11. I'll stay

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Untuk sejenak, aku menatap Arcano dengan bimbang. Menatap pria yang masih tersenyum hangat tersebut, ada rasa sesak menjalar. Terutama ketika mengingat kembali semua cerita Pak Herry.

Apa arcano baik-baik saja sekarang? Apakah ia merasa sakit? Apa yang sedang ia rasakan?

Udara pagi yang dingin menusuk pori-pori. Seolah menyadarkanku bahwa aku hanya mengenakan kaos longgar dan celana pendek di atas paha. Sepertinya aku terburu-buru datang ke sini, ingin cepat-cepat bertemu Arcano ketika tahu dia di sini. Tapi, sejurus kemudian aku kembali didera rasa ragu. Setelah tahu tentang sakit yang Arcano derita, hubungan kami akan bagaimana? Bisakah aku mendampinginya? Atau sebaiknya aku menuruti saja permintaan Pak Herry untuk meninggalkannya?

Aku mematung, membiarkan pertemuan ini berlangsung hening. Sampai akhirnya kudengar suaranya yang lembut. "Kangen kamu, Ge...," bisiknya.

Dan perasaanku membuncah seketika, mengantarkanku pada sebuah keputusan yang membuat kakiku bergerak, berlari secepat kilat ke arah Arcano dan menubruk dirinya. Kupeluk sosok itu erat, tanpa ragu.

"Woah, sabar, Ge." Pria itu berbisik sambil terkikik, lumayan terkejut akan tindakanku.

"Aku juga kangen sama kamu," bisikku.

Terdengar tawa lirih dari pria tersebut. "Kangen banget ya, kayaknya."

"Hu um," jawabku.

Pria itu membalas memelukku erat. Sebuah kecupan ringan mendarat di pelipisku. "Andai kamu tahu kalo aku nyaris saja nyusulin kamu ke Bogor." Ia mengembuskan napas berat, menciptakan sensasi aneh di seputar leherku. Hangat dan memikat.

Menarik diri, kutatap pria itu dalam. "Terus, kenapa nggak jadi?"

"Kamu melarangku menghubungimu sementara waktu karena sibuk, jadi ya ... aku patuh." Ia menjawab putus asa. Aku tersenyum. Kucubit salah satu pipinya dengan gemas. "Good boy," pujiku. "Ngomong-ngomong, ngapain kamu pagi-pagi sudah di sini?"

Arcano tak segera menjawab. Kali ini ia yang menarik diri, lalu meloloskan hoodie yang ia kenakan melewati kepala. Setelahnya, ia memasukkan hoodie itu melewati kepalaku, dan memakaikannya dengan sabar. "Aku tahu kalo kamu sudah pulang sejak semalam. Pengen telpon takut ganggu. Pengen datang takut kamu lagi kecapekan dan nggak menerima tamu. Tadinya aku berencana agak siangan dikit datang ke rumahmu. Tapi ..." Ia mengangkat bahu. "Di sinilah aku sekarang. Nggak sabar nunggu sampai siang." Senyumnya terkulum.

"Dih, bucin banget," godaku.

"Emang iya." Ia menjawab cepat.

Reflek, kupencet hidungnya dengan gemas. "Nggak apa-apa, deh. Asal sama aku saja," ujarku. Dan tanpa ragu, sosok itu mengangguk. "Selalu always." Ia menjawab santai.

Mendengar jawabannya, aku tergelak. "Ayo cari sarapan," ajakku kemudian sembari menggamit lengannya.

"Ke mana?"

"Beberapa blok dari sini, ada penjual bubur ayam." Aku menjawab. Arcano mengikuti langkahku menyusuri trotoar.

"Aku nggak suka bubur." Arcano berujar protes. Tapi toh langkah kakinya tak berhenti. Ia patuh berjalan di sisiku.

"Akan kusuapi," ucapku santai. Tak lupa kutatap pria itu dalam, lalu tersenyum manis. Dan akhirnya ia mengangguk. "Baiklah." Ia menjawab.

"Makan yang banyak, ya."

Arcano manggut-manggut. "Ngomong-ngomong, aku belum mandi." Ia berujar kemudian.

"Aku juga belum," jawabku.

"Aku belum gosok gigi."

"Sama," jawabku lagi.

Saling tatap lagi, akhirnya kami sama-sama terbahak.

Nanti, setelah sarapan, setelah Arcano pulang, aku akan menelpon Pak Herry.

Keputusanku sudah jelas, aku menolak untuk meninggalkan Arcano.

***

Ketika sampai di studio foto, aku segera bergerak menuju ruangan Mas Oky. Mobilnya sudah ada di luar, jadi pagi ini ia pasti sudah datang. Dan dugaanku benar. Sosok itu sudah duduk di kursinya, sedang menelpon. Melihat kedatanganku, ia mengangkat tangannya singkat. Memberi isyarat agar aku mau menunggu hingga ia selesai menelpon. Lagipula, memang aku mau kemana? Tentu saja aku akan tetap tinggal di sini, berjam-jam kalau perlu, demi bisa bertemu secara langsung dengan Mas Oky untuk meminta maaf.

Sekitar dua menit kemudian Mas Oky mengakhiri obrolan lewat telepon. Dan sebelum ia sempat berkata-kata, aku terlebih dulu bersuara. "Aku minta maaf yang sebesar-besarnya, ya, Mas. Iya, aku salah, nggak profesional, mengecewakan. Aku membuat klien Mas Oky kapok, kecewa. Pokoknya aku siap menerima konsekuensinya, apapun. Bahkan kalau Mas pengen pecat, aku terima. Pokoknya, apa yang terjadi di Bogor kemarin memang nggak termaafkan."

Mas Oky tertegun, menatapku dengan bingung. Pria itu menarik napas berat, lalu kembali menatapku dalam. Tak bisa dipungkiri, ada raut kecewa di wajahnya.

"Well, yeah ...." Ia mengangkat bahu bingung. "Jujur kelakuan kamu di Bogor kemarin memang fatal. Aku sempat kecewa, sempat emosi, tapi ..." Ia kembali mengangkat bahu. "Bersyukurlah karena kita bertemu dengan klien yang baik. Walau sempat kecewa, mereka mau memahami dan mau menerima permintaan maaf dari kita. Dan yang terpenting, mereka nggak kapok. Mereka masih mau memakai jasa kita untuk beberapa event ke depan. Masalah kemarin sudah clear dan selesai." Ia bangkit. "Nanti secara khusus, ucapkan terima kasih pada fotografer dadakan yang kemarin menggantikan pekerjaanmu. Mereka melakukannya dengan sangat baik."

Sosok itu memutar langkah menuju depan meja lalu menyandarkan tubuhnya di sana. Bersedekap, ia menatapku dalam. "Jadi sebenarnya ada apa, sih, Ge?" Ia bertanya kemudian. Raut mukanya serius sekarang. "Ada masalah dengan pacar?"

Aku menggigit bibir. "Biasa lah, Mas. Berantem, gitu." Aku menjawab.

Mas Oky tak mengalihkan pandangannya dariku. "Kamu nggak muda lagi, lho, Ge. Pengalamanmu dengan pria sudah banyak. Ini bukan pertama kalinya kamu berkencan, bukan pertama kalinya kamu terlibat pertengkaran. Tapi ...." Ia menggigit bibir. "Ini pertama kalinya aku menemuimu seperti gini. Linglung, nggak fokus, dan ... terlihat jelas sedang banyak pikiran. Kalau kamu cuma bilang sedang berantem, aku nggak percaya."

Aku menggigit bibir. Memang agak susah menyembunyikan sesuatu darinya. Menarik napas, aku mundur beberapa langkah lalu duduk di sofa. "Ayah pacarku ingin agar hubungan kami berakhir."

"Alasannya?" Mas Oky menatapku nyaris tak berkedip.

Menggigit bagian dalam bibir, aku berujar sambil mengangkat bahu. "Usia. Karena aku lebih tua darinya." Tadinya aku sempat ragu dengan jawaban tersebut. Tapi setelah menimbang sejenak, oke, sepertinya sampai tentang ini saja alasannya.

"Lalu? Apa keputusanmu?"

"Ake menolak."

"Kerena?"

"Kerena ... kami saling mencintai," jawabku kemudian. Di luar dugaan, Mas Oky manggut-manggut. "Nah, itu jalan keluarnya sudah ketemu kan." Ia menjawab. "Ge, aku sudah pernah bilang padamu, bahwa dalam sebuah hubungan, yang terpenting adalah ada cinta, maka semua rintangan akan terselesaikan. Maju terus saja kalau kamu yakin bahwa pacarmu yang sekarang adalah yang terbaik." Ia bergerak mengambil mengambil kamera. "Sekarang ayo kembali bekerja."

Aku menatap pria itu dengan bingung. "Ini aku nggak dipecat, kan, Mas?"

Mas Oky tergelak. "Ngapain? Ya enggak-lah."

"Kan kesalahanku fatal?"

"Kan sudah clear, Ge."

"Ya, seenggaknya, marahi dulu gitu, kek. Aku pantes kok menerimanya."

Mas Oky terkekeh lagi. "Masalah yang kamu perbuat sudah terselesaikan. Jadi nggak ada alasan lagi kan untuk marah-marah. Sudah, ayo kembali ke mejamu sana. Banyak foto yang harus kita selesaikan." Ia bergerak, meninggalkan diriku dalam bingung. Serius, kupikir Mas Oky akan mendepakku.

Karena aku masih tak kunjung meninggalkan ruangan Mas Oky, pria itu berdehem lagi. "Bantu aku menyiapkan properti dulu," ucapnya. Aku mendongak ke arahnya dan reflek menjawab dengan penuh semangat, "Siap." Kemudian aku melesat untuk segera malaksanakan instruksi Mas Oky.

Hari itu aku kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan di studio. Saking semangatnya, beberapa pesan singkat dari Lisa kuabaikan. Aku hanya sempat menjawab singkat; Nanti aku ke kosmu.

Selebihnya, ponsel itu kutaruh di meja.

***

"Jadi, siapa yang depresi? Kok tiba-tiba nanya tentang depresi." Lisa membahas pesan singkatku tadi pagi sembari menyodorkan minuman di botol plastik. Jam menunjukkan pukul setengah tujuh. Setelah dari studio foto, aku mampir ke kos Lisa terlebih dahulu sesuai janjiku tadi.

"Kenalan. Pernah jadi klien-nya Mas Oky. Tiba-tiba penasaran saja. Kira-kira bisa disembuhin apa enggak, gitu." Aku berbohong. Tadi ketika dalam perjalanan kemari, aku merenung lalu memutuskan untuk menyembunyikan rapat-rapat perihal penyakit mental yang diderita Arcano.

Lisa menarik bahu sembari menjatuhkan tubuhnya di sebelahku. "Nggak ngerti, deh. Tadi iseng nanya-nanya ke Dion, kali aja dia paham, ternyata juga sama. Nggak paham. Tapi---" Ia menenggak minuman dari botolnya. "Kalau anggak salah ingat, aku dulu pernah punya bibi jauh yang punya gangguin jiwa. Suka ngamuk-ngamuk, suka bicara nggak nyambung, stres gitu, deh. Sampai sekarang juga masih stres, kok."

Mendengar penuturan Lisa yang terakhir, aku menelan ludah.

Nggak bisa sembuh?

Buru-buru aku menghalau segala pikiran buruk. "Ya sudah lah, bukan hal yang penting untuk dibahas. Tadi pagi cuma tiba-tiba saja kepikiran." Aku menjawab sembari menenggak minuman dari botol.

"Ngomong-ngomong, tadi pagi, Lukas dari sini."

Kali ini, aku menatap Lisa dengan tatapan syok. "Kok bisa? Darimana dia tahu tempat kosmu ini? lagian, ngapain dia menemuimu?"

"Tadi pagi, beberapa saat setelah kamu ngirim pesan, dia telpon. Katanya ada yang mau diomongin, penting banget. Aku bilang nggak tertarik, dan nggak mau tahu. Tapi dia maksa terus. Risih banget. Akhirnya ya sudah lah, aku kasih tahu alamat kos, terus dia meluncur ke sini." Kali ini Lisa menggeleng jengkel. "Nomornya kamu blokir ya?"

"Hu um. Males banget menerima telpon darinya."

"Nah, itu dia juga cerita. Termasuk soal niatnya untuk ngajakin kamu nikah." Lisa menatapku was-was.

"Itu nikah kontrak, Lis. Ortunya pengen dia cepet-cepet nikah, dan dia ngajakin aku nikah. Formalitas aja. Sableng, kan?"

Aku bangkit lalu mondar-mandir. Entah kenapa, setiap kali membicarakan tentang Lukas, emosiku meluap. "Setelah apa yang dia lakukan padaku, jika aku tetap mau nikah sama dia, aku pasti tolol. Catat itu," peringatku.

"Dia ke sini mau memastikan, nanyain, apa bener kamu sudah punya pacar? Ya aku jawab saja, sudah."

"Sip." Aku mengacungkan jempol ke arah Lisa lalu mondar-mandir lagi. "Jika Lukas bertanya lagi padamu tentang pacarku, bilang saja padanya bahwa hubungan percintaanku kali ini serius dan kami siap nikah kapan pun aku mau." Aku melanjutkan.

"Serius?" Pertanyaan Lisa membuat langkahku terhenti. Kutatap perempuan itu dalam. "Serius," jawabku. "Aku siap jatuh cinta sedalam-dalamnya pada Arcano, Lis. Aku siap jungkir balik untuk dirinya. Selama ini aku nggak pernah seyakin ini menjalin hubungan. Tapi, Arcano berbeda. Jadi, aku nggak punya waktu lagi untuk meladeni pria-pria macam Lukas." Aku melanjutkan.

Tatapan Lisa padaku masih sama. Syok bercampur takjub. "Jadi beneran hubungan kalian sudah seserius itu? Bukan karena kalian terlibat hubungan satu malam, kan?"

Aku mengangguk dengan mantap. "Serius, Lis. Bahkan andai ia menawariku lagi untuk mengajak nikah, akan ku iyakan."

"Jangan bilang kalau kamu hamil." Lisa memotong. Aku tersedak, nyaris saja menumpahkan minuman dari mulut. Sekian detik kemudian aku tergelak. "Sejujurnya waktu itu kami bercinta tanpa pengaman. Aku juga ingat bahwa hari itu sedang dalam masa subur. But, no. Aku nggak hamil." Aku buru-buru menepis. "Tapi, kayaknya bakalan seru banget ya kalau aku hamil. Membayangkan ada yang bergerak, tumbuh di perutku, wow ... susah dijelaskan dengan kata-kata." Aku kembali tertawa. "Apalagi kalau anak itu sudah lahir, aku penasaran ia akan mirip dengan siapa." Membayangkan saja, aku sudah terkikik geli.

Lisa tersenyum lalu manggut-manggut. "Sekarang kamu beda, Ge." Tatapannya dalam.

Tawa kecilku terhenti. "Oh ya?"

Ia mengangguk. "Kelihatan banget dari sinar matamu. Binar ini nggak pernah kutemui sebelumnya, manakala kamu ngomongin cowok-cowokmu terdahulu. Dan ... ini untuk pertama kalinya pula kamu ngomongin soal anak. Seolah kamu siap merancang masa depan dengan Arcano. Apakah ia telah sedemikian rupa membolak-balikan hatimu?"

Aku menyeret kaki dan kembali duduk di sisi Lisa. "Bisa jadi," jawabku lirih.

Yeah, bisa jadi.

Lisa merentangkan tangan dan merangkulku erat. "I'm happy for you, Ge. Aku seneng banget akhirnya kamu bisa menemukan lelaki yang tepat."

Aku balas memeluk sahabatku tersebut tak kalah erat. Tak mampu menjawab doa Lisa, tapi tak berhenti berharap bahwa kali ini aku benar-benar menemukan orang yang tepat.

Pak Herry bilang, tidak mudah mendampingi seseorang dengan depresi. Tapi, bukankah selama ini hidupku juga cukup rumit? Bebannya pasti tak jauh berbeda. Jadi, oke, aku siap untuk mendampingi Arcano, apapun keadaannya.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro