01. Lelaki Serupa Legolas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada puluhan panggilan tak terjawab di ponselku. Sudah berhari-hari ini begini terus. Dan lagi-lagi aku mengabaikannya. Aku memang tak terbiasa menerima panggilan dari nomor yang tak kukenal. Bahkan walau pekerjaanku menuntut diriku untuk selalu selalu siap siapa menerima panggilan. Entah, pokoknya tak berniat saja berbicara dengan orang asing. Lagipula jika itu penting, biasanya orang yang menelpon akan memberitahuku terlebih dulu lewat pesan singkat sambil memperkenalkan diri. Itupun jika ia punya itikad baik.

Jadi, abaikan saja.

***

"Nggak kerja?" Mama yang masih berada di belakang meja dapur menyapa ketika melihat diriku yang masih awut-awutan. Baru bangun, baru sempat cuci muka, dan dihinggapi rasa nyeri di kepala. Semalam pulang larut, kurang tidur.

"Kerja." Aku menyahut pendek lalu menjatuhkan tubuh ke kursi. Menuang air dingin ke gelas dan meneguknya cepat. Sarapan berupa roti isi terhidang di meja. Sisa satu.

"Papamu sudah ke kantor, Amelia juga. Patricia berangkat pagi-pagi sekali. Ada kegiatan di kampus katanya." Mamah menjelaskan tanpa kuminta. Amelia, adikku nomor satu, bekerja sebagai staf akunting di sebuah bank swasta terbesar di Indonesia. Dengan otaknya yang cemerlang, bukan hal yang tak mungkin karirnya akan terus meroket. Sementara Patricia, adikku yang nomor dua, tahun ini baru masuk kuliah jurusan Manajemen.

"Mau sampai kapan begini terus?" Mama menaruh panci kotor dengan kasar. Menandakan bahwa mood-nya sedang tidak baik. Tapi, bukannya dia memang selalu begitu ketika berbicara denganku? Seperti biasa, komunikasi di antara kami - akan selalu mengerikan.

"Begini gimana?" Aku menjawab cuek sembari mencomot roti isi di meja.

"Dugem, pulang malem, mabok, mau sampai kapan begini terus?"

Aku menarik napas. "Tadi malem aku memang pulang larut, tapi aku nggak dugem, aku nggak mabok. Aku kerja. Apa yang Mamah harapkan dari seorang asisten fotografer seperti diriku? Berangkat jam tujuh pagi pulang jam empat sore gitu? Seperti apa yang biasa dilakukan Amel? Nggak bisa, Mah."

Mama melirikku sinis. "Ge, sebulan lagi umurmu sudah tiga puluh tahun. Tapi hidupmu gini-gini aja. Nggak ada niat untuk memperbaiki diri gitu? Malu dong sama adik-adikmu."

Kali ini aku tak berniat membalas perkataan Mama. Mulutku asyik mengunyah roti isi yang rasanya tiba-tiba saja campur aduk.

"Lihatlah Amel. Dapat pekerjaan mapan, menjalin hubungan serius dengan lelaki mapan yang bisa jadi dalam waktu dekat akan menuju ke jenjang pernikahan. Kenapa kamu nggak bisa begitu, Ge? Cari kerjaan yang mapan, punya hubungan serius dengan laki-laki. Mama lelah ngelihat kamu hidup kayak gini."

Kali ini roti isi di mulutku terasa hambar. Ajaib karena aku masih tahan mengunyah bahkan menelannya.

"Seenggaknya kalo kamu nggak sanggup cari kerja yang baik, cari suami, kek. Masa dapat lelaki serius gitu aja nggak becus." Mama kembali berkutat dengan cucian di wastafel. Gerakannya kasar dan menimbulkan bunyi berisik. Pertanda bahwa emosinya bisa saja meledak jika aku mendebat. "Mama malu ngelihat kamu nemplok sana sini dengan lelaki berbeda. Kayak perempuan nggak bener aja."

Tanpa menjawab, aku memasukkan potongan terakhir roti isi ke mulut dan mengunyahnya tanpa suara.

"Kalau dalam waktu dekat kamu nggak bisa cari suami, biar Mama yang carikan." Mama berucap tanpa menatap ke arahku.

Aku meneguk air dengan cepat lalu bangkit, menyentakkan kursi dengan kasar kemudian melangkah menaiki anak tangga menuju kamar. Terdengar Mama bertariak.

"Ge! Mama sedang bicara denganmu! Ge! GLORIA!"

Dan tak kugubris. Aku masuk ke kamar mandi, mengguyur badan di bawah shower tanpa membuka baju. Mencoba meredakan amarah yang nyaris sampai ubun-ubun.

°°°

Sore hari, aku baru saja keluar dari studio foto ketika ponselku kembali berdering, berkali-kali. Menatap sejenak ke layar, aku mendesah. Masih dari nomor yang sama. Tanpa berpikir dua kali, aku memilih untuk mengusap ikon telepon berwarna merah.

Berjalan santai menuju halte bus, ponsel itu kembali berbunyi. Melihat kembali ke layar dan lagi-lagi dari nomor yang sama. "Orang sinting mana, sih, yang iseng begini?" gumamku jengkel. Tak gentar dengan panggilan bertubi-tubi, ikon telepon warna merah tetap saja kuusap. Dalam hati aku berucap, sekali lagi dia menelpon membabi buta begini, akan kublokir nomornya. Dan seolah bisikanku dikabulkan Sang Maha Kuasa, nomor itu berhenti menghubungiku.

"Wow." Aku berucap tak percaya lalu kembali melanjutkan langkah.

Aku nyaris sampai di halte ketika sebuah SUV berwarna hitam metalik merapat lalu berhenti di pinggir jalan, tak jauh dariku. Aku masih setengah cuek sampai akhirnya pintu SUV itu terbuka dan sesosok pemuda jangkung keluar dari sana. Dan sungguh sangat epik ketika pada akhirnya tatapan kami beradu.

Dua kata: Aku terpesona.

Perawakannya sekilas mengingatkanku pada sosok Legolas di film The Lord Of The Ring versi rambut hitam. Ketampanan yang hakiki dan unik. Rambutnya yang lurus terurai bebas hingga siku. Kulitnya coklat memikat, matanya kelam memancarkan aura dingin nan misterius, sementara alisnya tebal butuh di sisir. Dan bibirnya, wow, penuh, tak kalah seksi dengan tatapan matanya. Untuk sejenak, aku lupa cara bernapas. Astaga, makhluk ini tampan sekali.

"Halo?" Ia menyapa sembari berjalan mendekat.

Aku mengerjap. Apa ia bicara denganku?
Aku menatap sekelilingku barangkali saja ia sedang bicara dengan orang lain. Tapi tak ada siapa-siapa selain aku, dan dua orang laki-laki setengah baya yang tengah berdiri sekitar lima puluh meter dariku.

"Aku sedang bicara denganmu." Pemuda itu kembali berucap hingga tatapan kami kembali beradu.

"Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri dengan tangan. Ia mengangguk. Melirik sejenak ke arah tato di lenganku yang menyembul sebagian, senyumnya terkulum. Sehari-hari aku memang terbiasa mengenakan kaos ketat lengan pendek yang menunjukkan sebagian tato di lengan atas. Tato ini memang sering menjadi pusat perhatian manakala aku bertemu dengan orang asing. Mungkin, mereka pikir aku perempuan aneh, atau mungkin perempuan tidak baik.

Mana ada perempuan baik-baik yang punya tato? Ya, kan? Tapi biarlah, aku tak ambil pusing. I love my tattoo, whatever.

"Cantik." Terdengar pemuda itu menggumam lirih. Sebentar, siapa yang dia bilang cantik?

Mengibas rambut, aku bersedekap dengan angkuh. "Excuse me?" ujarku.

Pemuda buru-buru mengalihkan pandangannya ke arahku dan kembali tersenyum. "Ups, sorry. It's just ...," Ia mengangkat bahu, terlihat bingung hendak memberikan jawaban apa. "Uhm, aku berkali-kali menelponmu tapi kamu tolak." Ia buru-buru menunjukkan ponsel ditangannya.

Masih sedikit bingung dengan siapa sosok yang ada di hadapanku, aku bergerak membuka tas kerja lalu meraih ponselku.
Aku mengecek nomor yang barusan melakukan panggilan. "Ini nomormu?"

"Iya, itu nomorku ..." Serangkaian angka meluncur dari mulut pemuda tersebut. Dan cocok.

"Apa aku mengenalmu?" tanyaku langsung. Kutatap seraut wajah itu dengan saksama. Berharap aku tak pikun dan mengingat apa kami pernah bertemu sebelumnya sampai ia tahu nomor ponselku dan berani menghubungiku.

Well, lagi-lagi aku salah fokus. Memperhatikan wajahnya yang tampan, sorot matanya kelam, bibirnya yang penuh dan ...

Tunggu, sepertinya aku pernah bertemu dengannya tapi ... dimana? Aku lupa.

Pemuda itu kembali tersenyum lalu mengulurkan tangan. "Patria Arcano. Panggil saja, Can, Cano, atau ... sesukamu saja. Kita pernah bertemu sekali. Pertemuan yang teramat istimewa," jawabnya.

Walau canggung, aku menerima uluran tangan tersebut. "Oh ... ya?" Aku bergumam pendek.

Pemuda itu kembali mengangguk. "Well, itu ..." Ia memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Terlihat sedikit canggung. Gerakan itu entah kenapa terlihat imut sekali.
"Beberapa hari yang lalu kita bertemu di diskotik. Kita berkenalan singkat, dan karena kita sama-sama dalam kondisi yang sedikit mabuk, yeah, begitulah. Kita pergi ke hotel, and ... we did it. One night stand."

Aku melotot. Reflek aku menutup mulut dengan kedua tanganku. "Ya Tuhan ...," desisku. "Maksudmu kita ..."

Memoriku bergerak ke peristiwa beberapa hari yang lalu ketika aku memutuskan pergi ke diskotik sendirian. Dan lamat-lamat aku mengingatnya. Sepertinya waktu itu aku terlalu terbawa suasana. Dalam kondisi setengah mabuk, aku jatuh ke pelukan seorang lelaki. Kami berbicara singkat lalu memutuskan keluar dari diskotik, mencari taksi dan ... pergi ke hotel.

Keesokan paginya aku terbangun dengan sakit kepala hebat karena pengaruh alkohol. Aku sadar ada seseorang yang terbaring di sampingku, tapi karena masih agak pening gara-gara mabuk, aku memutuskan memakai bajuku dan pergi meninggalkannya begitu saja.

"Kita tidur bersama!" Aku nyaris memekik dan segera menyadari bahwa kami masih di tempat umum.

Pemuda bernama Arcano itu tersenyum manis lalu mengangguk.

"Oh my God." Aku kembali mendesis tak percaya. "Jadi apa yang kamu inginkan sekarang? Bisakah kamu melupakannya saja? Duh, maksudku, waktu itu aku mabuk, kamu mabuk, kita sama-sama mabuk. Dan ... itu sebuah kesalahan. Jadi, maksudku..." Aku berusaha untuk tidak terlihat panik.

Astaga, mati aku! Apa yang sedang kupikirkan malam itu? Aku tidak pernah tidur dengan orang asing.

"Melupakannya? Bagaimana mungkin?" Pemuda itu kembali berujar tenang. "Maksudku, sejak malam itu, aku nggak bisa melupakanmu. Aku memang setengah mabuk, tapi aku mengingat semua detilnya dengan baik," lanjutnya.

Aku melongo. Mengingat detilnya dengan baik?

"Aku terus saja teringat olehmu hingga akhirnya aku berusaha mencari tahu tentang siapa dirimu. Butuh waktu yang lumayan lama, tapi akhirnya aku berhasil tahu siapa namamu dan bahkan mendapatkan nomor ponselmu," ucapnya.

"Kenapa kamu mencariku?" tanyaku.

"Karena..." lagi-lagi ia menggigit bibirnya sebelum menjawab. "Karena itu adalah pengalaman seks terbaik seumur hidupku."

Uhukk. Aku nyaris tersedak. S-Seks terbaik seumur hidup?

"Gloria Steffi." Dia bahkan memanggil namaku, dan kali ini suaranya laksana semilir angin, membuat pori-pori kulitku berdenyut. "For your information, that was my first time. Jadi kamu harus bertanggungjawab karena kamu telah mengambil keperjakaanku."

Aku kembali membelalak. "Whaatt?!"

"Aku sudah mencari tahu tentang dirimu. Dan aku tahu kamu sedang tidak berkencan dengan lelaki manapun. Aku juga sedang tidak berkencan dengan perempuan manapun. Jadi ..."

Dua langkah.

Dia hanya perlu dua langkah untuk menghapus jarak di antara kami. "Ayo kita saling mengenal lebih jauh lagi," bisiknya.

Ia memiringkan kepalanya dan mengecup bibirku, lembut.

°°°

Bersambung ...

Nitip anakku yang baru ya. Sayang Mas Arcano banyak-banyak. hehe...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro