10. Cano Sayang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku hanya diam membisu ketika amarah itu meluap. Klien yang hari itu kupotret mengamuk. Menghujaniku dengan protes dan amarah yang meledak-ledak. Sekali-kali aku menjawab dengan kata 'maaf', selebihnya aku menerima dengan lapang hati segala amarah dan sumpah serapah yang ia lontarkan. Karena aku sadar diri, kesalahan ada di diriku sendiri.

Entah apa yang terjadi, sejak kemarin pekerjaanku tak ada yang betul. Dimulai beberapa peralatan yang lupa dibawa, lalu lokasi foto yang tak sesuai angan-angan. Bolak-balik mencari alat pengganti dan menentukan tempat yang pas, hingga akhirnya memakan waktu yang lumayan lama dan jadwal pemotretan molor beberapa jam.

Belum lagi karena hasil fotoku pun tak sesuai ekspektasi. Blur, melenceng dari obyek, pencahayaan yang kurang pas, dan banyak. Kepalaku rasanya penuh dengan banyak hal yang berseliweran hingga kerjaan tak fokus.

"Aku percaya padamu karena Mas Oky yang merekomendasikan. Kok bisa, sih, nggak profesional gini?"

Aku menunduk. "Maafkan saya, ini murni salah saya," jawabku lirih.

"Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu harus tanggung jawab. Entah bagaimana caranya, aku ingin fotografer profesional didatangkan hari ini!"

Aku kembali mengangguk pasrah lalu menjawab dengan bahu terkulai, "Siap, Pak. Nanti akan saya sampaikan pada mas Oky."

Ketika kembali ke hotel, aku menelpon Mas Oky sambil menangis. Menceritakan segala hal yang terjadi tanpa kututupi. Termasuk segala hal yang berkecamuk di kepala dan membuat suasana hatiku sedang tak baik-baik saja. Aku minta maaf pada Mas Oky berkali-kali, sadar akan kesalahanku. Karena masalah pribadi, akhirnya aku bersikap tidak profesional.

Bukannya marah, Mas Oky malah mencoba menenangkanku. Pria itu sigap mencarikan solusi. Ia segera menghubungi beberapa rekan sesama fotografer dan meminta tolong untuk meng-handle pekerjaanku. Akhirnya, satu jam kemudian, seorang fotografer lain datang ke lokasi lalu mulai melakukan pemotretan dari awal.

Setelah meminta maaf kembali secara pribadi pada klien, aku pun berkali-kali mengirimkan pesan permintaan maaf pada Mas Oky. Pria itu tak membalas pesanku, malah langsung menelpon.

"Ge, istirahatlah dulu di hotel jika suasana hatimu sedang nggak baik. Atau mungkin, kamu bisa kembali pulang terlebih dulu," ucapnya.

Aku terisak kembali. "Maafkan aku, ya, Mas. Ini memalukan sekali. Aku bener-bener nggak profesional hari ini. Andai Mas Oky memecatku pun, aku siap, Mas," jawabku.

"Kita bicarakan saja kalo sudah ketemu. Oke?"

Mas Oky memintaku untuk pulang terlebih dulu jika memang suasana hatiku tak membaik. Tapi aku menolak. Rasanya tak tahu malu sekali jika aku pulang terlebih dahulu setelah meninggalkan banyak masalah. Akhirnya, aku tetap memilih tinggal di sana bersama tim untuk membantu sebisaku. Menyiapkan beberapa perlengkapan maupun lokasi pemotretan.

***

Mas Oky; Apa ada masalah dengan cowokmu?

Pesan singkat itu kuterima setelah aku istirahat di kamar hotel. Karena tak kunjung membalas, Mas Oky kembali mengirimi pesan.

Mas Oky; Susan bilang beberapa hari yang lalu ada bapak-bapak datang ke studio foto mencarimu? Apa ada hubungannya?

Aku; Gak kok, Mas. Gak ada apa-apa.

Aku membalas singkat.

Mas Oky; Mau kutelpon?

Aku; Suasana hatiku buruk karena masalah keluarga. Tapi sekarang sudah nggak apa-apa, kok. Aku sudah membaik. Trims. Maaf soal insiden tadi pagi ya, Mas.

Mas Oky; Kita bicarakan setelah kamu balik.

Lalu obrolan itu berakhir. Aku baru saja menyalakan laptop ketika seseorang membunyikan bel pintu. Mengira mungkin itu adalah pelayan hotel, aku bangkit. Ketika pintu terbuka, aku terhenyak. Sesosok pria yang tak begitu familiar berdiri di sana. Aku baru bertemu dengannya satu kali, makanya perlu sekian menit kembali untuk mengenalinya.

"Hai, Mbak." Ia menyapa terlebih dulu lalu tersenyum ramah.

Aku terdiam sejenak. Aditya, pacar Amel.

"Hai." Aku membalas canggung. "Kok di sini?" tanyaku heran.

Pria itu kembali tersenyum. "Aku ada kerjaan di sini. Tadi pagi secara nggak sengaja ngelihat Mbak Ge di lobi. Woah, nggak nyangka ya kita bisa ketemu di sini." Ia berkata dengan antusias.

Aku manggut-manggut. Sejenak, kami sama-sama berdiri di ambang pintu dengan situasi kaku. Sampai akhirnya Aditya berdeham lalu berkata, "Aku bawain kue nih, Mbak." Ia menyodorkan tas kresek berisi kotak kue ke arahku. Aku menatap kresek tersebut dengan ekspresi datar. Ada perasaan enggan menerima.

"Mbak gak mempersilahkanku masuk?"

Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan pria tersebut tanpa menjawab. Jujur, aku kaget dengan tingkahnya. Bisa-bisanya ia menawarkan diri untuk diajak masuk ke kamar.

"Kan calon keluarga, Mbak. Bagus kan kalo akrab satu sama lain. Nggak bakal menimbulkan kesalah pahaman, kok." Aditya buru-buru berujar. "Ya udah, aku taruh sendiri aja kuenya." Dan aku makin terhenyak ketika sosok itu tiba-tiba menyeruak memasuki kamarku lalu meletakkan kresek yang ia tenteng ke meja. Setelahnya, ia berbalik kembali melewati diriku.

"Aditya," panggilku tegas. Ia berbalik dan menatapku lekat. "Ya?"

Aku bersedekap dan menegakkan punggung. Kutatap pria yang tak begitu kukenal itu dengan tajam. "Satu, jangan panggil aku 'Mbak'. Kita seumuran. Dua, jangan sok akrab denganku karena aku nggak suka sikap sok kenal sok dekat kayak gini. Ketiga, berani menyeruak ke kamarku lagi seperti ini, akan kubuat perhitungan denganmu."

Setelah mendengar kalimatku, Aditya hanya mengulum senyum. Tak ada ekspresi kaget ataupun rasa bersalah. Ia bahkan ikut bersedekap dan balik menatapku tak kalah dalam. "Satu, setuju. Aku juga nggak nyaman memanggilmu 'Mbak'. Dua, sorry. Tapi aku akan lebih sering mendekatimu, karena kita adalah calon ipar. Ketiga---," kalimat itu sengaja ia jeda. Menggigit bibir dengan ekspresi nakal, ia kembali berujar, "Lain kali undang aku ke kamarmu agar aku nggak perlu menyeruak seperti ini."

Syok mendengar jawaban tersebut, aku menatapnya tajam. "Jaga bicaramu," peringatku. Bukannya sungkan atau merasa menyesal, Aditya masih saja bersedekap angkuh sembari mengarahkan tatapannya padaku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku sudah pernah melihat tatapan ini manakala kami bertemu pertama kali. Ketika ia berkunjung ke rumah, ia sama sekali tak mengalihkan pandangannya dariku.

"Semakin jutek semakin cantik, dan semakin menarik." Kali ini Aditya berujar sembari menjilati bibirnya dengan gerakan sensual. Dan aku tahu apa yang ada di kepalanya.

Menolak untuk diintimidasi, kali ini aku bergerak maju. Mendorong tubuhnya perlahan hingga punggungnya menabrak tembok. Kemudian dengan gerakan sensual, ku sapukan jemari tangan ke tulang pipi, lalu turun ke rahang. Pelan, menggoda. Pria itu mendesis, terlihat menikmati sentuhanku. Dan aku tertawa puas. Sudah kuduga, pria ini adalah bajingan tengik.

"Dasar bajingan," bisikku. Aku menarik tanganku dari pipinya. Namun pria itu sigap menariknya kembali lalu mengecupnya dalam. Di sana, di telapak tanganku. Tak ayal, tamparan segera kulayangkan padanya. Keras. Tindakan itu malah memprovokasi dirinya. Ia bergerak sigap, menarik pinggangaku lalu menyambar bibirku kasar. Meronta, aku gagal melepaskan diri. Panik, akhirnya kugigit bibirnya keras. Sosok itu mengaduh, lalu melepaskan ciuman kami. Kesempatan itu kugunakan untuk kembali menampar dirinya tak kalah keras. Ketika tubuhnya oleng, aku mundur.

Bukannya terlihat emosi, sosok itu malah terkekeh lirih. Aku menelan ludah. Rasanya aku pantas merasa takut sekarang. Pria di hadapanku ini benar-benar seperti seorang penjahat.

"Ternyata bener apa yang dikatakan Amel tentangmu." Aditya berujar lirih sembari menjilat ujung bibirnya yang berdarah.

Mendengar nama Amel disebut, ego mengambil alih diriku. Kembali bersedekap angkuh, kutatap pria itu tanpa gentar. "Tebakanku, ia menceritakan hal buruk tentangku. Ya, kan?" ejekku.

Aditya kembali mengulum senyum. "Tepat. Semua hal buruk tentangmu. Bahwa ... kamu gampang marah, angkuh, dan ... murahan."

Mendengar serangkaian kalimat tersebut, entah kenapa aku tak tersinggung. Dengan hubunganku yang buruk dengan Amel, versi seperti inilah yang paling cocok untuk merepresentasikan diriku. Aku hanya tak menyangka bahwa ia akan menceritakan hal ini pada calon suaminya.

"Well, adikku berkata jujur." Akhirnya aku terkekeh. "Nggak meleset sedikitpun. Dan aku nggak peduli dengan pendapatmu, maupun pendapat adikku. Sama-sama nggak penting. Asal kamu tahu, walau murahan, aku nggak tidur sembarangan dengan orang. Pria sinting macam kamu, nggak masuk dalam hitunganku," balasku sengit.

Senyum Aditya kembali terukir. Indah, memikat. Tapi entah kenapa aku merasa jijik.

"Sayangnya, aku makin penasaran sama kamu, Gloria. Semakin menantang, semakin menarik." Ia menjawab dengan tatapan penuh arti.

"Terserah. Sekarang bisa kamu keluar dari kamarku? Aku perlu istirahat." Aku menunjuk pintu dengan dagu. Melihat tak ada respon dari pria itu di hadapanku, aku kembali berujar, "Apa harus memanggil security? Itu akan sangat merepotkan sekali."

Aditya kembali tersenyum. Ia bergerak menuju pintu. "Beritahu aku jika kamu ingin dipijit. Aku ahli melakukannya," ucapnya.

Dan tanpa menjawab, aku mendorong sosoknya keluar, lalu menutup pintu dengan kasar. Rasa kesalku bertambah ketika ponselku berbunyi, dan sebuah pesan singkat masuk.

Lukas; Ge, gimana dengan tawaran nikah dariku? Mau ya. Ayo kita ketemu untuk berdiskusi. Kita bicarakan baik-baik. Oke?

Membaca pesan tersebut dengan emosi yang sudah sampai ubun-ubun, akhirnya aku memilih untuk memblokir nomor kontaknya tanpa sudi memberikan balasan.

***

Jam tujuh malam tim kami sampai studio foto setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam dari Bogor. Beberapa peralatan diturunkan secara bergantian dan hati-hati untuk selanjutnya diletakkan kembali studio. Satu jam kemudian acara beres-beres alat kelar. Mas Oky tak ada di tempat, sehingga setelah semua selesai, kami pulang sendiri-sendiri. Aku baru saja hendak memanggil taksi ketika mobil itu datang. Sumpah serapah segera kulontarkan manakala aku hafal mobil siapa gerangan.

"Ge ..." Suara Lukas menggema bahkan ketika ia baru saja membuka pintu. Pria jangkung itu berlari menghampiri diriku. "Aku tahu kamu sibuk, tapi jangan diblokir gitu, dong," protesnya.

"Karena pesan darimu itu mengganggu dan aku nggak tertarik."

"Kenapa nggak tertarik, Ge." Ia ikut duduk di kursi panjang yang berada di depan studio.

"Karena aku sudah punya cowok," jawabku.

Cahaya lampu jalanan tak begitu terang. Tapi bisa terlihat jelas ekspresi syok di wajah Lukas. "Serius?"

"Iya lah."

"Siapa?"

"Kapan-kapan aku kenalin." Aku bangkit dan bergegas melangkah menuju bibir jalan untuk menghentikan sebuah taksi. Tanpa menghiraukan panggilan Lukas, aku segera masuk.

"Ge? Geeee?"

Panggilan itu terus melengking. Dan aku bodo amat. "Ayo, Pak. Jalan," ucapku pada sopir taksi.

***

Jam enam lebih lima menit aku sudah terbangun. Diingat-ingat kembali, sepertinya aku malah nyaris tak bisa terlelap. Jam empat aku baru sempat memejamkan mata. Kerumitan dalam kepala tak berkurang sedikitpun. Tentang Arcano, tentang pekerjaan yang amburadul, dan tentang pacar Amel yang mengerikan. Layaknya benang kusut, entah bagaimana harus menguraikannya.

Masih dalam posisi meringkuk di bawah selimut, aku meraih ponsel yang waktu itu kuletakkan di atas kepala. Kukirimkan pesan singkat pada Lisa setelah semalam merenung.

Aku; Lis, apakah depresi bisa disembuhkan?

Pesan itu tak segera mendapat jawaban. Mungkin ia belum bangun, atau mungkin tengah sibuk di dapur. Sampai akhirnya, terdengar bunyi notifikasi. Bergegas, kubuka pesan tersebut, mengira bahwa ada balasan dari Lisa. Ternyata, bukan. Melainkan dari Arcano.

Setelah pesan yang kukirimkan padanya beberapa waktu lalu, ini untuk pertama kalinya ia mengirimiku pesan lagi.

Arcano; Sudah di rumah?

Menelan ludah, aku hanya mampu menatap pesan tersebut tanpa mampu segera mengirim jawaban.

Arcano; Beberapa hari ini aku patuh untuk nggak menghubungimu agar nggak mengganggu kesibukanmu. Hari ini seharusnya kamu sudah pulang dari Bogor, kan?

Mengigit bibir, akhirnya pesan tersebut aku balas.

Aku; Sudah di rumah, kok.

Arcano; Boleh aku ke rumahmu sekarang?

Ketika pesan tersebut tak kubalas, pemuda itu kembali mengirimkan pesan.

Arcano; Kangen, pengen ketemu...

Menarik napas, akhirnya pesan itu kujawab.

Aku; Jangan ke rumah, tunggu aja di ujung jalan, kayak biasanya.

Arcano; Aku sudah di sini, kok. Sejak setengah jam yang lalu.

Aku tersentak. What?

Buru-buru aku menyingkap selimut lalu bangkit. Melemparkan ponsel ke meja, aku bergegas ke kamar mandi, mencuci muka dengan asal, lalu meraih hoodie yang tergeletak di kursi. Selanjutnya, aku melesat keluar rumah untuk menemui Arcano.

Berlari dengan sekuat tenaga, agar bisa segera menemui sosok itu di ujung jalan sana.

***

Sosok jangkung itu berdiri di sana menungguku. Mengenakan baju kasual dengan kaos longgar dipadu hoodie. Rambut panjangnya diikat asal hingga menyisakan beberapa helai rambut yang berjuntaian di sekitar wajah dan telinga. Ini pertama kalinya kami bertemu sejak kuketahui sakit yang tengah ia derita. Menatap sosoknya yang sekarang, duniaku rasanya jungkir balik.

"Cano ...," panggilku lembut.

Manakala sosok itu menatap ke arahku dan tersenyum, seketika aku lupa cara bernapas.

Arcano ...

Wajahnya tampan, senyumnya damai, dan tatapan matanya sejuk.

Sayang ... jiwanya remuk.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro