02. Nikahi Aku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menyeruak masuk begitu Lisa membuka pintu apartemennya. Aku bahkan tak mengucapkan salam atau sekedar bilang 'hai'.

Sesaat setelah mengalami insiden 'asal sosor' oleh pria asing serupa Legolas yang barusan kutemui sore tadi, aku segera ngacir memanggil taksi dan kabur darinya menuju apartemen Lisa. Aku meninggalkan pria itu di sana, di pinggir jalan, tanpa mengucap sepatah kata.

"Ge? Something wrong?" Perempuan itu menatapku dengan ekspresi cemas setelah mendapati keadaanku yang lumayan kalut. Aku mondar-mandir dengan gusar tanpa menjawab. Menyugar rambutku dengan kasar, hendak mengatakan sesuatu, lalu batal, dan akhirnya bergerak lagi ke sana kemari dengan bingung.

"Ge?" Ia kembali menyebut namaku. Karena tak mendapatkan jawaban, ia berteriak, "Gloria!"

Menggigit bibir, akhirnya aku menatapnya sambil menjawab, "Ini ... gawat banget."

Perempuan yang usianya sebaya denganku itu bersedekap, "Ya ngomong, dong. Aku nggak ngerti di mana letak gawatnya." Ia mengomel. "Duduk." Ia memerintahku duduk di sofa. Menatap benda itu sejenak, aku urung menjatuhkan tubuhku di sana. "Jadi begini ..."

"Aku siap dengerin kamu ngomong panjang lebar."

"Oke." Dan akhirnya aku memilih duduk. "Beberapa waktu lalu aku mengajakmu pergi diskotik. Tapi kamu menolak karena terlanjur ada janji dengan Dion untuk ngurus kerjaan di Bekasi. Ingat?"

Sebagai seorang SPG event, Lisa memang sering bepergian ke banyak kota. Dengan wajah cantik dan tubuh tinggi semampai, aku sempat menyayangkan profesinya. Bukan berarti SPG itu tak bagus, toh selama ini honor yang ia terima lebih dari cukup. Terutama untuk event besar, ia bisa digaji jutaan per event. Tapi, tetap saja, harusnya Lisa bisa lebih dari itu. Wajah rupawan dan tinggi menjulang, mestinya perempuan ini bisa menjadi model runway.

"Ingat?" tanyaku lagi.

Lisa terdiam sejenak, tapi sekian detik kemudian ia mengangguk. "Yup. Dan kamu bilang kamu pergi ke sana sendirian. Terus?"

Menggigit bibir, aku berujar, "Aku bersama Lukas."

Perempuan itu melotot. "What? Kamu pergi dengan Lukas?! Kamu bilang sendirian, Ge." Lisa memotong dengan emosi yang siap meluap.

"Aku berencana pergi sendirian, tapi Lukas nyusulin ke sana." Aku membela diri.

"Kalian 'kan udah putus. Buat apa dia nyusulin kamu ke sana? Apa dia merayumu? Apa dia melakukan hal buruk padamu?" Kali ini Lisa yang tampak kalut.

"Enggak, Lis. Dia nggak macem-macem." Aku menjawab buru-buru. Well, aku memahami reaksinya karena kata-katanya benar, bahwa Lukas bukan pria baik-baik, bahwa ia perayu ulung, bahwa ia sudah menjeratku ke dalam bujuk rayunya dan setelah itu ... kami putus.

Aku yang minta putus terlebih dahulu setelah memergoki pria itu bermalam dengan wanita lain di apartemennya. Sejujurnya kami sudah sepakat untuk berpisah baik-baik, walau sempat bertengkar dengan hebat. Kemarin dia mengatakan bahwa ia ingin membina sebuah hubungan persahabatan denganku. Dan aku setuju.

Tadinya aku berharap kami akan meluangkan waktu bersama, bicara dari hati ke hati, memperbaiki persahabatan yang dulunya sempat terjalin dan ... jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku berharap ia bisa berubah.

Berubah dari lelaki brengsek penyuka banyak wanita, menjadi pria gentle yang menjalani hidup dengan baik.

Nyatanya, Lukas tetaplah Lukas.

Bad Boy kelas kakap.

Yang ia lakukan sepanjang malam di diskotik adalah mengabaikanku. Ia asyik berjoget-joget dengan banyak wanita lain, minum-minum, bahkan bercumbu di hadapanku. Dan akhirnya itulah yang memicuku untuk ikut minum-minum, bertingkah gila di lantai dansa, lalu jatuh ke pelukan pria asing.

"Oke, aku tahu bahwa aku salah karena berharap terlalu banyak pada Lukas. Tapi bukan dia yang ingin kubicarakan," jawabku.

"Lalu?" Lisa kembali mengernyitkan dahi heran.

Aku kembali mendesah sebelum mulai bercerita, "Aku terlalu mabuk malam itu. Aku jatuh ke pelukan seorang pria. Entah bagaimana detailnya, kami melakukan One Night Stand, dan ... sekarang pria itu sedang mencari diriku."

"Untuk?"

"Meminta pertanggungjawaban karena aku telah mengambil keperjakaannya!"

"Hah?!" Lisa melongo. Ia menutup mulutnya sejenak, lalu terduduk di pinggir ranjang. Namun sejurus kemudian, perempuan itu tergelak. "Kamu pasti bercanda," ujarnya.

Aku memutar bola mataku jengkel. "Nope, I'm serious. Pria itu menemuiku, mengatakan bahwa pengalaman waktu itu adalah seks terbaik baginya dan--"

"Seks terbaik?" Lisa kembali terbahak.

"Lisa! Aku serius! Pria itu menemuiku, mencium bibirku dan meminta pertanggung jawaban dariku karena aku telah mengambil keperjakaannya!" jeritku.

Dan cara itu efektif untuk menghentikan tawa sahabat baikku tersebut. Kali ini ia menatapku serius lalu bertanya, "Okay, jadi apa yang dia inginkan? Apa ia menuntutmu ke jalur hukum? Melaporkanmu ke polisi? Menuduhmu melakukan pemerkosaan? Pelecehan seksual? Jangan bilang kalau kamu tidur dengan anak di bawah umur! Kalau sampai itu terjadi, tamat riwayatmu!"

"Nggak mungkin anak di bawah umur bisa klayapan ke diskotik," bantahku.

Lisa mencebik. "Kayak nggak tahu anak jaman sekarang aja," jawabnya. "Terus, dia minta apa dong dari kamu?"

"Dia mengajakku berkencan," jawabku tanpa ragu.

Kedua bola mata Lisa yang bulat indah mengerjap. Perempuan itu kembali ternganga lalu lagi-lagi tergelak. "It was a joking, wasn't it?"

Aku menggeleng. "Pria itu serius. Ia memintaku berkencan dengannya."

Lagi-lagi Lisa ternganga. Seolah apa yang barusan kukatakan adalah sebuah candaan.

"Wow ... ini... too good to be true." Ia berujar. "Mamamu pengen kamu cepet-cepet kawin karena menganggapmu sebagai perawan tua dan sekarang tiba-tiba ada lelaki yang dengan sukarela memintamu menikahinya. Wow, it's just ... wow." Berkali-kali ia menggeleng tak percaya.

Aku mendengkus lalu meraih ponsel di tas. Menyentur layar beberapa kali dengan perasaan gemas, aku menunjukkan benda tersebut ke arah Lisa. "Ini nomor pria itu. Telpon saja kalo kamu nggak percaya." Aku menunjuk deretan nomor di layar ponsel, nomor yang terakhir kali melakukan panggilan di ponselku.

Kali ini, Lisa terlihat mulai tertarik.

"Siapa namanya?"

"Patria Arcano," jawabku cepat.

"Nama yang bagus. Apa dia tampan?"

"Sangat," jawabku lagi.

"Lebih tampan dari Lukas?"

"Lebih tampan dari Lukas," ulangku tegas. "Ia tinggi, ia memikat. Senyumnya luar biasa, dan matanya juga luar biasa," lanjutku. Sekarang kami menatap layar ponsel yang sama.

"Aku nggak ingat tentang One Night Stand yang kami lakukan, Lis. Tapi percayalah, ia punya aura yang berbeda. Entah bagaimana menjelaskannya. Tapi percayalah, dia luar biasa." Dan tanpa sadar aku memuji pria itu dengan antusias.

"Kalo gitu terima aja tawarannya untuk kencan." Lisa berujar, enteng. "Dia minta tanggung jawab, kan? Ya udah, tanggung aja. Masalah cocok atau enggak itu dipikir belakangan aja. Yang penting kamu punya lawan untuk nikah, gitu. Biar mamamu nggak ngomel-ngomel mulu."

Aku terkekeh getir. "Aku akan nikah kalo ketemu orang yang cocok, bukan karena mamaku. I don't even care about her."

Lisa menggeleng. "Jangan gitu, gimanapun dia tetep mama kamu. Ya setidaknya, bersyukur sajalah karena masih punya mama. Daripada aku?"

"Mending nggak punya Mama daripada kayak gini—"

"Ge!" Lisa memotong. Aku mengangkat bahu cuek.

"Ya sudah. Temui pria itu, ajak ngobrol, dan gunakan kesempatan itu untuk saling mengenal. Siapa tahu jodoh." Perempuan itu kembali berujar.

Aku terdiam sejenak, lalu kembali mengangkat bahu. "Ntar deh kalau ada kesempatan ketemu lagi. Tadi aku ninggalin pria itu di jalanan begitu saja. Dan aku nggak yakin dia masih pengen ketemu aku lagi." Aku membalas. "Aku pulang."

"Cerita ya kalau ada perkembangan lagi." Lisa berucap antusias.

Aku mengangguk.

°°°

Dalam perjalanan pulang dari apartemen Lisa, ketika hendak sampai halte bus, ponselku berdering beberapa kali. Sempat terabaikan, akhirnya aku memutuskan untuk menerimanya.

Dari Lukas.

"Ya?" Aku menjawab malas-malasan.

"Kamu di mana?" Suara Lukas terdengar dari seberang sana.

"Mmm, dalam perjalanan pulang ke rumah. Tadi aku mampir dulu ke apartemen Lisa."

"Bisa bertemu denganku?"

Aku terdiam sejenak.

"Kamu tinggal bilang padaku di mana saat ini kamu berada dan aku akan segera menuju ke sana," ucap Lukas lagi, terdengar buru-buru.

Aku terdiam sejenak. Menarik napas berat, akhirnya aku menjawab, "Halte bus yang berada di depan apartemen Lisa. Jika dalam sepuluh menit kamu nggak muncul, aku pergi," jawabku kemudian lalu menutup pembicaraan.

Memasukkan ponsel ke tas, aku melangkah dan duduk di halte bus yang saat itu sedang sepi.

Menunggu Lukas, berharap agar dia tidak kecantol perempuan bahenol di tengah jalan. Karena jika itu sampai terjadi, aku bisa berjam-jam menunggunya.

Sebenarnya, aku dan Lukas sudah lama kenal. Aku sudah tahu sosoknya sejak kuliah semester awal. Kami sering berada di kelas yang sama, sering mengobrol juga. Jadi, bukannya aku tak tahu tentang kelakuan buruk Lukas. Sesungguhnya, aku mengenalnya dengan baik. Bahwa ia playboy, bahwa ia mudah tergoda dengan perempuan cantik, bahwa ia sering gonta-ganti pacar, bahwa sesungguhnya ia tak bisa setia dengan komitmen yang telah ia buat.

Tak munafik, aku pun berkali-kali punya pacar. Tapi bedanya, aku tak mudah tergoda seperti Lukas. Ketika membina sebuah hubungan, aku setia. Kalau toh aku putus, kebanyakan karena aku lah pihak yang dikhianati. Lisa bilang, tampilanku saja yang seperti playgirl, tapi aslinya tolol. Gampang tergoda, gampang dirayu.

Bisa jadi dia benar.

Ketika tiba-tiba Lukas ingin mengajakku pacaran setelah putus dengan pacarnya yang dulu, aku paham betul risikonya. Mungkin saja ia hanya main-main, mungkin saja ia hanya iseng, dan mungkin saja ia akan segera kepincut dengan perempuan lain.

Tapi layaknya di drama-drama romantis, aku selalu berharap Lukas insyaf. Berharap bahwa ia akan menemukan perempuan yang tepat, yang mampu menyudahi petualangannya dengan perempuan. Dan aku selalu berharap, bahwa aku lah sosok yang mampu menakhlukan hatinya.

Seperti cerita klise di roman picisan, di mana seorang playboy kelas kakap jatuh cinta pada sahabatnya sendiri dan akhirnya mereka hidup bahagia selamanya.

Sayangnya, aku terlalu naif.

Lukas tetaplah Lukas.

Ia tak berubah.

Aku tak bisa merubahnya.

Dan sepertinya, aku memang bukan perempuan yang tepat yang mampu menyadarkan dirinya.

°°°

Sepuluh menit menunggu, pria itu datang. Mengendarai SUV metalik kesayangannya, ia menepi perlahan di sisi halte bus tempatku berada.

Tanpa menunggu ia keluar, aku beranjak mendekati mobil tersebut.

Kaca mobil ia turunkan dan kepalanya melongok. "Naiklah. Aku ingin bicara denganmu," ucapnya. Ia bahkan tak perlu repot-repot membukakan pintu untukku.

Jangankan membukakan pintu, turun dari mobil saja tak ia lakukan.

Menatap pria itu sejenak, aku sempat menertawakan diriku sendiri. Sungguh, aku menertawakan ketololanku selama ini.

Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta dengan makhluk ini?

Sosok pria yang bahkan tak bisa bersikap manis padaku.

Dan tak gentle.

"Ayolah," titahnya lagi. Terdengar tak sabaran.

"Waktuku nggak banyak. Aku harus sampai rumah. Sudah hampir malam," bantahku.

Lukas terkekeh. "Kamu? Takut kemaleman? Bukankah selama ini kamu emang sering pulang larut?"

Aku menggigit bibir. "Oke, kalau gitu nggak ada yang perlu dibicarakan lagi." Aku berbalik.

"Ge," panggil Lukas buru-buru. "Sorry. Baiklah, kita bisa bicara sambil jalan. Aku yang akan nganterin kamu. Aku janji, nggak banyak yang akan kubicarakan." Pria itu berucap lagi, masih dalam posisi di belakang kemudi.

Aku mendesah. "Baiklah," jawabku kemudian. Aku menarik handle pintu dan masuk ke mobil Lukas dengan berat hati.

°°°

"Aku ingin minta maaf secara langsung tentang beberapa malam yang lalu." Lukas membuka suara setelah mobil berjalan pelan.

"Sungguh, Ge. Aku nggak bermaksud – apa ya? – mengabaikanmu maksudku? Aku nyusulin kamu ke diskotik dengan maksud agar kita bisa memperbaiki hubungan kita, nyatanya ..." Pria itu menarik napas berat. "I screwed up."

Aku terkekeh. "Kamu bercumbu dengan wanita lain di depanku. Perempuan yang baru kamu kenal beberapa menit," ucapku. Menyimpan amarah untuk Lukas adalah percuma, buang-buang energi. Jadi aku memilih untuk berdamai dengan diriku sendiri.

"Itu kelemahanku. Aku___"

"Gampang tergoda pada perempuan lain," potongku.

Lukas menyeringai pasrah. Dan aku kembali tertawa lirih. "Kita nggak cocok membina hubungan asmara, Lukas. Dan sejujurnya, kamu nggak cocok membina hubungan asmara dengan perempuan mana pun. Kamu gampang tergoda, kamu gampang berpaling, dan kamu nggak bisa setia dengan satu wanita. Jadi ...."

"Aku tahu. Sudah kubilang, kelemahanku di situ. Aku gampang tergoda dengan perempuan lain. Aku suka berpindah dari pelukan perempuan yang satu ke pelukan yang lainnya. Aku sudah mencoba untuk memperbaiki diriku, mencoba untuk setia, tapi... aku nggak bisa." Ia menatapku sekilas, lalu fokus lagi ke jalan raya. "Aku hanya perlu melihat senyum manis mereka dan sudah bisa dipastikan, aku pasti berakhir di ranjang bersamanya."

Aku tergelak. Betapa aku begitu tolol karena percaya dengan bedebah tengik di sebelahku.

"Aku bisa saja mencampakkanmu, Ge. Aku bisa saja mengabaikanmu begitu saja seperti yang kulakukan pada perempuan lain, toh kita sudah ... pernah berhubungan intim beberapa kali. Nyatanya, aku nggak bisa. Aku merasa bersalah padamu karena aku menyakitimu dan tak setia."

Aku kembali terkekeh getir. Dalam beberapa hal, aku setuju dengan pendapat Mama tentang diriku. Bahwa aku gampangan, dan ... murahan.

Terlibat dengan pria brengsek beberapa kali, bisa-bisanya aku berakhir di ranjang mereka. Seolah diriku memang bukan perempuan baik-baik.

Mungkin itu pula sebabnya, tak ada lelaki yang mau berhubungan secara serius denganku. Karena aku yang ... begitulah.

"Lalu? Apa yang kamu inginkan?" tanyaku kemudian.

"Aku ingin kita tetap seperti dulu. Mengobrol seperti biasanya, bercanda, dan... bersahabat. Aku berharap kamu nggak memusuhiku, Ge." Kali ini ucapan Lukas terdengar tulus.

"Oke, nggak masalah," jawabku enteng.

"Serius?" Lukas menatapku tak percaya. Dan aku mengangguk santai.

"Ngomong-ngomong, malam itu kamu pulang dengan selamat, kan? Kamu nggak diganggu orang lain, kan? Aku terlalu banyak minum alkohol dan aku nggak ingat tentang dirimu. Aku baru sadar keesokan harinya dan__"

"Aku baik-baik saja dan pulang dengan selamat," sahutku cepat.

Lukas manggut-manggut. Kami mengobrol sejenak seperti biasanya sebelum aku meminta diturunkan di tikungan yang masih beberapa blok dari rumah. Aku berbohong dan mengatakan ingin membeli sesuatu dulu di mini market seberang jalan.

Sesungguhnya aku ingin cepat-cepat menyudahi obrolan kami sebelum aku hilang kendali dan melemparkan salah satu sepatu ke kepalanya karena dia tetap saja membicarkan kejadian di diskotik tanpa rasa bersalah!

Sesaat setelah turun dari mobil, aku menatap pria itu dari jendela yang kacanya masih terbukan. "Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu," ujarku.

"Apa?" tanya Lukas antusias.

"Seks denganmu bukanlah seks terbaik bagiku. Itu... sedikit membosankan." Aku tersenyum, lalu berbalik. Meninggalkan Lukas yang masih nampak bengong.

Persetan.

°°°

Aku yakin jam alarm-ku di atas nakas belum berbunyi. Dan sangat yakin ini belum waktunya untuk bangun tidur. Tapi goyangan kencang di bahuku berhasil memporak-porandakan mimpi manisku.

"Ge, bangun!" Itu suara Mama. Terdengar buru-buru dan cerewet seperti biasanya.

"Hm?" Aku hanya menyahut pendek.

"Bangunlah!" Mama kembali bersuara, kali ini lebih keras, dibarengi dengan tepukan di bahu.

Aku mengerang dan menggeliat, belum berhasil membuka mata.

"Bangunlah, ada tamu," ucap Mama lagi.

"Siapa?" Aku menjawab sambil menggeliat. Mulai berhasil membuka mata, sedikit.

"Entah. Bangun dan lihatlah sendiri. Cepat." Mama makin tak sabaran.

Setelah mengerjap berkali-kali, aku duduk. Melirik sekilas ke jam digital, jam 6 lebih 2 menit. Ah, harusnya aku bangun dua puluh menit lagi.

"Ayolah!" Perempuan itu menarik lenganku tak sabaran.

"Iya, iya, sabar dong, Mah," jawabku.

Mengikuti tarikan tangan Mama, aku menyingkap selimut lalu mengikuti langkahnya keluar. Menuju ruang tamu.

Aku bahkan belum sempat mencuci muka.

°°°

Ketika sampai di ruang tamu, aku dibuat terkejut ketika menyaksikan sesosok makhluk tampan serupa legolas tengah duduk dengan santai di kursi, diseberang Papa.

Tadinya mereka seolah tengah terlibat obrolan. Namun begitu melihat kedatanganku, obrolan mereka terhenti, dan pria berambut panjang itu menatapku.

Dan sebuah senyum sumringah mengembang di bibirnya. "Hai." Ia menyapa ramah.

Aku menelan. Astaga, Pria kemarin!

"Aku cuci muka dulu." Dan aku melesat menuju kamar untuk mencuci muka. Jumpalitan ke sana kemari mengganti baju tidurku dengan celana santai dan kaos longgar bergambar Pororo. Tak sempat menyapukan bedak, hanya sempat menyisir rambut asal.

Sekian menit kemudian aku kembali ke ruang tamu. Papa dan Mama duduk berdampingan di depan lelaki itu.

"Jadi, ada apakah ini?" tanyaku langsung.

Ayah menarik napas lalu menatapku. Ekspresinya tampak kesal. Berbanding terbalik dengan ekspresi yang dipaparkan pria legolas di hadapannya.

"Ge, jadi sebenarnya apa yang kamu lakukan padanya?" Papa bertanya seraya menatapku datar.

"Memangnya aku ngapain?" tanyaku bingung.

"Dia bilang kamu mengambil keperjakaannya dan sekarang dia datang ke sini untuk meminta pertanggung jawaban darimu."

"Hah?" Aku melotot. Menatap ke arah Papa dan Mama secara bergantian, lalu beralih ke pria yang masih duduk santai di kursinya.

Pria itu mengangguk. Seolah menguatkan apa yang telah dikatakan Papa.

"Aku datang ke sini, menemui ayah dan ibumu secara langsung untuk meminta pertanggungjawaban darimu. Nikahi aku," ucapnya datar.

Gubrakk!!

Aku tercengang. "APAAA??!!"

°°°

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro