08. Nikah Kontrak?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Cie cie, yang punya pacar baru," ledek Mas Oky ketika pagi itu kami datang bersamaan di studio. Aku baru turun dari bis dan melangkah melewati halaman, sementara Mas Oky baru keluar dari mobilnya.

Menanggapi godaannya, aku hanya tersenyum. "Tahu aja, deh," ucapku.

"Tahu dong. Susan sering cerita kalo hampir setiap hari kamu diantar jemput sama cowok gondrong. Aku juga beberapa kali mergoki kamu dijemput pas mau pulang. Cakep banget, lho. Mana masih muda lagi. Rahasianya apa sih bisa dapat brondong kayak gitu?" Pria itu berusaha menyamai langkahku hingga kami memasuki ruang lobi bersamaan.

"Karena aku cantik," jawabku enteng. Mas Oky terbahak. "Dih." Bibirnya mencebik.

"Oh iya, ke ruanganku bentar ya, Ge. Ada yang mau kuomongin." Mas Oky kembali berujar. Aku mengangguk. Setelah meletakkan tas di meja, aku bergerak mengikuti langkah Mas Oky ke ruangannya. Pria itu membuka laci, mengeluarkan beberapa kertas lalu merentangkannya di atas meja kaca.

"Tanggal empat belas nanti ada pemotretan di Bogor, dua hari. Nama klien, tema dan penjabarannya ada di sini. Kamu yang berangkat." Ia memberikan penjelasan yang singkat, padat dan cukup jelas untuk membuatku tersentak.

"Aku?" ucapku kaget. Ketika Mas Oky mengangguk, aku segera dilanda rasa panik. "Tapi aku kan belum mahir, Mas. Nanti kalo hasilnya nggak bagus gimana?"

"Aku sudah mengirimkan profilmu pada mereka, termasuk beberapa foto hasil jepretanmu. Setelah memeriksa seluruh hasil kerjamu, mereka nggak keberatan. Mereka menerima pergantian fotografer utama. Ada hal urgent yang gak bisa kutinggal. Aku sudah mencoba menawarkan untuk di re-schedule hari lain, tapi mereka menolak. Jadi, pemotretan akan dilaksanakan sesuai jadwal."

Ketika aku tak kunjung memberikan jawaban lagi, Mas Oky menepuk pundakku santai. "Bisa, kok. Yakin, deh. Hasil fotomu tuh juga bagus banget."

"Emang Mas Oky mau ke mana?"

Pertanyaanku tak segera dijawab oleh Mas Oky. Mengangkat bahu pasrah, akhirnya ia berkata, "Ada jadwal sidang putusan. Sebenarnya boleh nggak hadir, sih. Tapi ... entah kenapa aku tetap ingin ada di sana ketika pernikahan itu benar-benar berakhir." Pria itu menyeret kaki dan menghempaskan tubuhnya di kursi. Rona wajahnya seketika berubah. Yang tadinya semringah, kali ini berubah sendu dan kelam.

Mendengar penuturan dan sikap lelaki tersebut, aku tercenung.

Mas Oky sedang digugat cerai oleh Mbak Indah. Sayang sekali pernikahan yang sudah berjalan lima belas tahun itu harus diakhiri. Padahal mereka sudah dikarunia dua anak lucu berusia dua belas dan delapan tahun. Tak jelas alasan gugatan cerai tersebut. Gosipnya, Mbak Indah kepincut dengan lelaki lain dan bersikukuh untuk berpisah. Jujur aku tak percaya gosip yang beredar. Aku pernah bertemu Mbak Indah beberapa kali, kami bahkan juga sempat mengobrol untuk basa-basi. Ia tipe istri yang kalem, tidak neko-neko. Jadi, kayaknya hal yang tidak mungkin kalau perempuan sebaik dan sekalem Mbak Indah bisa berkhianat.

Mas Oky sendiri tak terlalu suka bercerita dengan gamblang perihal penyebab perpisahan mereka. Padaku, Ia hanya bilang bahwa cinta itu sudah pudar. Jawaban yang begitu dramatis. Bagaimana mungkin pernikahan yang begitu manis bisa pudar begitu saja?

"Kenapa nggak mencoba untuk bepergian berdua gitu, Mas? Bulan madu lagi, biar komunikasi kembali terjalin baik, dan siapa tahu, cinta itu bisa kembali disemai dan akhirnya tumbuh subur. Pasti masih ada kesempatan kedua untuk menyelamatkan pernikahan kalian." Waktu itu, aku sempat memberikan saran.

Hubunganku dengan Mas Oky lumayan dekat. Kami tidak hanya bertindak sebagai atasan dan bawahan, tapi kadang juga sahabat. Pada saat-saat tertentu, ia tak segan untuk berbagi cerita perihal rumah tangganya. Pun begitu denganku, kadang aku pun tak malu bercerita tentang pria-pria brengsek yang berlalu lalang dalam hidupku. Ketika aku mengatakan ingin melajang selamanya, ia malah memberi nasehat bahwa sebenarnya pernikahan tak seburuk itu. Memang tak melulu berisi duka, tapi sukanya juga banyak. Dan sekarang, ketika aku nyaris menjadikan pernikahannya sebagi role-model, tiba-tiba kenyataan berkata lain.

"Aku masih berharap kalo kabar perceraian kalian itu hoax, lho, Mas. I mean, kalo cuma karena cinta yang mulai pudar, masih banyak lho alasan yang lebih kuat untuk mengakhiri sebuah pernikahan. Setidaknya selama nggak ada KDRT, nggak ada affair, pernikahan itu masih bisa dilanjutkan," ucapku lagi. Kutatap pria yang tengah terkulai di kursinya itu dengan dalam.

Mas Okay mendongak, balas menatapku tak kalah dalam, lalu berujar, "Ketika Indah meminta cerai, aku merenung, memikirkan banyak hal. Dan setelahnya aku sadar, sepertinya wajar jika dia ingin pisah. Karena aku memperlakukannya kurang baik."

Aku terkekeh lirih lalu menggeleng beberapa kali. Beranjak untuk duduk di kursi yang berada di depan meja Mas Oky, aku berujar, "Nggak mungkin. Mas Oky orang baik, sayang anak-anak, Mbak Indah juga. Kalian ini pasangan yang sempurna."

Pria itu tersenyum kecut. "Kalo dipikir-pikir, kesalahan itu ada di aku, Ge. Selama ini aku terlalu sibuk dengan kerjaan. Seringkali aku melakukan pemotretan, meninggalkan Indah dan anak-anak selama beberapa hari, dan aku nggak ngasih kabar, telpon juga enggak. Dan begitulah akhirnya, tiba-tiba aku menemukan hubungan di antara kami menjadi ... hambar. Indah terbiasa tanpa ada aku di sisinya, dan aku terlalu nyaman dengan kesibukanku, hobiku." Ia kembali mengangkat bahu pasrah. "Lalu ... getaran-getaran itu lenyap."

Aku kembali menggeleng lirih. Masih merasa sulit menerima semua penjelasan Mas Oky. Apakah memang ada yang seperti itu? Komunikasi tak lancar lalu cinta memudar? Tapi 'kan mereka punya anak? Apakah keberadaan mereka tidak cukup untuk membuat cinta semakin membara?

"Ge, tahu nggak apa yang bisa membuat pernikahan langgeng?" Pria yang tahun ini berusia empat puluh tahun itu kembali berkata. "Cinta." Ia menjawab sendiri pertanyaan tersebut. "Terdengar klise, tapi itulah faktanya. Mau seberat apapun masalah yang datang, bahkan jika ekonomi porak poranda, financial amburadul, percayalah, selama cinta itu masih ada, maka kalian masih punya alasan untuk tetap bersama. Ibaratnya nih, ya, nggak ada uang, kita bisa pinjam. Tapi kalo nggak ada cinta, mau pinjam darimana? Artinya, kalau cinta itu sudah nggak ada, maka pernikahan itu juga ... selesai."

"Walaupun ada ... anak?"

Rahang Mas Oky kaku. Perlahan ia mengangguk. "Ya, walaupun ada anak," jawabnya. "Beberapa orang memutuskan bertahan dengan pernikahan yang hambar dengan pertimbangan anak, tapi beberapa orang tidak. Aku dan Indah salah satunya. Dia perempuan yang baik, dan dia berhak mendapatkan yang lebih baik, nggak hanya materi, tapi juga perhatian, kasih sayang, dan ... partner hidup. Aku gagal memberikannya jadi—," Ia kembali mengangkat bahu pasrah. "Aku memilih untuk melepaskannya."

"Tetep aja, aku sulit menerima alasanmu, Mas. Aku nggak ngebet nikah, tapi berpisah karena hal seperti ini, rasanya kok ... sayang banget gitu." Aku kembali berujar, sementara Mas Oky lagi-lagi tersenyum kecut.

"Nanti, Ge. Kalo kamu sudah nikah, kamu akan tahu bahwa komunikasi itu penting. Nikah itu nggak sekadar berhubungan badan, cari duit, memenuhi kebutuhan sehari-hari, lalu sudah. No, nggak gitu." Ia menumpukan siku ke atas meja lalu mengusap wajah dengan kedua tangan. "Mungkin terdengar sepele, tapi mengobrol tentang hal remeh dengan pasangan itu juga penting untuk dilakukan. Berbagi kisah tentang kesibukan sehari-hari, atau sekadar duduk bersama sambil nonton tivi. Momen-momen seperti itu adalah luar biasa."

Aku menggigit bibir.

"Cinta itu ibarat rumah, Ge. Harus dirawat dengan baik agar nyaman ditinggali. Aku dan Indah gagal melakukannya."

Sebetulnya nyaris saja aku mendebat pria tersebut. Tapi menyaksikan raut wajahnya yang letih, aku urung melakukannya. "Yang sabar ya, Mas." Akhirnya hanya itu yang mampu kuucapkan. Berharap Mas Oky ataupun Mbak Indah bisa menemukan kebahagiaan yang lain.

Aku bangkit, meraih lembaran kertas di hadapan Mas Oky. "Akan kupelajari dulu, ya, Mas," ucapku lalu pamit. Mas Oky tersenyum lalu menatapku tulus, "Terima kasih, ya, Ge."

Aku balas tersenyum lalu beranjak.

Ponsel berdering ketika aku baru sampai mejaku. Menatap layar, bibirku berdecih. Berkali-kali panggilan kembali dilakukan, dan aku tak tergerak untuk menerimanya. Entah di panggilan ke berapa, akhirnya aku memutuskan untuk mengusap ikon telepon berwarna hijau.

"Apaan?" sapaku ketus.

"Ge, kamu di mana sekarang?" Suara Lukas terdengar dari sana.

"Ya kerjalah, emang kayak kamu yang cuma ongkang-ongkang kaki ngabisin duit ortu?" ejekku.

"Aku boleh ke situ? Mau ngomongin sesuatu, penting banget."

"Nggak."

"Geee ... Pleaseee..." Lukas mengerang.

"Apaan, sih?" jeritku.

"Ya udah, aku ngomong di sini aja, ya."

Aku mendesah, berusaha menghadapi manusia yang satu ini dengan sabar. "Jangan lama-lama. Lebih dari dua menit, kututup," ancamku.

"Ge, Papaku pengen aku cepet-cepet nikah. Kalo nggak, aku bakal ditendang dari rumah. Nah, Mamamu masih pengen kamu cepet-cepet nikah, kan? Ayo nikah sama aku aja. Nikah kontrak gak apa-apa. Yang penting ada status pernikahan. Gimana? Mau ya?"

Mendengar serangkaian kalimat yang terlontar dari ujung telepon, aku ternganga. Tanganku terkepal seketika. Setan!

"Emang perempuan yang kamu temui terakhir kali kemana?" jeritku.

"Nggak kepikiran dia, Ge. Kalo nikah, mempelainya harus kamu, bukan yang lain." Ia menjawab tegas.

Kali ini gigiku bergemerutuk. "Ogah!" Lalu pembicaraan kuakhiri dan ponsel kumatikan. Gila, bisa-bisanya dia ngajak nikah dengan cara begini? Dikira ini Drama Korea apa gimana?

Kenapa akhir-akhir ini hidupku dipenuhi dengan urusan perniahan, sih? Arcano ngajak nikah. Amel mau nikah. Mas Oky mengakhiri pernikahan. Dan sekarang, kunyuk sialan ini tiba-tiba juga ngajak nikah? Kontrak lagi?

Aarrrgghh...

***

Selepas jam makan siang, aku kembali disibukkan kembali dengan beberapa foto yang kuedit ketika Susan menghampiriku, "Ge, ada yang nyariin tuh?"

"Siapa? Lukas? Atau yang rambutnya panjang serupa Legolas?"

"Bukan dua-duanya. Bapak-bapak. Kupersilahkan untuk menunggu di ruang tamu tapi nggak mau. Ia masih ada di luar."

Dan dadaku berdebar. Menarik kursi, aku bangkit dan melangkah keluar dari studio. Tampak ada Ayah Arcano di sana. Duduk tenang di bangku panjang yang berada di taman kecil yang berada di depan studio foto.

"Selamat siang, Pak." Aku menyapa lebih dulu.

Sosok itu menoleh, lalu buru-buru bangkit. Senyumnya mengembang. "Kamu pasti kaget karena Bapak tiba-tiba ke sini."

Aku tersenyum kaku lalu mengangguk. "Iya, Pak. Jujur ... saya kaget."

"Sebelumnya, maaf bila kedatangan Bapak ke sini mengganggu jam kerjamu. Hanya saja, ada sesuatu yang ingin Bapak bicarakan denganmu. Berdua saja. Semoga kamu nggak keberatan meluangakan waktu sebentar."

Aku menelan ludah. Dadaku berdebar lagi. Semoga bukan hal buruk seperti yang sudah-sudah. Bahwa ia menghendaki hubunganku dengan Arcano berakhir dengan alasan ini dan itu.

Tidak.

Semoga tidak.

Anak itu terlalu menggemaskan untuk kutinggal.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro