03. Jangan Panggil Aku 'Dek'

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ini salah paham, sumpah!" Aku buru-buru menatap Papa dan Mama yang masih nampak syok. "Nanti pasti akan kujelasin. Sebelumnya, biar kami bicara dulu di luar, permisi," ucapku kemudian lalu berjingkat.

Kuhampiri pria dengan rambut serupa duta shampoo tersebut lalu kuremas bahunya. "Ayo," ajakku. Awalnya ia enggan beranjak, tapi karena aku menatapnya tajam, akhirnya ia luluh. Mencengkeram erat lengan tangannya, aku menyeretnya keluar rumah. Postur tubuhnya yang menjulang membuatku sempat kesulitan. Terlebih ketika ia pun enggan melangkahkan kaki. Berat sekali sosok ini.

"Dari mana kamu tahu rumahku?" Aku mengomel sepanjang jalan.

"Gampang. Aku tahu tempat kerjamu. N3W studio foto, aku nanya-nanya orang di sana." Ia menjawab enteng.

Sambil mengeram dengan amarah dan setelah mengerahkan seluruh tenaga yang kupunya, akhirnya pria itu berhasil kuseret keluar. "Pelan-pelan, dong." Ia mengomel. Tak kugubris. Aku bahkan menggunakan kedua tanganku untuk menarik tangannya. Teras terlalu dekat, Papa dan Mama bisa jadi mendengar obrolan kami. Akhirnya, aku nekat mengajaknya menyeberangi jalan.

"Kita mau ke mana, sih?" Ia ngedumel.

"Ya, ke sini." Aku menjawab ketus.

"Bukankah lebih baik kita mengobrol di dalam sana, ketemu langsung sama orang tuamu."

"Ngapain?" Kali ini aku menjerit.

"Ya ngomongin pernikahan kita nanti." Ia berujar enteng.

Aku menatapnya syok. Bisa-bisanya ia ngomongin pernikahan dengan nada seenteng ini? Toh kami juga nggak terlalu kenal. Ketemu aja baru dua kali. Koreksi: tiga kali. Hanya saja yang pertama ketika-- kami begituan, aku nggak terlalu ingat. "Yang mau nikah sama kamu, siapa?" jeritku lagi.

Pria itu meraih ponsel di saku lalu menatap layar sejenak. Mengenakan kaos polo biru laut dan celana Chino krem, tampilannya kasual seperti pertama kali kami bertemu beberapa waktu lalu. Rambut panjangnya yang terurai indah memang serupa Anggun C. Sasmi, tapi aura tubuhnya, duh, pokoknya lakik!

"Gimana, dong? Aku sudah terlanjur bilang sama Ayahku." Ia berujar tenang.

"Buat apa?" Aku menatapnya bengong.

"Ngelamar kamu secara resmi. Aku bilang kalau aku mau nikah dan beliau sedang dalam perjalanan ke sini." Ia menyeringai, menunjukkan barisan giginya yang putih rapi.

Untuk kesekian kalinya aku ternganga. Busyet. "Kamu stres apa gimana, sih?" Aku benar-benar tak mampu mengontrol emosi sekarang. Bergerak, kurenggut ponsel dari tangannya. Mengecek panggilan, ada kontak bernama 'Ayah' di telepon keluar. Buru-buru aku menyerahkan kembali ponsel itu ke arahnya. "Batalin," pintaku. "Telpon Ayahmu dan bilang untuk nggak datang ke sini. Ayo, cepet."

Ketika tak kulihat respon melegakan dari sosoknya, aku kembali berujar, "Aku janji, setelah ini kita akan mengobrol lagi, berdua. Ngomongin pernikahan, apapun you named it, akan kita bahas tuntas. Yang jelas, nggak sekarang. Aku belum siap. Oke?" Kali ini aku menurunkan segala ego demi untuk menenangkan pemuda aneh di hadapanku ini.

"Janji?" Ia menatapku dalam.

"Janji." Aku menjawab cepat. "Aku sudah menyimpan nomormu dan nanti akan kuhubungi agar kita bisa buat janji untuk ketemuan berdua."

"Aku maunya nanti malam. Tempatnya terserah."

Dih, maksa banget sih orang ini. "Oke, fine," jawabku buru-buru. "Sekarang, kamu pergi dulu. Naik taksi atau bis atau apa, kek, terserah." Aku celingukan. Kebetulan ada taksi lewat dan aku segera menghentikan kendaraan itu tanpa berpikir lagi lalu meminta pria tersebut naik. "Naiklah, nanti akan aku telpon."

"Janji ya kamu nanti bakal telpon aku."

"Iyaaaa."

"Awas kalo kamu bohong, aku akan datang ke rumahmu lagi, bahwa penghulu sekalian."

Aku ternganga. Ya Gusti, anak ini dari manaaa??

Sebelum sosok itu beranjak ke dalam taksi, ia kembali berkata, "Masih ingat namaku, kan?" Kali ini tatapannya serius.

"Masih." Aku menjawab yakin.

"Siapa coba?"

Lah, diajak tebak-tebakan. "Patria Arcano." Dan aku menyebutnya dengan gamblang.

Pria itu tersenyum cerah, "Nah, gitu, dong. Nama calon suami sendiri harus diingat baik-baik. Panggil aku Arcano, Can, Cano, atau apapun. Dipanggil 'Sayang' juga boleh."

"Udah, masuk sana." Tak kunjung masuk ke kendaraan, aku bergerak mendorong tubuhnya pelan. Setelah itu pintunya kututup, dan aku minta pak sopir untuk bergerak. Namun sebelumnya, pertanyaan itu terlontar, "Ngomong-ngomong, berapa usiamu?"

"Dua puluh dua tahun." Ia menjawab penuh semangat.

Tanpa sadar, aku menarik napas lega. "Untunglah, bukan anak di bawah umur," bisikku.

Sosok itu melongokkan kepala. "Usiaku udah legal untuk melakukan hubungan seks dan juga nikah." Ia menjawab gamblang. Melirik sekilas ke arah sopir taksi, raut wajah lelaki itu terlihat syok. Buru-buru ku dorong kepala Arcano ke dalam kendaraan lagi. "Pak, ayo jalan. Cepet," teriakku.

"Jangan panggil aku 'Dek'! Awas aja!" Dan masih sempat-sempatnya ia berteriak dari balik jendela taksi.

Setelah ia pergi, aku segera berlari kembali ke rumah. Papa dan Mama masih duduk di ruang tamu. Terlihat keduanya serius mengobrol, terlihat dari raut wajah mereka. Manakala aku muncul dari balik pintu, keduanya terdiam.

"Sorry, tadi salah alamat. Kami nggak saling kenal, dan sekarang pria itu sudah pulang." Aku berlalu menuju kamar. Mama memanggil namaku lantang dan mengikuti langkahku. Menolak menerima sekelumit penjelasan yang kulontarkan. Sudah kuduga, menghadapi beliau tak akan mudah.

"Mama tahu kamu bohong. Ayo ceritakan ada apa yang sebenarnya? Siapa pemuda tadi dan apa yang terjadi antara kalian?" Emosinya meledak. "Seumur-umur, baru kali ini lho, Ge, Mama nemu hal murahan kayak gini. Seorang lelaki datang ke rumah dan minta dinikahi? Dan kalo Mama nggak salah duga, usianya bahkan berada jauh di bawahmu. Apa yang sudah kamu lakukan padanya? Kamu pasti tidur dengannya, kan?" Suaranya menggema di dalam kamarku yang tak luas.

Aku menatap perempuan yang berdiri kaku di depan ranjangku. Walau umurnya makin menua, tak bisa dipungkiri kalau Mama sosok yang cantik pada masanya. Terlihat jelas dari foto masa muda yang masih awet terpajang di dinding kamarnya. Postur tubuhnya bagus dan kulitnya eksotis. Ia dikaruniai wajah rupawan dengan senyum manis, hidung mancung, dan kedua mata yang bening. Sekarang, walau berat badannya berubah, banyak tambahan lemak di lengan dan juga perut, tetap saja gurat-gurat kecantikan masih ada. Bahkan ketika beliau hanya mengenakan daster selutut ataupun kulot dengan blouse longgar tanpa make-up, kecantikannya tak pudar.

"Kalo emang aku tidur dengan pria tadi, emang Mama mau apa? Nyuruh kami cepet-cepet kawin gitu? Biar Amel juga bisa cepet-cepet nikah sama pacarnya? Gitu, kan?" Aku menjawab santai seraya menghempaskan tubuh ke kasur.

Rahang Mama kaku. Nyaris saja salah satu tangannya terangkat untuk memberiku tamparan. Tapi karena tatapan kami beradu, akhirnya pukulan itu urung melayang.

"Ge, Mama bener-bener nggak habis pikir sama kelakuan kamu." Ia mendesis emosi. "Kamu bener-bener kayak wanita murahan. Di mana harga dirimu sebagai perempuan?!"

"Ma ...." Aku mengerang lelah. "Yang Mama katain 'murahan' ini anak kandung Mama, lho," ucapku. "Kecuali kalo aku anak pungut, maka nggak heran kalo Mama selalu tega ngomong jelek tentang aku. Atau emang aku anak pungut? Di mana Mama memungutku? Di tempat sampah? Di rumah pelacuran? Atau di mana?!" Aku menjerit.

"Aku yang melahirkanmu dengan bertaruh nyawa! Berani-beraninya kamu melawan Mama!"

"Lalu kenapa selama ini Mama memperlakukanku seperti anak pungut?!" Suaraku kembali meninggi karena provokasi dari Mama.

"Itu semua karena perbuatanamu sendiri, Ge. Kamu bandel, kamu nakal, kamu rusak! Kamu salah pergaulan! Kamu nggak pernah bisa dibilangin! Adik-adikmu bisa patuh, kenapa kamu enggak?!"

Mematung, rasanya ada yang berserakan di dada. Demi Tuhan, aku tak pernah suka dibanding-bandingkan dengan adikku. Walau ... kata-kata Mama benar adanya. Bahwa, yeah, adik-adikku patuh, dan aku tidak.

"Mama nggak pengen kamu terperosok lebih dalam seperti perempuan-perempuan jaman sekarang yang nggak jelas, yang suka dugem, suka mabok, dan akhirnya hamil di luar nikah!" Wajah Mama memerah.

Aku menggigit bibir. Untuk sejenak, aku kembali merasa jantungkuk tertohok. Well, iya, Mama benar. Aku bandel sejak kecil, wajar saja jika Mama memperlakukanku berbeda.

"Masa-masa itu sudah lewat, Ma! Usiaku sudah tiga puluh tahun, aku tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Mama nggak harus menyetirku untuk begini begitu." Aku berujar getir.

"Tahu apanya? Toh kamu selalu durhaka sama Mama!"

"Lalu aku harus bagaimana?! Mama pengennya aku kayak gimana?! Jawab, Ma!"

"GLORIA!"

Dalam singkat, keributan antara kami kembali pecah. Mama berteriak terus menerus, dan aku membalas. Seperti biasa. Papa datang ke kamar dengan tergopoh berusaha melerai pertengkaran kami. Ia menggamit bahu Mama lalu mengajaknya keluar. Meninggalkanku dengan napas terengah. Lelah usai berteriak marah.

Tadinya aku berniat tidur kembali. Namun karena perubahan mood, akhirnya kuputuskan untuk mengguyur tubuh di kamar mandi, berganti baju dengan jeans dan kaos ketat lengan pendek, lalu pergi. Nafsu sarapan pun lenyap. Aku hanya ingin cepat-cepat pergi dari rumah, titik.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro