04. Cuma Kamu Yang Bisa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mbak Susan, staff counter di studio foto menatapku heran ketika menyaksikanku sudah duduk manis di depan layar monitor.

"Wow, pagi sekali, Ge." Ia menyapa. Aku tersenyum lalu mengangguk.

"Apa ada jadwal pemotretan?" Perempuan yang usianya setahun lebih tua dariku itu bergerak ke mejanya, membuka laci untuk memasukkan kunci motor, lalu ikut menyalakan komputer. Tubuh mungilnya dibalut blouse hitam sederhana dan rok bunga-bunga. Rambut keriting alami dikuncir agak rendek, cantik alami. Tanpa make up berlebih, penampilannya mirip perempuan berusia dua puluh satu tahun. Padahal anaknya sudah dua, yang pertama usia enam tahun, dan yang kedua baru depalan belas bulan.

"Nggak ada, Mbak. Tapi ada beberapa foto yang perlu kuedit." Aku menjawab asal. Padahal sedari tadi layar monitorku hanya menunjukkan gambar pemandangan sebagai latar dekstop.

Banyak yang mengira bahwa keberadaanku di studio foto ini karena ini adalah passion-ku, hobiku. Kalau bukan passion maupun hobi, mana mau aku kerja freelance yang terkadang gajinya tak seberapa.

Sebetulnya, menjadi fotografer bukan impianku. Dan sejujurnya, aku memang tak punya impian apa-apa. Entah sejak kapan, kalau tidak salah, sejak kelas empat sekolah dasar, mungkin. Tiba-tiba saja tak ada hal menarik yang ingin kulakukan. Ketika dulu Bu Guru bertanya pada teman-teman tentang cita-cita mereka, jawaban antusias akan selalu kudengar; Jadi dokter, jadi guru, jadi tentara, jadi insyinyur, dan lain sebagainya.

Namun ketika giliranku untuk menjawab, maka aku akan selalu berkata, "Nggak tahu."

Sebenarnya, bukan karena 'Nggak tahu'. Pada dasarnya, tak ada yang benar-benar ingin kugapai. Rasanya kosong, hampa. Kadang aku menertawakan masa-masa itu.

Cita-cita? Cih. Cita-cita hanyalah mimpi untuk anak kecil. Ketika dewasa, kami mengerjakan apa yang ada.

"Oh iya, Ge, kemarin kamu dicariin Mbak Nindy."

Mbak Nindy adalah kakak perempuan Mas Oky, sang pemilik studio foto. Punya butik kecil-kecilan, promosinya kadang dibantu Mas Oky. Terutama untuk pemotretan untuk katalog-katalog produk.

"Ada apa, Mbak?"

"Ada tawaran untuk jadi foto model. Kata Mbak Nindy, kamu punya kecantikan dan kulit yang unik, cocok untuk konsep pemotretan yang ia gagas." Mbak Susan menatapku sekilas lalu asyik menatap layar monitor kembali.

"Nggak mau." Aku menjawab cepat. Ini kali ketiga tawaran itu datang. Beberapa waktu lalu Mbak Nindy malah sempat datang menemuiku langsung, memintaku untuk mengenakan baju-baju dari butiknya karena talent yang biasa ia jadikan foto model memutuskan untuk berhenti. Aku sudah menolak tegas tawarannya, bahkan sempat merekomendasikan Lisa, walau pada akhirnya ditolak. Mbak Nindy bilang, kulit Lisa kurang eksotis, kurang cocok untuk konsep baju buatannya.

"Honornya lumayan, lho, Ge. Daripada gantiin Mas Oky yang kadang-kadang aja." Kali ini Mbak Susan tak menatap diriku.

Terdiam sejenak, aku kembali menjawab tidak. Tak dapat kubayangkan akan menjadi sorotan di depan kamera. Selama ini aku nyaman mengarahkan lensa kamera ke obyek lain, bukan sebaliknya.

Ketika tengah asyik menatap komputer di hadapanku, ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk di aplikasi WA. Pop-up muncul, dan nama Lisa tertera di sana. Mengusap layar, pesan itu kubaca.

[Ge, aku memutuskan untuk pindah tempat tinggal ke rumah kost saja. Aku nyerah sama sewa apartemen ini. Kerjaan sepi, nggak ada duit buat bayar.]

Sejak beberapa waktu lalu Lisa sudah mengutarakan keinginannya untuk pindah ke tempat kost. Cari yang lebih murah dan lebih terjangkau katanya. Event sudah semakin sepi, ia kesulitan membayar sewa.

[Kabari aku kalo sudah dapat tempat baru.] Aku menulis.

[Sudah dapat. Siang ini mau pindahan. Dibantu Dion.]

Keningku mengernyit. Cepat sekali. Akhirnya aku membalas pesan tersebut.

[Oke. Kirimkan alamatnya, ntar aku ke situ sepulang kerja.]

Tak berapa lama, sebuah share-loc kuterima.

[Gak buruk-buruk amat, kok. Masih nyaman.] Kali ini Lisa kembali mengirimi pesan disertai beberapa foto sebuah kamar kost yang minimalis. Lumayan kecil.

[Kecil gini.] Aku menuliskan komentar.

[Gpp, Bestie. Ntar aja kalo dapat suami kaya, aku pindah lagi ke apartemen yang mevvah.] Disertai emotikon tawa lebar.

Aku tersenyum lalu membalas pesannya.

[Semoga sukses, Bestie. Doakan juga aku dapat suami kaya, biar bisa dapat apartemen juga.]

Dan emotikon tawa bermunculan. Lalu obrolan berakhir.

Tiba-tiba aku kembali ingat, bahwa sebetulnya Lisa pernah punya pacar kaya raya. Sayangnya ia kurang beruntung. Beberapa pria kaya raya yang pernah menjalin hubungan dengannya ternyata adalah suami orang. Atau ada juga yang ternyata punya banyak wanita simpanan. Kadang, wajah cantik juga bukan jaminan bahwa percintaan akan berjalan lancar dan happy ending layaknya di drama-drama. Lisa adalah contoh nyata bahwa kadang, cantik itu luka.

Persahabatanku dengan perempuan itu pun terjalin secara tak sengaja. Masih berhubungan juga dengan pria kaya yang berada di sisinya. Sekitar tiga tahun lalu, bermula dengan sebuah keributan di tempat parkir sebuah club malam.

Aku baru datang bersama-sama teman-temanku yang lain, baru turun dari mobil, ketika kulihat seorang wanita terlibat perkelahian dengan beberapa wanita yang lain. Lebih tepatnya, satu orang wanita dikeroyok beberapa orang. Awalnya aku abai. Keributan seperti ini sering kutemui, entah di halaman parkir, maupun di dalam gedung. Jadi kupikir ini pasti keributan-keributan umum seperti biasanya. Sampai akhirnya, kalimat itu kudengar.

"Dasar lont3. Kamu pasti merayu suamiku, kan? Apa aja yang udah dia berikan ke kamu? Mobil, perhiasan, apartemen mewah?" Perempuan yang berhasil menampar wajah Lisa berteriak penuh amarah.

"Aku nggak tahu kalo dia sudah nikah. Dia bilang kalo ia masih single!" Dan Lisa menjawab.

"Halah! Nggak usah cari alasan! Kamu pasti merayunya, kan? Nggak mungkin suamiku mau tergoda sama perempuan rendahan sama kamu?" Dan teriakan itu kembali menggelegar.

"Dia mendekatiku duluan, Mbak. Tanpa menyebutkan kalo dia udah ada istri."

"Omong kosong!"

Dan adu mulut di antara mereka akhirnya membuatku mengambil keputusan; Aku akan ikut campur.

Mengabaikan peringatan teman-temanku, aku lantang melibatkan diri ke dalam keributan.

Serius, selalu seperti ini. Kenapa setiap ada perselingkuhan, hanya pihak perempuan yang disalahkan, dicaci, bahkan dipukuli? Perselingkuhan itu terjadi karena dua orang, tidak mungkin salah satu. Misal si perempuan juga salah, harusnya bukan hanya dia yang dihajar, tapi juga si laki-laki. Kenapa? Karena dia berperan paling besar dengan hubungan terlarang tersebut. Mau secantik apapun si wanita penggoda, kalau si laki-laki menghormati sang istri, menghormati pernikahan yang suci, maka affair itu takkan terjadi.

Percayalah, tidak akan ada celah untuk orang ketiga andai setiap pasangan di muka bumi ini setia.

Andai itu terjadi padaku, punya pasangan yang tergoda perempuan lain, maka aku tidak akan segan untuk meninggalkannya. Aku takkan pernah takut kehilangan pria yang tak setia.

"Kenapa bukan suamimu saja yang kamu pukuli?!" teriakku. Sontak, kalimatku membuat keributan di antara mereka terjeda. Beberapa wanita yang melakukan pengeroyokan mengalihkan perhatiannya ke arahku.

"Eh, siapa kamu? Datang-datang kok ikut campur."

"Aku sedang nanya. Yang berkhianat suamimu, kenapa bukan dia yang kamu pukuli?" Kali ini tatapanku singgah pada perempuan yang paling agresif melakukan caci maki sejak tadi. Perempuan yang protes karena suaminya kepincut perempuan lain.

"Jangan ngomong sembarangan kamu!"

"Aku udah ngomong sembarangan, mau apa kamu?"

"Kalian komplotan, kan? Komplotan pelakor?"

"Cih, kayak suamimu paling ganteng sedunia aja." Aku tergelak, yang akhirnya menyulut emosi wanita-wanita tersebut, dan perkelahian tak dapat dihindarkan.

Begitulah akhirnya, kami semua terlibat perkelahian membabi buta. Adu jambak, saling tampar, saling tendang, pokoknya semua. Keributan itu terhenti ketika beberapa security datang melerai dan membawa kami ke kantor. Mencoba mendamaikan keadaan namun gagal karena perempuan kesurupan tadi masih saja merangsek dan mencoba menarik rambutku. Sampai akhirnya seorang lelaki tinggi berpenampilan rapi datang di tengah-tengah kami dan mendamaikan situasi. Belakangan kuketahui bahwa pria tadi adalah suaminya.

Setelah sempat alot, wanita itu berhasil di bawa pergi. Meninggalkan diriku dengan perempuan yang tadi dituduh pelakor. Keadaan kami berdua tak jauh beda. Berantakan, muka bonyok, dan bibir berdarah-darah. Dan begitulah, kami berkenalan, dan akhirnya bersahabat.

Sungguh awal persahabatan yang aneh.

***

"Keren, rapi, dan bersih." Aku menatap seisi kamar kost Lisa sambil berkali-kali memuji. Tempat ini memang jauh berbeda dengan apartemennya semula. Tapi untuk ukuran tempat tinggal murah, ini tak buruk-buruk amat. Beberapa barang sudah berhasil dipindahkan dan ditata. Tak begitu banyak ternyata. Dion yang membantu.

"Dion baru aja pulang." Lisa menjawab ketika aku menanyakan keberadaannya. Pria itu mungkin tak terlalu tampan dan tidak banyak uang, tapi percayalah, dia selalu bisa diandalkan mana kala dibutuhkan. Sebelum kenal denganku, mereka sudah jauh lebih dulu bersahabat. Lisa bilang, Dion-lah yang senantiasanya membantunya dalam masa-masa sulit.

Terkadang aku mengejeknya dan meminta mereka berpacaran, tapi Lisa bilang, persahabatan di antara mereka jauh lebih indah daripada hubungan asmara. Tipe-tipe hubungan platonik yang akhirnya kejebak friendzone.

"Aman nggak lingkungannya?" Aku melongokkan kepala keluar jendela, menunjuk bahwa kamar kost Lisa ada di lantai tiga, tidak ada lift, tidak ada penjaga.

"Aman. Dion udah survey lama, kok." Lisa menjawab semringah. "Ngomong-ngomong, cowok yang kamu ceritakan gimana? Itu, yang ngajakin kencan dan minta pertanggung jawaban?"

Demi mendengar pertanyaan Lisa, aku jumpalitan meraih tas di atas ranjang, mengubek-ubek isinya untuk mencari ponsel. Astaga, aku hampir saja lupa untuk menelpon. Padahal aku sudah janji. Mengusap layar beberapa kali, akhirnya panggilan itu kulakukan.

"Halo?" sapaku lebih dulu.

"Kirain kamu bohong." Suara pria dari seberang sana. "Sekarang bisa ketemuan, kan? Di mana?" Ia terdengar buru-buru.

Melirik ke arah Lisa yang sudah nampak penasaran, aku menjawab ragu. "Begini, aku nggak bisa melakukan pertemuan berdua saja sama kamu. Jadi jika kamu masih pengen kita ketemuan dan ngobrol, bagaimana kalo kamu datang ke tempat kost temanku?"

"Teman? Cewek apa cowok?"

"Cewek."

"Oh, syukurlah." Suara itu kembali renyah. "Namanya?"

"Lisa."

"Lisa Blackpink?"

Aku nyaris saja tersedak. Kok bisa-bisanya dia tahu Lisa Blackpink. "Bukaaan ...." teriakku. Lalu terdengar gelak tawa. "Baiklah, kirimkan alamatnya, nanti aku ke situ."

Dan dalam waktu singkat, lokasi kost Lisa sudah ku kirimkan pada pria tersebut.

***

Kamar kost Lisa lumayan sempit, tanpa ruang tamu. Jadi ketika Arcano datang, dia duduk di sofa depan jendela, sementara aku dan Lisa duduk di pinggiran ranjang.

"Lisa, ini Arcano. Arcano, ini Lisa." Demi mencairkan suasana, aku memperkenalkan nama mereka. Arcano tersenyum semringah lalu menyapa, sementara Lisa yang sempat mematung, buru-buru berbisik lirih di telingaku, "Astaga, dia cakep banget, Ge."

Aku meliriknya sekilas lalu menyikut pinggangnya gemas.

"Jadi gini, kita akan mengobrol bertiga. Lisa akan tetap di sini bersamaku. Percayalah, dia dapat dipercaya. Jadi, apapun yang akan bicarakan nanti---,"

"Nggak masalah, yang penting ada kamu." Arcano memotong. Pria yang kali ini mengenakan celana jeans, sneaker dan kaos lengan pendek itu bersikap tenang. Duduk bersandar dengan kaki disilang, tangannya bersedekap di dada. Rambutnya yang serupa duta shampoo berjatuhan di seputar bahu dan lengan.

Melirih kembali ke arah Lisa, perempuan itu tampak menatapnya dengan mata berbinar dan nyaris mengeluarkan air liur. Aku bahkan harus menyikut lengannya beberapa kali demi untuk menyadarkan dirinya.

"Jadi gini ... Arcano ...." Aku memulai pembicaraan. "Well, aku salah ... Kita salah, melakukan sesuatu yang nggak seharusnya. Aku minta maaf secara pribadi, barangkali malam itu aku yang kebablasan hingga merayumu. Nggak ada niat sama sekali untuk ... merenggut keperjakaanmu. Lagipula, sejujurnya, aku nggak percaya kalo kamu masih perjaka ...."

"Ge!" Lisa berteriak di telingku. Sementara pria yang masih duduk santai di hadapanku, tak bergeming. Terlihat syok tidak, tersinggung juga tidak. Dan aku mulai yakin, kalau dia hanya menipuku.

"Lihatlah, maksudku, kamu ... tampan, kamu seksi, kamu ... kaya." Menyaksikan apa yang dikenakan Arcano pada pertemuan kami beberapa kali, aku berani menyimpulkan bahwa ia berasal dari keluarga yang cukup berada. Dimulai dengan SUV hitam metalik yang ia kendarai pada saat kami bertemu untuk kedua kalinya. Kemudian barang-barang yang melekat di badan, sneaker harga jutaan, celana, kaos, dan ... that Rolex.

Gila. Apa dia anak orang kaya yang kesasar? Atau bagaimana?

"Kamu pikir aku percaya kalau kamu masih perjaka? Tentu saja enggak." Aku melanjutkan kalimatku lagi. "Lagipula, kamu bilang itu adalah hubungan seks pertamamu? Bagaimana mungkin kamu mengatakan itu seks terbaik, sementara kamu bilang itu adalah pertama kalinya kamu melakukannya?" Kali ini kalimatku menggebu-gebu.

"Memangnya faktanya begitu, kok. Itu pertama kalinya aku melakukan seks dengan penetrasi."

Aku mengerjap. Gimana-gimana?

"Maksudnya?"

Sosok itu mengangkat bahu. "Maksudnya, selama ini tytyd-ku nggak bisa berdiri. Cuma sama kamu aja yang bisa."

Aku ternganga. Menatap ke arah Lisa, dan perempuan itu memberikan ekspresi yang sama.

Hah?

***

Mohon maaf kalo update-nya lambat. Masih sibuk ngurusi Konoha beserta para ninjanya, wkwkwk... 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro