12. Ayo, Menikahlah Denganku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langkahku terhenti ketika menyaksikan mobil itu terparkir di halaman rumah. Beberapa kali berkunjung, aku hafal bahwa itu adalah mobil Aditya. Mendengkus kesal, kulirik arloji di tangan. Jam delapan lebih lima belas menit, kenapa ia masih di sini?

Menatap jendela ruang tamu, dari balik korden terlihat beberapa orang yang tengah duduk bercengkerama. Sepertinya Aditya dan Amel ada di sana.

Sejenak aku tertegun, bingung mengambil sikap. Rumah ini hanya punya satu pintu masuk, kanan kiri diapit rumah tetangga dengan tembok menjulang. Jika ingin ke kamar, otomatis aku akan berpapasan dengan mereka terlebih dahulu di ruang tamu. Membayangkan bertemu dan bertatap muka dengan Aditya, rasa jijik menghinggap dada. Atau sebaiknya aku melesat masuk begitu saja tanpa menyapa? Andai begitu pun, aku tetap akan berpapasan dengan mereka.

Setelah merenung, akhirnya aku memutuskan untuk berbalik. Melangkahkan kakiku menyusuri trotoar, menuju taman kecil di ujung jalan. Menghindari dulu masuk rumah untuk sementara waktu. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk duduk-duduk dulu di bangku pinggir jalan. Mengambil rokok, mengisapnya pelan sembari menyaksikan kendaraan berlalu lalang. Lumayan lama aku menghabiskan waktuku di sana. Sampai akhirnya mobil itu datang, berhenti di bahu jalan, tak jauh dariku.

"Bangsat." Tanpa sadar aku mengumpat lirih ketika melihat sosok itu keluar dari sana. Melangkah mendekat tanpa ragu, lalu duduk di sisiku tanpa ku persilahkan. "Aku tadi melihatmu memasuki halaman rumah, lalu berbalik. Menghindariku, ya?" Ia berujar santai.

Aku bersedekap dan menjawab pendek, "Ya."

"Kenapa?"

"Karena aku nggak suka bertemu denganmu." Aku mematikan rokok dengan kasar lalu melemparkan puntungnya ke bak sampah di sisi bangku.

"Woa, jangan galak-galak. Nanti aku makin suka." Ia terkekeh. Segera kubalas kalimatnya dengan tatapan tajam. Dan pria itu tetap saja mengangkat bahu dengan sikap cuek.

"Lihat, bibirku masih sakit, lukanya belum kering. Jika adikmu bertanya, sebaiknya kujawab apa? haruskah kubilang ... bekas kamu gigit?"

Kali ini kutatap pria itu sambil terkekeh sinis. "Kamu lihat bagaimana adikku membicarakan hal buruk tentangku? Itu artinya, hubungan kami tidak baik-baik saja. Jadi apa kamu pikir aku peduli tentang perasaannya? Tentu saja tidak. Jika dia bertanya, jawab saja semaumu. Mau bilang kalau bibirmu habis kugigit, kucakar, terserah. Aku nggak peduli." Aku bangkit.

"Atau harus kugigit juga bibirmu biar impas?" Aditya terkikik.

Dan akhirnya aku tak mampu menahan diri. Berbalik, kulayangkan tangan untuk menampar mulut pria tak tahu malu ini. Nyatanya ia sigap menahan tanganku, mencengkeramnya erat lalu menarik diriku ke arahnya. Nyaris membuatku terduduk di pangkuannya, walau sudah.

"Bedebah!" Aku baru-baru bangkit. "Jika kamu begini lagi, aku akan berteriak."

"Berteriak saja. Aku suka membuat keributan denganmu." Aditya kembali menjawab santai lalu ikut bangkit. Menatapku dengan tatapan tak gentar sama sekali. Semakin tenang ekspresinya, semakin darahku mendidih karena marah.

"Sebenarnya ada apa denganmu?!" Aku menjerit sembari mendorong tubuhnya kasar.

"Menggodamu. Ini akan menjadi hobi yang sangat menyenangkan."

"Are you insane?" Aku ternganga. Pria itu kembali mengangkat bahu lalu berujar, "Jika aku bilang bahwa aku jatuh cinta padamu sebelum kita bertemu, apa kamu akan percaya?"

"What?" Aku kembali menatapnya tak percaya. Apa pria ini gila?

Ia manggut-manggut untuk meyakinkanku. "Well, itulah yang kurasakan padamu. Awalnya aku memang terpesona dengan adikmu. Dia cantik, sopan dan ramah sekali. Namun ketika kami mulai dekat, ia nggak pernah berhenti untuk membicarakanmu. Membicarakan segala kebiasaanmu, kasus-kasusmu, dan semua keburukanmu. Dan entah mengapa, pada akhirnya aku justru menemukan diriku tertarik denganmu." Tatapannya dalam, tertuju langsung ke manik mataku.

"Menyenangkan sekali mendengarkan semua kisah tentangmu. Setiap kali aku dan Amel bertemu, maka cerita tentang dirimulah yang kutunggu. Aneh sekali, bukan? Semua hal yang ia ceritakan adalah hal buruk. Tapi itu justru membuatku makin penasaran akan sosokmu. Dan ketika akhirnya kita bertemu, woaahh, ternyata apa yang dibilang Amel benar adanya. Kamu arogan, kamu kasar dan nggak punya tata krama. Tapi justru itu malah membuatmu makin menggairahkan dan terlihat menggoda." Kali ini, pria itu menatapku dari ujung kepala hingga kaki. Tatapan matanya nakal dan dipenuhi hasrat.

Aku mengangkat dagu dan membalas tatapannya dengan angkuh. "Mohon maaf tuan Aditya, aku nggak tertarik meladeni jiwa petualangmu. Aku sudah terlalu bosan bermain-main. Cari saja orang lain." Aku berbalik.

"Amel ingin kami cepat-cepat menikah, dan aku siap. Dia ingin setelah menikah, kami tinggal di rumah karena dia bilang, dia nggak bisa berjauhan dari Mamanya. Dan aku setuju. Jadi ...." Ketika kalimatnya menggantung, aku berhenti melangkah lalu menatapnya. Dan pria itu tersenyum.

"Kita akan sering-sering ketemu," ucapnya.

Aku menggeleng-geleng tak percaya. "Sakit kamu," desisku. Lalu kembali melangkah, pergi. Tak tertarik kembali menatap sosok pria di belakangku.

Sebenarnya aku tahu alasan Amel menceritakan hal buruk tentangku pada pacarnya. Karena ia dendam.

Dulu, aku pernah merebut pacarnya, dua kali. Ketika ia masih duduk di kelas 3 SMA, dan kuliah semester 2. Kenapa aku melakukannya? Karena perilaku memang buruk.

Sudah kubilang, aku nakal sejak dulu. Ditambah dengan kemampuan otakku yang tak pintar. Hari-hari yang kulewati adalah bikin masalah, terutama ketika masih duduk di bangku sekolah. Tak terhitung jumlahnya Mama atau Papa dapat panggilan dari sekolah karena ulahku. Bolos, tawuran, dan kenakalan lainnya. Kuliahku bahkan tak selesai karena aku di drop-out. Definisi anak pertama yang hancur dan gagal. Begitulah diriku.

Sebaliknya, Amel berbeda. Dia adalah gambaran anak perempuan idaman semua ibu. Ia cantik, pintar, sopan dan berprestasi. Beberapa kali ia mewakili sekolah untuk mengikuti lomba. Ia bahkan selesai kuliah lebih awal. Itulah kenapa Mama begitu menyayanginya, memberinya apa yang ia minta. Mama dengan bangga menceritakan prestasi Amel pada teman-temannya dan juga kerabat. Perlakuannya pada kami tak sama. Apapun yang Amel minta, Mama akan selalu berusaha memenuhi. Sementara denganku, tidak.

Dan akhirnya rasa iri itu muncul. Aku benci sekali dengan Amel. Aku benci dengan segala yang ia punya. Kasih sayang, perhatian, dan juga cinta. Apapun yang ia punya, selalu ingin kuambil paksa.

Tapi itu dulu. Sekarang aku sudah makin tua dan tak tertarik untuk mencari keributan. Termasuk menggoda pacar Amel. Aku sudah berdamai dengan diriku sendiri. Aku ingin hidupku begini-begini saja. Kerja, pulang, tidur, kerja lagi, tidur lagi, lalu menua ... dan mati.

Tetap sendiri pun tak masalah.

***

Sesampainya di rumah, terlihat Papa dan Mama masih duduk mengobrol di depan tivi. Tanpa memberi salam, aku melangkah ke kamar lalu melemparkan tasku ke sembarang arah kemudian aku bergerak ke kamar Amel. Ketika sampai sana, aku membuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Dan terlihat perempuan itu tengah duduk di depan layar laptop. Melihat kedatanganku yang tiba-tiba, ia menatapku dengan ekspresi marah. "Bisa nggak ngetuk pintu dulu?" protesnya.

"Nggak bisa," jawabku ketus. "Jadi kenapa kamu menceritakan hal buruk tentangku pada pacarmu?" todongku kemudian.

Amel menatapku dengan ekspresi syok. "Dari mana Mbak tahu?"

"Pacarmu." Aku menjawab singkat dan jelas. "Jangan lakukan itu. Kamu nggak perlu lagi menceritakan hal buruk tentangku padanya. Aku nggak tertarik merebut dia darimu."Setelahnya aku berbalik. Karena hanya itu yang awalnya ingin kusampaikan. Namun setelah berpikir sejenak, akhirnya aku kembali menatap Amel. "Jika boleh ngasih saran, tinggalkan Aditya. Dia bukan pria yang baik." Sebenarnya ini bukan urusanku. Tapi entah kenapa, untuk kali ini aku ingin menyampaikannya.

"Kalian bertemu? Di mana? Apa kalian mengobrol lama? Siapa yang berinisiatif untuk meminta bertemu lebih dulu?" Amel bangkit, menatapku dengan tajam.

Aku bersedekap dan mengangguk santai. "Ya, kami bertemu beberapa kali."

Amel melotot. "Jadi kenapa Mbak Ge harus lancang menemuinya? Mbak sengaja, kan? Pasti Mbak yang meminta bertemu lebih dulu. Mbak ingin menggodanya, ya, kan?!" Perempuan itu berujar dengan nada tinggi. Terlihat sekali bahwa sekarang ia sedang marah.

"Dia yang menggodaku." Aku kembali menjawab santai.

"Mbak pikir aku percaya? Yang ada pasti kamu yang mengodanya lebih dulu." Ia berjengit. Serius, apa kali ini kami harus terlihat keributan demi lelaki model Aditya?

"Menggodanya? Aditya?" Aku tergelak. "Nggak tertarik. Sorry," jawabku kemudian.

"Halah, munafik. Bilang saja Mbak iri sama aku. Ya, kan? Karena aku punya pacar tampan, baik, mapan. Dan yang jelas, ia bertanggung jawab. Ia serius ingin menikah denganku. Sementara Mbak? Dasar perawan tua." Bibirnya berdecih.

"Jaga bicaramu. Aku ini masih kakakmu, umurku lebih tua darimu." Kali ini tatapanku serius. Bukan marah karena disebut Perawan Tua, karena ia tak percaya bahwa Aditya lah yang menggodaku. Sungguh,apa aku memang seburuk itu di mata adikku sendiri?

"Kakak? Dengan kelakuan kamu selama ini, masih pantaskah disebut kakak? Kuliah aja nggak lulus, brengsek, murahan lagi. Selama ini kamu cuma jadi beban di rumah ini!"

Plakk!

Pada akhirnya, aku tak mampu menahan diri lagi. Tamparan itu kulayangkan keras ke pipi Amel hingga sempat membuat perempuan itu terhuyung. Sejenak kemudian, ia meraung sembari memegangi pipinya. Lalu Mama muncul, berteriak padaku dan ... ia balas menamparku. Panas menjalar ke seluruh wajah. Tak berpikir untuk menyentuh pipi bekas tamparan Mama, aku mendongak, menatap sosok itu dengan tajam. "Jadi kenapa Mama menamparku?" tanyaku sinis.

"Karena kamu menyakiti Amel!" Ia menjerit. "Kakak macam apa kamu ini?"

Aku menggigit bibir. "Jadi memukul Amel dilarang, tapi memukul diriku, boleh gitu? Ibu macam apa kamu?"

"GLORIA!" Mama berjengit dan nyaris saja melayangkan pukulan kembali padaku namun urung karena Papa muncul dan menghalau dirinya.

"Setidaknya yang dikatakan Amel itu benar, kan, Ge? Bahwa sebagai kakak, kamu sudah gagal. Kamu selalu bikin malu orang uta. Kamu nggak pernah mau nurut sama Mama. Makanya hidupmu berantakan!" Mama kembali berteriak dengan kalap. Amel menangis di pojok ruangan, sementara Papa tak berhenti untuk melerai keributan di antara kami. Patricia yang mendengar keributan kami pun datang, lalu bersembunyi di balik pintu dengan ekspresi takut.

Wajahku memanas. Pertengkaran seperti ini bukan yang pertama kali. Tapi setiap kali terjadi, selalu saja ada yang berderak di dada. Terkikis sedikit demi sedikit, menyisakan lara yang terus menganga.

"Aku baik-baik saja ketika tinggal bersama nenek. Aku baik-baik saja ketika tinggal sendirian. Sampai akhirnya Mama menjemputku untuk pulang ke rumah, dengan dalih bahwa keluarga harusnya tinggal bersama. Keluarga? Tinggal serumah?" Aku terkekeh sinis. "Masih bisakah kita disebut keluarga sementara setiap hari Mama memperlakukanku seperti sampah!" jeritku.

"Jaga bicaramu! Seolah apa yang terjadi di hidupmu adalah kesalahan Mama. Padahal semua akibat ulahmu sendiri! Bukan Mama yang salah!" Mama kembali berteriak.

Aku menelan ludah. Kedua mataku rasanya sudah basah.

"Ma, sudah, Ma." Papa berusaha menenangkannya. "Ge, masuk ke kamarmu." Ia memberi perintah.

Menatap kembali ke arah Mama yang masih tampak kalap, aku berujar dengan bibir bergetar, "Ya, bukan Mama yang salah. Aku yang salah. Ya, aku yang salah dan Mama selalu benar! Puas?!" Setelah itu aku melesat, dengan langkah panjang bergerak menuju kamarku sendiri. Menyambar tas, aku berlari keluar. Pergi secepat mungkin meninggalkan rumah yang selalu saja terasa engap.

Air mataku jatuh berderaian sesaat setelah kakiku menginjak trotoar. Malam itu aku menangis di sepanjang jalan. Melangkah tak tentu arah. Bingung ingin ke mana. Hingga akhirnya, keputusan itu terbersit.

Meraih ponsel di tas, aku melakukan panggilan tanpa ragu.

"Selamat malam, Pak," sapaku ketika panggilan itu sudah terjawab dari sana.

"Ya?" Suara berat itu terdengar.

"Pak, bolehkah saya berkunjung ke rumah? Saya ingin bertemu dengan Arcano. Ada hal penting yang harus saya bicarakan dengannya." Aku berkata kemudian. Sejenak tak ada jawaban.

"Sekarang?" Akhirnya, Pak Herry bersuara.

"Ya." Dan suaraku nyaris tercekat. Ironis sekali, aku meminta ijin pada seorang Ayah untuk bisa bertemu dengan anak lelakinya, di waktu yang nyaris sudah larut. Betapa murahan dan tak tahu malu. Apakah aku sudah seputus asa ini? Sepertinya iya.

"Baiklah. Tapi ini sudah larut, apakah Bapak perlu mengirimkan pak sopir untuk menjemputmu?"

"Nggak usah, Pak. Saya akan ke sana naik taksi. Terima kasih." Lalu pembicaraan berakhir. Dan ketika sebuah taksi melintas, aku menghentikannya tanpa berpikir kembali.

***

"Apakah tawaranmu untuk mengajakku menikah masih berlaku? Kalau iya, ayo kita menikah."

Arcano yang tengah duduk di sofa yang berada di hadapanku, ternganga. Wajahnya syok seketika. "Ge?" panggilnya bingung.

Sekarang aku sadar satu hal, kenapa aku bersikeras untuk tetap mendampingi Arcano dengan keadaannya yang seperti ini.

Bukan.

Bukan untuk menyelamatkan dirinya.

Karena faktanya, akulah yang butuh diselamatkan. Karena kalau tidak, aku bisa gila.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro