Opat: Parta namanya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pemuda itu berjongkok di salah satu bagian taman, tangannya memegang gunting rumput dengan mata pisaunya yang tajam, merapihkan lahan berumput milik sang menir. Untung saja hari ini langit berawan, kalau tidak kulit cokelatnya akan semakin gelap.

Parta mengelap peluh di dahinya, sudah cukup lama ia tidak kembali pulang ke kampung. Ia tiba-tiba merasa rindu dengan keluarganya di sana, tetapi apa boleh buat, sebelum majikannya mencairkan upah, maka Parta akan terus bekerja di sini.

"De inboorlingen hebben een grote beweging gemaakt."

(Para pribumi sudah melakukan langkah-langkah besar.)

Sebuah suara terdengar tak asing.

Parta menoleh ke belakang dan melihat keluarga menirnya menaiki mobil, pergi melaju hingga bayangannya memudar dan hilang. Ia meletakkan gunting rumputnya di tanah. Mereka pergi? Ia sekarang bisa pulang, tetapi ... tak satu pun lembar gulden diterimanya.

"Parta, ayo masuk. Ada si Neng di dalam," suara ibunya memanngil.

Sekarang arah pandangan pemuda itu berganti, menuju rumah sederhana di sana, tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia menggumamkan nama tunangannya di hati seiring kakinya melangkah menuju rumah.

Parta membuka pintu kayu itu dengan antusias, detik setelahnya hatinya mencelos.

Tubuhnya mematung, keringat dingin mengucur dengan cepat. Iris matanya membulat sempurna atas apa yang dilihatnya. Perabotan yang berantakan, ibunya terkulai lemas di lantai, dan gadisnya yang lenyap.

"Kyaa!"

Parta berbalik. "Neng?!"

Namun, bukan gadis itu yang terlihat, melainkan ayunan cepat sebuah senapan laras panjang.

"Aah!"

Kelopak matanya terbuka tiba-tiba. Napas Parta tersengal. Setelah nyawanya terkumpul penuh, ia membetulkan posisinya. Apa yang di hadapannya adalah pemandangan sebuah kamar, dan dirinya berada di atas kasur.

"Kenapa—oh, Ya Gusti. Kamu mimpi buruk?"

Seorang pemuda lainnya memasuki kamar dengan cepat, ia hendak mengacungkan pistolnya ketika dilihatnya tidak ada hal yang mengancam di kamar Parta. Gilang pikir rumahya tiba-tiba diserang. Bahkan ia sudah menarik pelatuk pistolnya.

Parta hanya balas mengangguk, dirinya terduduk di atas kasur, memijat pelipisnya.

Sudah kurang lebih sebulan pemuda itu menumpang tinggal di rumah keluarganya Gilang. Parta sudah mengenal Gilang saat keduanya masih menjadi Prajurit PETA, mereka tergabung dalam satu peleton. Sehari setelah proklamasi kemerdakaan, PETA dibubarkan tanpa ada kerusuhan.

Karena Parta masih memiliki semangat juang yang tinggi, juga ia cukup dekat dengan Gilang, maka Parta memutuskan untuk menetap di Bandung Utara lebih lama. Terlebih saat berita kembalinya Sekutu ke Indonesia sampai ke telinganya, hal itu seperti memanaskan jiwanya untuk mengusir segala kolonialisme dari negeri ini.

Menurut Gilang, prinsip Parta itu, "Pokoknya mau Kompeni, Portugis, atau Nippon, saya tetep nggak suka Indonesia bernaung di bawah negeri lain."

"Udah ... sekarang bantuin saya kerja di kebun Bapak." Gilang lalu berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Parta. Pemuda itu lantas segera sembahyang pagi, bersih-bersih diri, lalu membantu Gilang mengurusi kebun yang mana hasil panennya akan dijual ke pasar. Sebagai tamu, ia sepatutnya tidak merepotkan pemilik rumah.

Ah, ya, TKR bukan tujuan Parta setelah menjadi eks PETA. Ia masih ingin membela tanah air, tetapi sebagai relawan saja, karena pemuda itu pikir menjadi TKR tidak akan cocok dengannya yang suka bertindak sesuatu berdasarkan hatinya, bukan dari komando jenderal atau pangkat-pangkat tinggi lainnya.

...

Matahari sudah berada di titik tertingginya. Seperti biasa, Parta dan Gilang bagian mengurus kebun dan juga membawa hasilnya ke pasar. Adik-adiknya Gilang biasanya hanya membuat makan siang, yang lebih tua ikut mengurus kebun. Karena pekerjaannya telah selesai untuk hari ini, dengan bemo bapak, kedua pemuda itu kembali dari pasar.

"Ke mana bapak?" gumam Parta sesaat setelah dirinya melewati pintu rumah. Sosok yang dicarinya tidak dirasakan keberadaanya. Begitu juga Gilang, ia berjalan memeriksa seluruh ruangan.

"Bapak mana?" Gilang membuka pintu kamar Dewi, adiknya yang paling kecil itu sedang melipat baju ketika Gilang bertanya.

"Barusan bilangnya ingin jalan santai. Nggak bakal jauh-jauh dari rumah."

Memang Pak Endang terkadang suka jalan-jalan, katanya agar sendi-sendi antiknya tidak karatan, jadi Gilang hanya ber-"oh" panjang lalu memutuskan untuk merawat senjatanya sembari duduk di teras depan. Sedangkan Parta, ia memilih untuk mencarinya orang tua temannya.

Hanya memakai kaos putih polos dengan celana selutut, ia berjalan keluar jalan. Daerah tempat tinggalnya Gilang, walaupun dekat dengan jalan utama, masih bisa dibilang hijau. Jarang ada bangunan-bangunan yang berhimpit satu sama lain, sebagian besar rumah memiliki lahan kosongnya sendiri.

Setelah berada cukup jauh, barulah mulai banyak bangunan-bangunan modern berarsitektur Eropa, juga jalan beraspal dengan beberapa delman dan satu-dua kendaraan bermotor di atasnya. Parta memutuskan untuk berbelok ke jalan yang lebih kecil, mengingat saran Dewi sesaat sebelum dia pergi. "Bapak kalau jalan memang suka nggak sadar sudah sejauh mana, tetapi ia pasti menghindari jalan yang terlalu ramai."

Dan Parta cukup beruntung. Masuk di jalan ini lebih jauh, punggung yang dicarinya terlihat. Namun, yang membuat alis Parta mengerut adalah orang-orang di dekat pria tua itu. Beberapa pemuda jangkung berkulit putih, terutama yang berseragam tentara, tampak sedang berbincang dengan bapak. Lebih seperti bertikai sebenarnya.

Tak lama, ia melihat salah satu dari mereka mendorong Pak Endang sampai ia hampir oleng. Parta lantas bergegas mendekatinya.

"Pak! Bapak nggak kenapa-napa, 'kan?" Matanya menatap cemas pria di sampingnya, lalu menatap kesal ke sekelompok tentara sekutu di depannya. Mereka tersenyum remeh.

"Spreek Nederlands, Slaaf." (Berbicaralah bahasa Belanda, Budak.) Amarah dalam diri Parta seketika tersulut cepat. Jika saja ia dulu tidak bekerja di bawah keluarga kompeni, pasti tidak akan memahami ucapan yang dilontarkan tentara itu dan memilih untuk membawa pulang Pak Endang langsung.

"Nyarios naon sia?!"

(Ngomong apa kamu?!)

Parta dangan cepat menyambar kerah tentara sekutu yang barusan berbicara. Kekehan sekelompok tentara itu seketika sirna, bahkan ada yang dengan cepat pula menarik senapan mereka, mengarahkan moncongnya ke Parta. Tetapi pemuda pribumi itu tidak gentar sedikit pun, sorot matanya masih menatap tajam pria yang lebih tinggi di depannya.

"Merdeka, Bung." Suara berat Parta mengakhiri pertikaian itu. Setelahnya ia mengajak Pak Endang untuk kembali. Jika saja ia masih mengingat keberadaan pria tua ini dan keluarganya, Parta pasti sudah bertindak lebih jauh. Tetapi ia tidak terlalu menyesal, ia harus memikirkan nasib keluarganya di kampung ... juga Neng.

...

"Walah, Lang. Bapak tadi sempat berhadapan sama tentara sekutu, bisa gawat kalau saya nggak ketemu sama beliau." Suara lantang Parta terdengar sejak ia memasuki lahan depan. Gilang yang sedang duduk di ruang tengah mengelap senjatanya segera bangkit dan menghampiri mereka.

"Nggak usah cemas begitu suaranya, Ta. Yang harus kamu takutin tadi diri kamu sendiri, loh, berani kayak gitu sama sekutu. Saya sampai keringat dingin, untung mereka nggak bertindak lebih jauh," ucap Pak Endang setelah menyeruput teh buatan Astrid.

Lalu pria tua itu menjelaskan kronologi kejadian. Astrid dan Panji bernapas lega, sedangkan Gilang segera mengajak Parta ke bagian belakang rumah.

"Ta, saya tahu kamu selalu berlaku sesuai kehendak hati, tapi sekali-kali pakai otak juga, lah! Apa maksudmu megang kerah kayak gitu?! Sampai ngomong 'merdeka' pula di depan Sekutu. Nasib baik mereka gak ada minat buat nembak kamu sama bapak di tempat saat itu juga."

Baru kali ini Parta melihat Gilang yang lebih cemas dari biasanya, bahkan raut ketakutan juga tersirat di wajahnya. Tiga tahun lebih Parta mengenal Gilang yang selalu irit bicara dan emosinya yang tidak pernah meledak.

Parta hendak menyangkal, tetapi yang diucapkan Gilang ada benarnya juga. Selama di PETA, para tentaranya selalu dibakar dengan semangat juang yang mengebu-ngebu. Pangkat yang lebih tinggi yang biasanya menjadi otak. Parta, Gilang, dan giyuhei lainnya yang menjadi otot. Pemuda itu terdiam.

Ya, Parta sedikit berbeda dengan Gilang. Parta lahir di keluarga petani miskin, sedangkan Gilang lahir di keluarga budak Kompeni—yang Kompeninya sangat baik hingga mau berbagi pendidikan pengelolaan ekonomi. Yang satu bekerja tanpa diupah satu gulden pun, sedang yang lainnya mendapatkan pemberian tanah secara cuma-cuma.

Parta perlahan memupuk dendam, dan tidak ada seorang pun yang dapat berbuat banyak tentang hal itu, termasuk Gilang.

























tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro