak di antara mereka sampai pemuda itu mengeluarkan suara, "Jang, inget saya, 'kan?"

Bocah itu tersadar dari lamunan, detik setelahnya ia menyadari bahwa pemuda itu adalah Gilang. Ajang balas mengangguk. Gilang lalu menyuruh para pekerja untuk keluar dari situ, semuanya, satu per satu, bergegas mengikuti arahan Gilang, menuju pintu belakang.

Tidak ada banyak hal yang dapat dilihat jelas di halaman belakang, kecuali saat mata Ajang menangkap sebuah kilapan cahaya kuning di salah satu area. Pagar sudah diterobos, satu pemikiran yang muncul di kepalanya. Gilang tak lama kembali muncul, setelah semua pekerja dipastikan keluar dari bangunan, salah satu tangannya menunjuk area yang tadi menarik perhatian Ajang. "Ke sana. Ada bemo yang akan bawa kalian ke tempat penampungan. Pagarnya sudah dijebol."

Gilang juga bilang bahwa mereka akan dijanjikan pekerjaan lain yang lebih pantas.

Jadi semuanya bergegas bergerak. Sesaat sebelum Ajang mengikuti ibunya, ia bertanya kepada Gilang, "Nanti kalian gimana?"

"Seperti yang saya bilang, kita bakal ketemuan lebih leluasa."

"Lalu kami dibawa naik mobil ke sini sama A'a-mu. Selama perjalanan, Ajang tidur, makanya sekarang nggak ngantuk."

Bocah itu mengakhiri ceritanya. Ia terduduk di teras sebuah rumah. Tangannya memegang segelas teh hangat. Bulan semakin melambung tinggi di antara langit bersih.

Sekitar satu jam yang lalu, rombongan pengungsi sampai di tempat tujuan. Rumah yang menjadi tempat penampungan mereka ini tidaklah luas, tetapi tidak apa. Tidak ada yang terlihat keberatan dengan itu.

"Begitu ... aku juga nggak ngantuk. Tadi dibangunkan bapak pas kalian sampai, sekarang mau nungguin A' Gilang balik sama temennya," yang duduk di samping Ajang membalas. Dewi namanya. Setelah cukup lama mereka mengobrol, Ajang mengetahui kalau rumah yang mereka singgahi sekarang ini adalah milik bapaknya Gilang—Pak Endang. Yang menjadi supir bemo tadi, dan gadis di samping Ajang ini adalah adiknya Gilang.

Melihat suasana rumah dan lahannya yang cukup luas, bisa dibilang keluarga pribumi ini ... cukup beruntung. Mungkin bapaknya Gilang memiliki pekerjaan penting—yang entah pernah atau sampai sekarang dimilikinya. Tidak seperti Ajang yang harus menjadi yatim dan bekerja keras untuk tentara kompeni ....

"Eh, kenapa?" Dewi terheran melihat bocah laki-laki di sampingnya tiba-tiba menampar wajahnya sendiri. Tangan Ajang masih menempel pada pipinya, lalu ia lepaskan pelan.

"Aku sempat iri sama kehidupanmu, tapi ibu bilang kalau nasib kami masih jauh lebih untung daripada yang di jalan atau yang jadi buruh kasar." Gadis berkuncir kuda itu hanya tersenyum, ia mendengus pelan mendengar penjelasan Ajang.

"Ya, aku juga kadang kayak gitu sama Kompeni-Kompeni yang hidup mewah. Tapi kata bapak, seburuk apapun kondisinya, kita harus tetap bersyukur sama Gusti Agung. Harus bisa jadi manusia yang positif, baik sama dirinya sendiri maupun orang lain. Misalnya dari hal kecil, seperti menebar senyuman."

Lalu mereka berdua terdiam, derik jangkrik dan gemerisik rumput yang bergoyang karena angin menjadi sumber suara terbesar di sana. Tak lama, bapak Gilang menghampiri Ajang dan Dewi, menyuruh mereka untuk segera tidur. Ajang kembali ke kamar, ia sempat termenung di atas kasur, tak lama, rasa kantuk menggerayungi matanya hingga ia tertidur.



















tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro