13. Morning Glory

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Taksi yang kutumpangi berjalan perlahan ketika kami nyaris sampai di rumah Arcano. Menatap rumah megah itu dari jendela kendaraan, keningku mengernyit. Sosok itu ada di sana, di luar gerbang rumah, tepat di depan pos satpam. Ia mondar-mandir, menatap arloji di tangan, lalu menatap ujung jalan secara bergantian. Apa ia sedang menunggu seseorang?

Ketika taksi menepi dan akhirnya berhenti, ia melesat untuk mendekat. Membungkukkan badan, ia melongok ke dalam mobil. Seolah memastikan siapa gerangan yang sedang ada di kursi penumpang. Dan ketika tatapan kami bertemu, senyumnya mengembang lebar.

Buru-buru ia membantu membuka pintu lalu mengulurkan tangan untuk mengajakku turun. "Akhirnya," sapanya lega. Aku menatapnya bingung, hingga akhirnya ia menjawab, "Aku menunggumu," ucapnya girang.

Arcano merogoh saku, mengeluarkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah lalu menyodorkannya ke arah sopir taksi. Setelah menerima, sopir taksi berujar, "Ini terlalu banyak, Pak."

"Nggak apa-apa, Pak. Sisanya ambil saja. Terima kasih karena telah mengantarkan pacar saya dengan selamat." Arcano menggandeng tanganku erat lalu mengajakku memasuki halaman. Terdengar pak Sopir taksi mengucapkan terima kasih berulang-ulang.

"Aku kaget ketika Ayah mengatakan bahwa kamu akan berkunjung. Tadinya nggak percaya, tapi setelah melihat sendiri nomor ponselmu, aku senang sekali. Secepat kilat aku berlari keluar dan menunggumu di sana." Pria itu mengangkat tanganku yang ia gandeng lalu mengecup jemari-jemarinya pelan.

Dan aku takjub. Kenapa ia bisa semanis ini ya Tuhan?

"Ayo." Masih dengan senyum mengembang, ia kembali menggandeng tanganku erat, mengajakku masuk ke rumah. Menaiki undakan dengan langkah ringan, melewati ruang tamu yang membentang. Langkahnya ternyata tak terhenti di sana. Entah ia ingin mengajakku ke mana.

Ketika langkah kami nyaris sampai di pintu tengah menuju sebuah selasar panjang, suara itu terdengar. "Oh, sudah datang rupanya."

Aku berbalik, nampak Pak Herry tengah berjalan menuruni anak tangga. Aku buru-buru melepas gandengan Arcano, lalu bergerak menyapa beliau.

"Selamat malam, Pak. Maaf saya harus datang malam-malam begini." Aku membuka suara.

Pak Herry terkekeh lirih. "Nggak apa-apa. Toh Arcano senang sekali karena kamu datang." Tatapannya singgah ke arah putranya yang berdiri di sisiku dengan senyum semringah.

"Iya, dong." Ia menjawab riang.

"Buatlah dirimu nyaman, Nak Ge. Anggap saja rumah sendiri." Pak Herry kembali berujar.

"Dia bilang ada yang ingin dibicarakan denganku. Jadi aku ingin mengajaknya ke kamar. Ayo," ucap Arcano sambil meraih tanganku kembali. Aku mendelik. "Kamar?" bisikku.

Pria tersebut mengangkat bahu cuek. "Iya. Nggak mungkin kan kita mengobrol di ruang tamu."

"Tapi---,"

"Nggak apa-apa. Ikuti saja dia, Nak Ge. Nanti kalau butuh sesuatu, minuman, cemilan, atau mungkin makan malam, tinggal bilang saja padanya. Oke?" Pak Herry memotong. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi keberatan sama sekali. Setelahnya, ia yang undur diri terlebih dahulu untuk kembali ke kamar atas.

Arcano sigap menyeret tanganku lagi. Seolah tak sabar agar bisa lekas sampai kamarnya dan kami bisa mengobrol berdua saja. "Kamarku ada di lantai satu. Aku nggak terlalu suka naik turun tangga," ucapnya. Seolah ingin menjelaskan tanpa menunggu aku bertanya. Memang tadinya aku sempat heran ketika ia menyebutkan bahwa kamarnya ada di lantai satu. Karena biasanya, anak muda pada umumnya lebih suka pemandangan dari balkon.

Kamar Arcano sendiri jauh dari perkiraanku semula. Bukan sekadar kamar tidur luas berisi bed super lebar dengan furniture mewah yang sesuai dengan konsep rumah. Nyatanya, kamar Arcano lebih mirip rumah kontrakan. Luas sekali.

Kamar Arcano berada di belakang ruang induk, tapi tak terpisah bangunan. Dilengkapi teras di bagian belakang, lengkap dengan ruang tamu, ada kamar mandi, ada pula ruang baca, dan juga tempat tidur lebar yang menghadap langsung ke jendela. Tak lupa dapur mini lengkap dengan segala perabotnya.

"Kamu masak sendiri? Bukannya ada asisten yang biasa membuatkanmu makanan?" tanyaku spontan.

Tatapan Arcano beralih ke bagian dapur sejenak. "Kadang-kadang saja, kok. Kalau pas ingin masak sendiri, explore resep dari youtube, atau mungkin mie instan di kala hujan dengan irisan cabe yang banyak, ya aku masak sendiri." Ia menjawab santai sambil membimbingku untuk duduk di sofa empuk nan lebar yang bisa digunakan untuk tiduran.

"Mau minum apa?" Pria itu berjingkat ke dapur. Ia tetap saja menawan walau hanya mengenakan kaos oblong dan celana jeans yang dipotong selutut.

"Apa saja." Aku menjawab asal.

"Teh manis ya?" Ia menawarkan. Dan aku mengangguk. Ketika Arcano tengah sibuk membuatkanku teh, aku sibuk menatap sekeliling dengan takjub. Bohong jika aku tak mengagumi segala kemewahan yang ada di ruangan ini. Bukan pertama kalinya aku mengencani pria kaya, toh Lukas salah satunya. Tapi yang benar-benar punya ruang se-privat ini, Arcano lah orangnya.

Ataukah Pak Herry memang sengaja menempatkannya di ruang terpisah dengan fasilitas lengkap seperti ini? Karena ia sakit? Mungkin, ia pernah mengamuk? Bisa jadi.

"Aku penasaran sekali tentang apa yang ingin kamu bicarakan padaku." Arcano datang dengan secangkir teh. Ia letakkan minuman itu di hadapanku, lalu Ia sendiri duduk di sofa yang berlawanan denganku. "Ayo. Aku siap mendengarkan tentang apa yang ingin kamu sampaikan." Ia berucap lagi. Tatapannya lurus ke arahku.

Aku menegakkan punggung lalu menelan ludah. Mencoba menghalau debar di dada karena mengingat apa yang hendak kubicarakan.

"Cano ...," panggilku pelan.

"Ya?" Tatapannya dalam, menembus lurus ke iris mataku, seolah kembali menekankan bahwa ia siap mendengar setiap kalimat dari mulutku.

"Apakah tawaranmu untuk mengajakku menikah masih berlaku? Kalau iya, ayo kita menikah."

Arcano yang tengah duduk di sofa yang berada di hadapanku, ternganga. Wajahnya syok seketika. "Ge?" panggilnya bingung.

"Andai tawaran itu masih ada? Dan kamu masih tetep ingin menikah denganku, maka aku siap. Ayo kita nikah."

Punggung Arcano seketika kaku. Ia beringsut, menumpukan lengan di atas kedua lutut. "Aku nggak salah dengar, kan?" ulangnya.

Aku menggeleng.

"Serius? Kamu mau menikah denganku?"

Ketika aku mengangguk cepat, Arcano seketika bangkit. Binar bahagia terlihat jelas di kedua matanya yang bening. Ia meloncat girang, lalu buru-buru melesat. "Akan kuberitahu ayahku," teriaknya.

"Tapi ada syaratnya."

Kalimatku membuat langkah Arcano seketika terhenti. Tubuhnya mematung. Pelan ia berbalik dan menatapku dengan tatapan was-was. Binar di kedua matanya seketika sirna. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku merasa bersalah. Mungkin harusnya aku tak mengeluarkan syarat-syarat tertentu untuk mau menikah dengannnya. Tapi apa boleh buat, ini harus dilakukan.

"Syarat?" Arcano mengulang kembali kata-kataku. Ketika memberikan jawaban beruapa anggukan, bahunya luruh.

"Duduklah, ayo kita bicara." Aku menunjuk sofa dengan dagu.

Arcano menyeret kaki, melangkah gontai untuk kembali duduk di sofa yang semula ia duduki.

"Jangan yang berat, ya. Bikin candi dalam semalam, misalnya. Aku nggak akan sanggup." Ia menjawab.

Mendengar kalimatnya barusan, aku terkekeh lirih. "Enggak, kok," jawabku.

Arcano duduk dengan ekspresi gusar, jawabanku tetap saja tak mampu membuatnya tenang. "Baiklah, ayo kita diskusikan apa syaratnya." Ia mulai tak sabaran.

Aku meraih cangkir teh, menyeruput isinya pelan, lalu mulai berbicara. "Satu, aku nggak mau ada pesta pernikahan. Kita hanya akan menikah secara sederhana di KUA. Tanda tangan surat nikah, dan selesai. Nggak ada tamu undangan. Hanya ada keluarga dan beberapa teman dekat saja."

"Oke." Arcano menjawab cepat, bahkan ketika kalimatku belum sepenuhnya usai.

"Dan ... harus dilakukan dalam dekat ini. Aku nggak mau menunggu terlalu lama."

"Siap." Lagi-lagi ia menjawab cepat.

"Dua, aku punya hubungan yang rumit dengan keluargaku, terutama dengan Mama dan adikku. Jadi, setelah menikah, ajak aku tinggal di sini. Aku nggak mau tinggal di rumahku sendiri."

"Setuju, apapun yang kamu mau." Arcano kembali menjawab. Entah hanya perasaanku saja atau apa, kalimatnya kali ini terdengar lebih bersemangat.

"Mengingat hubungan keluargaku yang nggak harmonis, jangan protes kalau aku akan sangat jarang mengajakmu datang ke rumah, atau sekadar berkunjung untuk menemui Mama dan Papaku. Aku nggak suka ritual seperti itu."

Arcano menyipitkan mata. "Apa hubunganmu seburuk itu?"

Aku mengangguk tanpa perlu berpikir dua kali.

"Kok bisa?"

Dan aku pun tak ragu untuk memberikannya sedikit penjelasan. "Mamaku pilih kasih. Ia memperlakukan adikku dengan baik, tapi aku enggak. Sebetulnya hal wajar, karena sejak kecil aku nakal, pembuat onar, dan nggak pintar. Beda sekali dengan adikku yang berprestasi dan penurut. Jadi, lumrah memang bila kami diperlakukan berbeda. Itulah mengapa, hubungan kami nggak pernah baik." Aku mengangkat bahu

Arcano menatapku lagi, lebih dalam, lalu manggut-manggut.

"Oke?"

"Oke." Ia menjawab. "Syarat lain?"

"Kamu wajib berbagi cerita padaku, membagi semua hal yang kamu rasakan. Berbagilah cerita ketika kamu merasa bahagia, pun begitu ketika kamu merasa terpuruk. Nggak ada yang boleh disembunyikan di antara kita."

Arcano menatapku bingung. Tak ada jawaban dari mulutnya.

"Kamu bisa menanyakan apapun padaku, bahkan tentang keluargaku. Aku juga akan membagi semua keluh kesahku, cerita suka maupun duka yang kurasa. Sebaliknya, kamu pun juga harus begitu padaku. Sepakat?"

Dan pria itu mengangguk.

"Sudah," jawabku.

Arcano menelangkan kepalanya. "Sudah?" Ia bertanya ulang.

"Sudah. Itu syarat yang kuajukan untuk pernikahan kita." Aku menegaskan.

Kedua mata Arcano mengerjap, dan sekian detik kemudian pendar itu kembali. Senyum terukir di bibirnya yang penuh. "Sepakat, sepakat, sepakat." Ia berujar ceria. "Boleh kuberitahu ayah dan ibuku?"

Aku baru saja mengangguk ketika sosok itu bersorak, lalu bangkit dan melesat keluar kamar. Terdengar derap kakinya yang menghentak, disusul teriakan melengking yang memanggil sang Ayah. Tanpa mampu kubendung, bibirku ikut tersenyum.

Arcano lumayan lama meninggalkanku sendirian di kamarnya. Hingga akhirnya, nyaris lima belas menit kemudian, terdengar derap kaki, lalu mereka muncul dari balik pintu. Arcano, bersama Pak Herry di sisinya. Ekspresi Pak Herry masih nampak kebingungan, sementara Arcano berdiri antusias di sampingnya. Menggamit tubuh sang ayah dan mengajaknya masuk ke dalam kamar, tak berhenti berceloteh dengan rencana pernikahan kami.

Tatapan Pak Herry tak beralih dariku. Dalam dan penuh arti. Seolah ingin meyakinkan dirinya dan juga diriku sendiri, bahwa aku serius dengan keputusan yang kuambil. Sadar akan gejolak yang beliau rasakan, aku berujar mantap, "Mohon restui kami."

Jawaban pendek yang menyiratkan makna bahwa akau siap mendampingi putranya, apapun keadaannya.

Setelahnya, tanpa sadar kami saling menatap haru. Menatap bergantian ke arahku dan Arcano, beliau mengangguk. "Tentu." Ia manggut-manggut. "Besok, semua keperluan pernikahan kalian akan mulai disiapkan." Ia menepuk pundak putranya dengan lembut. "Ngomong-ngomong, ini sudah larut, Nak Ge. Menginaplah di sini. Besok akan bapak mintakan sopir untuk mengantarmu pulang." Lalu ia pamit.

Aku dan Arcano kembali saling tatap. "Menginap ya?" ulangnya. Aku menggeleng. "Aku akan pulang." Kuraih tas di sofa. "Sampai ketemu besok."

Belum sempat aku beranjak, Arcano bergerak mendekatiku, memeluk pinggangku erat lalu meletakkan dagunya di bahuku. "Ayolah, menginap saja. Dengar sendiri kan tadi yang dibilang ayahku? Kamarku luas. Ranjangnya juga luas. Banyak sofa. Kasur lantai juga ada. Kamu bebas ingin tidur di mana." Kali ini kalimatnya terdengar manja sekali. Hingga mau tak mau, aku pun terkikik geli.

"Ya? Ya?" Ia kembali merajuk.

Aku tersenyum dan kembali menggeleng. Namun ketika Arcano mengatakan ingin mengantarku pulang ke rumah, aku tertegun. Rumah? Dalam kondisi marahan dengan Mama, aku tak bisa berpikir untuk pulang ke rumah. Atau, aku ke tempat kost Lisa saja? Tapi sudah larut dan tempatnya terlalu jauh dari sini.

Aku meraih ponsel, mengecek sebentar. Tak ada panggilan dari Mama, maupun pesan singkat darinya. Dari adikku juga tidak. Lagipula, apa yang kuharapkan dari mereka? Berharap mereka akan menghubungiku dan menanyakan keberadaanku, lalu meminta pulang? Cih.

"Baiklah. aku akan menginap." Akhirnya aku mengambil keputusan.

Arcano mengangkat wajahnya. "Yes." Ia bersorak. Ia bangkit, membuka lemari. "Kamu bisa ganti baju dengan punyaku. Aku punya banyak kaos longgar dan celana kain yang nyaman digunakan untuk tidur." Ia memilih beberapa kaos dan juga celana.

"Sejujurnya, aku biasa tidur tanpa mengenakan baju," ceplosku.

Arcano berbalik dan menantapku dengan ekspresi syok. "Serius?" Ia ternganga.

Tergelak, aku buru-buru menjawab. "Bercanda."

Pria itu melemparkan kaos di tangannya lalu menghambur ke arahku, menubruk diriku dan menghempaskannya ke sofa lalu berdusal menggodaku. Aku menjerit dan terbahak.

"Kirain serius. Baru saja aku mau seneng." Pria itu menempatkanku di bawah dirinya lalu menatapku lembut. Aku tersenyum, lalu berinisiatif untuk mengecup bibirnya ringan. "Mau tidur seranjang?" bisikku.

Arcano menggigit bibir. Ia menunduk, membalas mengecup bibirku tak kalah lembut lalu berujar, "Istirhatlah, kamu kelihatan capek. Aku akan tidur di sofa." Lalu ia bangkit, merapikan tempat tidur yang ukurannya berkali lipat dari punyaku.

Dan begitulah akhirnya, malam itu aku menginap di rumah Arcano. Aku tidur di ranjang, dan ia di sofa. Aku terlelap sesaat setelah menghempaskan tubuhku di kasur, mengenakan baju milik Arcano.

***

Sekitar pukul 6.15 aku terbangun. Sofa di ujung tempat tidur sudah kosong dan kutemukan pria itu di sana. Duduk terdiam di depan jendela. Tatapannya menerawang, hampa.

Sejenak, aku memilih untuk memandangi tanpa bersuara. Menyaksikan ia yang sekarang, entah mengapa aku seolah menemukan dirinya yang lain. Ibarat raga yang tak punya jiwa. Sosok Arcano yang kukenal ... sirna.

"Pagi ....," panggilku.

Arcano mendongak. Menatapku pelan, senyumnya terkembang. "Pagi." Ia menjawab.

Aku menyingkap selimut lalu turun dari ranjang dan berjalan mendekatinya. "Bangun jam berapa?" tanyaku.

"Sejak tadi." Ia menjawab sembari mengulurkan tangan, memintaku mendekat. Aku menyambut uluran tangan tersebut dan duduk di dekatnya. "Pagi-pagi sudah bengong," godaku.

Senyum Arcano kembali terlukis. Tangannya terulur untuk merapikan rambutku yang sudah pasti berantakan. Dengan dagu, ia menunjuk keluar jendela. "Menikmati itu."

Aku mengikuti arah pandangan Arcano. Dan sekian detik kemudian aku ternganga. Tepat di luar kamar, membentang sebuah kebun bunga yang luas luar biasa. Hanya ada satu jenis bunga yang tengah mekar di sana. Bentuknya serupa terompet, mirip bunga kangkung, hanya saja warnanya ungu kebiru-biruan.

"Bunga kangkung?" ceplosku.

"Bukan."

Tatapan kami beradu. "Lalu?" tanyaku.

Tatapan Arcano kembali singgah pada hamparan bunga di luar sana. "Cantik, kan? Kayak kamu." Ia menggumam.

Bibirku mencebik. "Dih, gombal," timpalku.

Tatapan Arcano tak beralih. Masih dengan senyum yang terlukis di bibir, ia kembali berucap, "Namanya Morning Glory."

"Morning Glory, nama yang indah."

"Seindah artinya."

"Oh iya?"

"Harapan baru."

Dan aku tertegun. Menatap kembali hamparan bunga yang membentang di hapadan kami. Semilir angin menerpa wajah, menciptakan perasaan aneh di dada.

Harapan baru...

***

Hai, lama gak ketemu.
Mohon maaf ya baru updated.
Terima kasih sudah sabar nunggu 😊😊

Hari ini post satu part ya. Kasih tau kalo ada typo.
I love U 😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro