17. Di sini, bersamaku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pak Herry bilang, hidup dengan Arcano bukanlah hal yang mudah. Akan ada banyak kejutan yang bisa saja membuatku lelah jiwa dan raga. Dan ternyata, itu benar adanya.

Ia masih mampu menjalani kehidupan yang normal. Hampir setiap hari ia bekerja, membantu ayahnya mengurusi pabrik. Namun terkadang, ia hilang arah.

Setiap malam, pria itu nyaris tak pernah terlelap. Yang ia lakukan adalah berjalan dari satu kamar ke kamar yang lain, atau sekadar duduk mematung di depan jendela dengan tatapan kosong. Terkadang, ia lenyap di tengah malam, dan aku akan menemukannya berkeliaran di tengah-tengah perkebunan bunga. Hanya untuk menanam kembali bunga Morning Glory yang telah layu, atau sekadar mencabuti rumput liar yang jumlahnya tak banyak.

Pada akhirnya, aku pun ikut tak memejamkan mata. Bagaimana mungkin aku bisa tidur jika suamiku tiba-tiba menghilang di tengah malam, lalu berkeliaran ke sana kemari layaknya orang linglung? Tentu saja aku akan memilih untuk tetap terjaga demi menemaninya mengobrol, agar ia tak berpikir untuk berkeliaran di perkebunan, atau masuk ke kamar ibunya dan mengobrol dengan bayangannya.

***

Aku mandi dengan pelan, begitu pula dengan acara dandan. Walau hanya sekadar berganti baju kasual dan memoles bedak tipis beserta lip gloss. Arcano baru saja tertidur jam 6 lebih 20 menit. Jadi aku melakukan aktivitas di pagi itu dengan senyap agar tak membangunkannya.

"Jangan berangkat sendiri ya, Nak Gloria. Bapak sudah meminta pak sopir agar bersiap supaya mengantarkanmu ke tempat kerja." Pak Herry berujar pelan dari samping pintu ketika aku baru saja keluar kamar. Beliau tahu bahwa semalaman aku tak tidur. Kemarin juga begitu, beberapa waktu lalu pun sama. Tahu bahwa aku mengalami hal yang tak mudah sejak menikah, beliau menambah dua ART yang membantuku menyiapkan makan dan mengurusi rumah, serta seorang sopir pribadi yang siap mengantarkanku ke tempat kerja, atau kemanapun yang kumau.

"Nggak usah, Pa." Berbeda dengan Arcano yang memanggilnya 'Ayah', aku lebih suka memanggil beliau 'Papa' setelah menikah. "Saya biasa berangkat naik bis, kok. Toh di sana saya juga bisa tiduran," jawabku tak kalah pelan. Arcano jarang bisa tidur, maka dari itu, ketika ia mampu memejamkan mata, aku dan Pak Herry akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak membangunkannya. Termasuk mengobrol dengan cara berbisik, atau melangkah mengendap layaknya anak-anak yang hendak mencuri waktu untuk bisa kabur dari rumah.

"Kamu kelihatan lelah, Nak. Jangan memaksakan diri." Kali ini Pak Herry mengikuti langkahku pelan.

Aku tersenyum lalu menggeleng. "Saya baik-baik saja, kok, Pa. Lagipula, kerjaan saya nggak berat. Saya hanya akan duduk di belakang laptop sepanjang hari, atau kadang-kadang menyiapkan ruang pemotretan, itu pun nggak berat." Aku menjawab sambil memasukkan bekal dan botol minum ke tas ransel mungil yang sudah kutenteng di bahu. Setelah berpamitan, aku berangkat ke studio tetap dengan kendaraan umum.

Sebenarnya alasanku menolak diantarkan sopir, karena aku tak ingin menerima banyak pertanyaan dari Mas Oky ataupun Mbak Susan. Selama ini mereka tahunya aku berangkat dan pulang kerja dengan kendaraan umum. Apa jadinya jika mereka sampai tahu bahwa aku diantarkan sopir, dengan mobil mewah pula? Pastinya aku sangat kebingungan memberikan penjelasan bila mereka bertanya.

Statusku yang sudah menikah dengan Arcano masih kurahasiakan. Baik dari teman-teman di studio, ataupun dari Lisa. Tidak ada alasan yang aneh-aneh. Aku hanya ingin menjalani kehidupan yang tenang bersama suamiku dan papanya. Itu saja.

Terkadang timbul perasaan bersalah, terutama pada Lisa. Manakala aku berkunjung ke tempat kost-nya, ia akan dengan bahagia menceritakan perkembangan hubungannya dengan Dion. Bahwa mereka semakin dekat, hubungan mereka semakin serius, dan bisa jadi, mereka akan merencanakan sebuah pernikahan.

"Terlibat hubungan romantis dengan sahabat sendiri sebenarnya terlalu berisiko. Terlalu banyak yang kupertaruhkan. Andai hubungan itu nggak berjalan sebagaimana mestinya, aku bisa saja kehilangan keduanya. Ya sahabat, ya cinta. Tapi ... nggak ada seorang pun di muka bumi ini yang mampu membaca masa depan. Ya, kan? Bisa saja berakhir baik, atau sebaliknya. Kamu bilang, tugas kita tinggal menjalani saja, dan berusaha sebaik mungkin, agar segalanya berakhir baik," ucap Lisa waktu itu. Kali ini, Ia senantiasa berbinar manakala membicarakan tentang sosok Dion. Dan aku selalu ikut bahagia manakala melihatnya begitu.

Dion memang tak dilimpahi materi berlimpah. Tapi aku sangat yakin ia akan memperlakukan Lisa dengan baik. Mengaguminya, menghargainya, menyayanginya dengan sepenuh jiwa raga. Lagipula, gaya hidup Lisa juga tak se-hedon dulu. Ia mau menurunkan standar hidupnya demi sosok Dion. Sementara Dion sendiri malah bekerja keras, agar mampu menghidupi Lisa dengan layak. Mereka pasti akan menjadi pasangan yang saling melengkapi.

***

"Ge ... Ge ...." Panggilan itu terdengar dibarengi dengan sentuhan lembut di pipi.

"Gloria ...." Lagi, namaku disebut berulang-ulang.

Aku mengerang, lalu mencoba membuka mata walau susah. Nampak Mas Oky duduk di sisiku, sementara Mbak Susan berdiri cemas di sisinya. Menatap sekeliling dengan rasa pening di kepala, tersadar bahwa tubuhku terbaring di sofa, di dekat ruang pemotretan. Aku berusaha bangkit, dan rasa sakit menyerang kepala.

"Kamu kenapa, sih, Ge? Sakit? Nggak enak badan? Atau gimana? Duh, kami semua cemas tahu. Seumur-umur, baru kali ini kamu kayak gini." Mbak Susan mencecar dengan pertanyaan. Nada khawatir terdengar jelas.

Aku memijit kepalaku tanpa mampu menjawab.

"Kamu tadi pingsan sewaktu mau nyiapin ruang. Ingat?" Mas Oky berujar lembut. Tangannya terulur, menyentuh keningku lembut. "Badanmu panas." Ia berkata lagi.

"Mungkin kecapekan aja, Mas. Kurang istirahat." Aku menjawab seperlunya, lalu berbohong, "Beberapa hari ini aku nerima job pemotretan di beberapa tempat."

Mas Oky manggut-manggut. Sementara Mbak Susan bergegas mengambilkan teh hangat dan menyerahkan padaku, berikut obat pereda nyeri. "Ya udah, istirahat dulu aja di rumah beberapa hari. Pulang lebih awal nggak apa-apa. Atau mau kuantarkan pulang?" tawar Mas Oky.

Mendengar ucapan pria tersebut, buru-buru aku menggeleng. "Nggak usah, Mas. Istirahat bentar juga baikan, kok. Biar aku duduk-duduk aja dulu di depan komputer. Ntar kalo udah mendingan, aku akan pulang naik taksi aja," jawabku.

Mas Oky menatapku ragu. "Yakin?"

Aku mengangguk. "Yakin. Cuma demam biasa, kok."

Pria tersebut manggut-manggut. "Ya udah, kamu istirahat dulu aja di ruanganku. Ada sofa besar di sana. Urusan pemotretan biar disiapin Susan sama Dandi." Ia bangkit.

"Nggak usah, Mas. Biar aku duduk-duduk sama Mbak Susan di ruangannya aja." Aku ikut bangkit. Walau masih agak pening, aku memaksakan diri untuk bergerak menuju mejaku sendiri.

"Nggak usah dipaksakan ya, Ge. Ntar kalo masih ngerasa kurang enak badan, pulang aja. Besok pun gitu. Kalau merasa masih sakit, istirahatlah di rumah." Mas Oky kembali berucap sabar, dan aku mengangguk.

Setelah minum teh hangat dan minum obat, aku berharap keadaanku membaik. Nyatanya, rasa pening tak kunjung hilang hingga pada akhirnya aku memilih pamit pada Mas Oky dan Mbak Susan untuk pulang lebih awal. Mas Oky bersikeras untuk mengantarkanku pulang, dan aku tetap menolak halus, lalu memutuskan untuk memanggil taksi saja.

***

Ketika sampai rumah, Pak Hery masih belum pulang. Biasanya beliau ada di kantor hingga sore. Kadang malah sampai menjelang waktu makan malam.

Dengan badan yang masih terasa nyeri dan kepala sakit, aku berjalan pelan memasuki kamar, dan menyaksikan Arcano terbaring damai di tempat tidur. Menyaksikan sosoknya yang seperti itu, entah kenapa ada rasa nyaman menghinggapi diriku. Rambut panjangnya menghampar di atas bantal. Mata indah dengan bulu mata lebat diam terpejam. Napasnya naik turun dengan teratur. Ingin rasanya melemparkan diriku padanya lalu berdusal dalam pelukannya, mencari rasa aman yang selalu kurasakan manakala berada di sisinya. Nyatanya, aku tak melakukannya.

Aku memilih untuk berganti baju, minum obat, lalu memutuskan untuk berbaring di sofa di samping tempat tidur. Rasanya belum lama aku terlelap ketika sentuhan itu kurasakan. Di kening, lalu di pipi.

"Sayang," panggilnya.

Ketika membuka mata, pria itu berlutut di sisiku. Rambutnya berjuntaian, dan raut wajahnya cemas. "Badanmu panas." Ia berujar.

Aku tersenyum lalu menyentuh pipinya lembut. "Sudah bangun?" tanyaku.

"Badanmu panas, Ge." Arcano kembali berujar.

Aku mengangguk pelan. "Hanya kurang enak badan. Demam, mungkin."

Arcano bergerak, mengangkat tubuhku dengan ringan lalu membaringkanku ke tempat tidur. "Kenapa mesti tidur di sofa, sih," omelnya.

"Tadi kamu pulas banget tidurnya. Aku nggak mau ganggu," jawabku.

Pria itu menatapku jengkel. "Lain kali jangan gitu lagi. Kalau mau tidur, tidur aja. Di ranjang, bukan di sofa," peringatnya. Tangannya bergerak, menyentuh keningku berkali-kali. "Akan kuambilkan obat." Ketika ia bergerak, aku buru-buru menarik tangannya. "Aku sudah minum obat," jawabku.

"Kupanggilin dokter aja."

Dan aku menggeleng lagi. "Nggak usah. Aku cuma butuh tidur dan istirahat."

"Ge ...." erangnya. Ketika aku tak memberikan respon, Arcano naik ke tempat tidur dan berbaring di sisiku. "Apa kepalamu sakit?" Ia berbisik.

Aku mengangguk.

"Mau kupijit pelan?"

Lagi-lagi aku mengangguk. Kemudian, kurasakan tangan Arcano menyentuh kepalaku dan melakukan apa yang barusan ia bilang. Memijit kepalaku pelan hingga menimbulkan rasa nyaman. Aku menyurukkan wajahku ke dadanya, merasakan aroma tubuhnya yang khas. Bukan aroma parfum, tapi sabun mandi yang segar. Aku suka sekali. Ringan, sedikit musk. Cendana mungkin.

Setelah puas memijit kepalaku, ia membawaku ke pelukannya dan mendekapku lembut. Tindakan ini otomatis membuat mataku basah, terharu.

Aku jarang sakit. Dulu, ketika masih kecil, nenek akan melakukan hal yang nyaris serupa manakala aku sedang kurang sehat. Ia membuatkan jamu, memijit tubuhku, menggosok punggunku pelan. Ketika aku merengek, ia akan memelukku hangat, lalu membelai kepalaku lembut.

Lalu semuanya berantakan, ketika Mama menjemputku, membawaku pergi dari rumah nenek. Momen seperti itu tak ada lagi. Aku jarang sakit. Kalaupun sakit, Mama akan segera membelikanku obat di apotik, memintaku meminumnya cepat-cepat, dan ia akan pergi. Meninggalkanku sendirian. Tak ada pelukan, tak ada pijitan, tak ada usapan lembut di punggung ataupun puncak kepala.

"Cano ...," panggilku serak.

"Hm."

"Kalau tiba-tiba aku sakit parah, jangan pulangkan aku ke rumah mamaku, ya."

Terdengar pria itu terkekeh serak. Ia mempererat pelukannya. "Nggak akan ada hal seperti itu. Sehat ataupun sakit, tempatmu adalah di sini. Bersamaku," balasnya lagi sambil mengecup puncak kepalaku berkali-kali. Dan aku tersenyum lega, terbaring tenang di dekapannya.

Dalam kondisi samar, antara tertidur dan terjaga, kurasakan kembali kecupan di kening, dan sebuah bisikan lembut, "Ge, kalau ada yang harus sakit, aku saja, ya. Kamu jangan."

***

bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro