09. Bimbang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ada yang harus bapak bicarakan dengan kamu. Penting, dan lumayan memakan waktu. Hanya saja, nggak di sini. Barangkali kamu nggak keberatan, mungkin kita bisa mengobrol di suatu tempat yang tenang." Pak Herry berujar dengan ekspresi serius, membuat jantungku kembali berlompatan.

"Tentang ... Arcano?" tanyaku lirih. Dan ketika beliau mengangguk, aku mendesah pasrah. Habis sudah. Pasti beliau akan melarangku berhubungan lagi dengan anaknya.

"Baik, Pak. Saya akan memberitahu atasan saya dulu, ya?" pintaku.

Lelaki itu mengangguk. Setelahnya, aku berbalik, melesat kembali ke dalam studio foto. Mas Oky tidak ada, jadi aku memberitahu Susan. "Nanti kalo mas Oky nyariin, bilang aku ijin sebentar, ya. Ada urusan penting," ucapku singkat lalu buru-buru kembali melesat ke luar menemui Ayah Arcano.

Ia mengajakku ke mobilnya. Selanjutnya, mobil itu membawa kami ke sebuah Private Dining Room di salah satu restoran terkemuka. Ada beberapa hidangan yang tersaji di meja berserta minumannya. Sepertinya Pak Herry sudah memesan tempat ini terlebih dahulu sebelum mengajakku ke sini.

Setelah hanya ada kami berdua di ruangan tersebut, Pak Herry akhirnya membuka obrolan.

"Well, yeah, ini ... tentang Arcano. Putraku satu-satunya, kesayanganku." Ia mulai berkata, dan aku diam terpekur di kursiku. "Ketika dia bilang bahwa ia bertemu dengan gadis yang cocok dan ingin menikah, kupikir ia hanya bercanda. Sampai akhirnya ia terus menerus menceritakan tentang dirimu, setiap saat, setiap waktu, lalu membawamu ke rumah. Akhirnya Bapak sadar bahwa perasaannya serius."

"Perasaan saya padanya juga serius, Pak," potongku. Sungguh jawaban yang tak tahu malu, tapi kali ini aku takkan mundur. Aku mungkin belum jatuh cinta secara menggebu pada pria itu, tapi aku seratus persen siap andai kelak aku harus jungkir balik mencintai dirinya.

Siapa yang bisa menolak pesona Arcano? Dia tampan, muda, bijak, dan penuh cinta. Jadi, jika kali ini Pak Herry ingin memberiku kompensasi agar meninggalkan putranya, maka aku akan menolaknya.

Mendengar jawaban dariku, Pak Herry nampak terkejut. Ia menatapku dalam, sejenak kemudian terkekeh. "Ah, syukurlah kalau perasaan Nak Gloria juga serius. Bapak senang akhirnya ada perempuan yang terang-terangan menyayangi Arcano," lanjutnya.

"Jadi, apa ini maksudnya Bapak ingin agar saya meninggalkan Arcano?"

Pak Herry terdiam sejenak. Lelaki berperawakan tinggi tegap yang hari itu mengenakan blazer ala kantoran itu menarik napas berat lalu menjawab, "Ya." Jawaban yang lugas, jelas, dan to the point. Menciptakan riak kecil dalam dadaku.

Menegakkan tubuh, aku menatap pria itu tanpa gentar. "Kenapa saya harus meninggalkannya, Pak? Arcano bahagia bersama saya. Saya pun begitu. Jadi kenapa kami harus menyudahi hubungan kami?" ucapku tak kalah lugas.

"Karena Arcano punya banyak kekurangan. Dia nggak seperti yang kamu kira, Nak Gloria," ucap Pak Herry lembut.

Mendengar jawaban tersebut, memoriku bergerak ke beberapa waktu silam, awal-awal aku dan Arcano saling mengenal. Kekurangan Arcano, mungkinkah yang dimaksud adalah disfungsi ereksi yang ia alami?

"Kekurangan itu sudah Arcano ceritakan ke saya, Pak." Akhirnya aku menjawab lagi.

Raut wajah Pak Herry kembali menyiratkan ekspresi terkejut. Mungkin tak mengira bahwa Arcano akan bercerita segamblang itu perihal kekurangan yang ia alami. Lagipula, bukankah sedari awal pemuda itu memang ceplas ceplos begitu?

"Dia sudah cerita?" Kali ini ia nampak tak percaya.

Aku mengangguk. "Ya, Pak. Dia sudah cerita. Tentang disfungsi ereksi yang ia alami dan--?"

"Disfungsi ereksi?"

Mendengar beliau menggumam, aku buru-buru kembali mengangguk. Pak Herry kembali menarik napas berat lalu menegakkan punggungnya. Sejenak ia ikut mengangguk pelan. "Well, yeah ... itu juga salah satu kekurangan yang Arcano punya."

"Dan ... dia baik-baik saja, kok, Pak. Maksud saya, nggak ada masalah. Aktivitas seksualnya ... aman. Maksud saya ...." Aku menggigit bibir, bingung hendak memberikan penjabaran pada beliau. Masa aku harus bilang kalau aku dan Arcano sudah sukses begituan?

Seolah mengerti arah pembicaraanku, Pak Herry mengulum senyum. Ia berdeham beberapa kali, lalu mulai kembali bercerita, "Arcano nggak punya banyak teman karena dia Home Schooling. Waktu itu, ia sempat hang out beberapa kali. Pulangnya, dia bilang kalo mereka nonton film porno dan Arcano nggak merasakan apa-apa. Setelah mendengar penuturannya, Bapak sigap membawanya ke dokter untuk berkonsultasi. Dokter bilang, Arcano memang mengalami disfungsi ereksi karena masalah psikis aja. Jadi, tanpa diobati pun, dipastikan bahwa ia masih bisa melakukan aktivitas seksual, asalkan semuanya pas. Baik momen, suasana hati, ataupun ... pasangannya. Jadi ...." Kali ini tarikan napas lega yang keluar dari mulut Pak Herry. "Bapak senang karena pada akhirnya dia bisa melakukannya."

"Jadi nggak ada alasan untuk mengakhiri hubungan kami 'kan, Pak?"

"Ada." Lagi-lagi jawabannya itu terlontar lugas dan cepat. "Masalahnya adalah ... bukan itu pokok pembicaraan yang ingin Bapak sampaikan."

Aku menelan ludah. Ada apa lagi?

Pak Herry memperbaiki posisi duduknya. Terkesan sebagai usaha untuk mengolor waktu demi merangkai kalimat yang hendak beliau sampaikan. "Saya bertemu Arcano pada saat usianya 12 tahun di sebuah perkampungan kumuh, sedang menunggui ibunya yang sakit parah."

Aku tercenung, mencoba mencerna serangkaian kalimat yang Pak Herry lontarkan. Sebentar, bertemu Arcano pada saat usianya 12 tahun? Maksudnya, Arcano itu ...

Pak Herry menggeleng beberapa kali. "Enggak, Nak Gloria. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Saya memang bertemu Arcano pada saat usianya 12 tahun. Tapi dia adalah anak kandungku. Anak kandung yang selama belasan tahun tak kuketahui keberadaannya, yang tak kulihat wajahnya ketika pertama kali ia hadir di dunia ini." Ada nada berat pada kalimatnya.

"Saya dan Widya, Ibu Arcano, menjalin hubungan asmara. Kami saling mencintai dan tergila-gila satu sama lain. Tapi karena sesuatu hal, kami memutuskan berpisah, dan saya harus ke luar negeri untuk melanjutkan study dan menjalankan beberapa bisnis atas permintaan orang tua. Setelahnya kami hilang kontak. Saya nggak tahu bahwa ternyata saat itu Widya tengah mengandung." Pak Herry kembali melanjutkan ceritanya dengan ekspresi muram.

"Saya memutuskan untuk nggak menikah karena belum mampu melupakan dirinya. Beberapa tahun berlalu, ketika saya kembali dari luar negeri, saya mencoba mencari dirinya. Bukan hal yang mudah karena ternyata alamat rumahnya berubah, dan jejaknya lenyap. Sampai akhirnya, bapak menemukannya di sebuah perkampungan kumuh dengan kondisi yang ... menyedihkan." Suara lelaki tersebut terdengar parau. Sementara aku tetap diam membisu di kursiku, sabar menanti beliau melanjutkan cerita.

"Widya sudah yatim piatu sejak awal kami bertemu. Ia dirawat oleh saudara jauh. Pada saat kami bisa bertemu lagi, mereka bilang bahwa setelah Widya melahirkan, ia jatuh sakit dan nggak mampu beraktivitas dengan baik. Arcano lah yang selama ini menjaganya, merawat dirinya dengan sabar, sejak usianya masih lima tahun." Pak Herry mengusap wajahnya dengan telapak tangan.

"Anak itu telah melewati banyak hal berat dalam hidupnya. Ia nggak sekolah dan memilih bekerja untuk memulung sampah. Belakangan bapak ketahui bahwa ... ia juga beberapa kali mengalami pelecehan seksual dari orang dewasa di sekitarnya ...." Kalimat Pak Herry tercekat.

Aku tersentak, reflek menutup mulut dengan kedua tangan. "What?" desisku parau.

Pak Herry mengangguk frustrasi. "Ketika pertama kali bapak menemukan anak itu, ia ... dalam keadaan mengerikan. Tubuhnya kurus kering, tak terawat. Ada banyak luka memar dalam tubuh. Seluruh tubuhnya kotor. Dan tatapan matanya---," kedua mata Pak Herry kali ini berkaca-kaca. "Suram. Nyaris nggak ada kehidupan."

Tanpa sadar, bibirku bergetar. Mencoba memvisualisasikan segala yang Pak Herry ungkapkan. Mengingat bagaimana Arcano kecil hidup di lingkungan kumuh, kerja banting tulang di usia dini, dan ... mendapatkan pelecehan seksual? Ya Tuhan ...

"Jadi ... sebenarnya ... apa yang mau bapak sampaikan?" Kalimatku nyaris tertelan kembali ke tenggorokan. Rasanya hatiku ikut hancur.

Kali ini, Pak Herry menatapku dalam, lalu menjawab. "Arcano sedang nggak baik-baik saja, Nak Gloria."

Aku mengernyitkan dahi. Masih tak dapat mencerna dengan jawaban Pak Herry.

"Karena nggak ada pernikahan antara aku dan Widya, Arcano bapak bawa ke rumah sebagai anak angkat. Ia hidup dengan baik. Ikut home schooling dan punya beberapa teman, sampai akhirnya bapak menyadari ada yang nggak beres dengan dirinya. Hampir setiap malam ia mengalami gangguan tidur. Ia akan duduk termenung sendirian di teras, kadang di taman belakang rumah. Dan manakala sendirian, emosinya membuncah, campur aduk. Beberapa kali ia ingin menyakiti dirinya sendiri. Melakukan sesuatu yang terkadang ... tak mampu bapak pahami. Akhirnya, bapak membawanya ke dokter. Dan ... dokter bilang, ia depresi." Sekarang tampak jelas bahwa kedua mata Pak Herry basah.

Bahuku rasanya luruh seketika. Menggeleng berkali-kali, aku berkata, "Nggak mungkin, Pak. Arcano terlihat baik-baik saja selama ini. Ia ceria, banyak bicara, dan ... nggak gimana-gimana." Entah kenapa aku berusaha menyangkal.

"Awalnya, dokter mengatakan bahwa ... itu hanya sekadar Duck syndrome?"

"Duck Syndrome?"

Pak Herry mengangguk. "Tahu bagaimana bebek yang berenang seolah sangat tenang, tetapi kakinya berjuang keras untuk bergerak agar tubuhnya tetap bisa berada di atas permukaan air? Itulah yang terjadi pada Arcano. Di luar, dia tampak baik-baik saja. Tapi dalamnya, tidak. Ia memang nampak ceria, mampu berkomunikasi dengan baik, dan terlihat begitu tenang dan santai. Belum dikategorikan suatu gangguan tersendiri. Ya, kan? Lalu--" Ada jeda sejenak pada kalimatnya yang dalam.

"Lalu ... semakin berjalannya waktu, Ia makin tak baik-baik saja. Ada trauma mendalam di dirinya. Ia selalu merasa bersalah, merasa tak berguna, cenderung melakukan hal-hal berisiko yang membahayakan diri. Terkadang ia sulit membedakan antara khayalan dan realitas. Pada akhirnya, dokter mengatakan bahwa itu bukan sekadar duck syndrome, tapi gangguan psikotik. Depresi berat."

Bibirku bergetar. Terlalu terkejut dengan semua penuturan yang Pak Herry ungkapkan. Jadi, dia seperti itu?

"Lalu, bagaimana dengan Ibu Arcano? Apa beliau tahu semuanya?" Suaraku tercekat, air mata hampir tumpah. Entah untuk bagian yang mana aku nyaris tak mampu mengendalikan diri? Tahu tentang keadaan Arcano yang sebenarnya, ataukah karena masa lalunya? Yang jelas, dua-duanya membuat dadaku sesak.

Pak Herry tak segera menjawab. Menatapku nyaris tak berkedip, akhirnya ia berujar pasrah, "Ibunya sudah meninggal, sepuluh tahun yang lalu. Tepat sehari setelah Bapak menemukannya di perkampungan kumuh."

Aku ternganga. "Jadi ...."

Beliau mengangguk dengan bahu terkulai. "Selama ini Arcano berhalusinasi. Menganggap bahwa ibunya masih ada, tinggal bersama kami."

Untuk kesekian kalinya, aku merasakan kedua kakiku tak berpijak lagi di bumi.

"Nggak mudah menghadapi seseorang dengan penyakit mental, Nak Gloria. Bapak memikirkan dirimu. Maka dari itu, sebelum hubungan kalian berlanjut terlalu jauh, alangkah baiknya kamu mundur. Tinggalkan Arcano. Dia bukan orang yang tepat untukmu." Beliau melanjutkan dengan suara lelah.

Dan ketika pandangan kami kembali beradu, ketika kulihat kedua mata teduh milik pria paruh baya tersebut menitikkan air mata, bahuku terguncang. Tangisku pecah.

***

Pukul dua dini hari dan aku gagal terlelap. Duduk membisu di kursi kerja, menatap layar ponsel yang tergeletak di meja. Layar ponsel itu menyala sejak beberapa waktu yang lalu. Padam sejenak, lalu kunyalakan lagi. Tangkapan layarnya pun masih sama. Berisi layar obrolan pada satu nama kontak, Arcano.

Ada deretan pesan yang sudah kuketik rapi tapi belum sempat aku kirim. Masih bimbang, menimbang berkali-kali. Setelah menarik napas dalam-dalam, akhirnya kuraih kembali ponsel tersebut dan pesan itu aku klik, kirim.

Aku; Lusa aku ke Bogor, dua hari. Ada banyak kerjaan di sana. Jadi untuk beberapa hari ke depan jangan menghubungi aku dulu ya. Aku akan sangat sibuk sekali. Thanks.

***  

Note:
Riset saya lakukan dengan dr. Tini Sri Padmoningsih, SpKJ di Alodokter. Dan juga browsing sana sini. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro