18. Luka itu masih ada

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku bangun dengan tergesa ketika menyadari bahwa Arcano tak ada di sisiku.

"Sayang?" panggilku berulang, dan tak ada jawaban. Jam di dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Mengabaikan rasa sakit di kepala, aku turun dari ranjang dengan terhuyung lalu membuka jendela lebar-lebar. Menatap hamparan kebun bunga di depan kamar, tak terlihat ada Arcano di sana. Setelahnya, aku berbalik lalu bergerak melintasi ruangan, melangkah keluar dengan derap pelan menuju ruang – yang katanya, ruang ibu Arcano. Ketika tak kutemukan sosok itu di sana, aku bergegas memutar langkah, dan bergerak kembali menuju kebun. Hanya dua tempat itu yang biasa ia kunjungi di malam hari.

"Cano?" panggilku lagi. Tatapan mataku menyisir sekitar kebun, sementara kakiku melangkah hati-hati agar tak menginjak bunga-bunga yang menghampar. Lampu hanya ada di beberapa titik, sehingga pencahayaan di tempat ini lumayan minim. Namun begitu, andai ada Arcano berkeliaran di sini, aku pasti bisa mengetahuinya dengan jelas. Kebun ini memang lumayan luas, tapi pohon-pohon peneduh hanya di tanam hanya di bagian pinggir. Jadi pandanganku leluasa menyapa nyaris seluruh permukaan kebun bunga.

Karena tak menemukan sosok yang kucari, tatapan mataku kini beralih pada pohon-pohon peneduh yang mengitari kebun. Dan akhirnya ... sosok itu ada, di sana. Duduk merenung di bawah salah satu pohon Angsana. Ketika pertama kali datang ke sini, selain hamparan bunga Morning Glory, pohon-pohon itu juga yang membuatku jatuh cinta. Pohon teduh menjulang dengan bunga warna kuning cerah manakala bermekaran.

"Nggak bisa tidur?" sapaku ketika langkahku sudah berhasil mengjangkaunya. Arcano mendongak, nampak terkejut dengan kehadiranku.

"Kenapa ikut ke sini?" Pria itu bertanya.

Aku mengangkat bahu. "Karena ketika aku membuka mata, kamu nggak ada di sisiku," jawabku. Ketika aku hendak ikut duduk di sisinya, Arcano buru-buru bangkit dan meraih pinggangku. "Jangan," cegahnya. "Kamu sedang sakit. Jangan di sini malam-malam begini."

Aku tersenyum. "Nah, itu tahu. Ayo, di dalam saja." Kali ini aku yang menggamit lengannya dan membawanya berjalan melintasi kebun. Dan kali ini, ia menurut. Kuraih tangan Arcano lalu menempelkannya ke dahi. "Tuh, badanku masih panas, kan?"

Pria itu mengangguk.

"Makanya, temeni aku istirahat. Oke?" ucapku manja. Arcano tersenyum kaku lalu mengangguk. Ketika menyadari langkahku yang terhuyung, ia sigap mengangkat tubuhku lalu membawaku menyusuri kebun menuju kamar. Pelan ia membaringkan diriku di tempat tidur lalu menarik selimut untuk menutupi kaki. Ia pun ikut naik ke ranjang dan berbaring di sisiku lalu mendekapku lembut.

"Aku di sini. Sekarang tidurlah." Ia berbisik.

"Kalau kamu nggak bisa tidur, dan butuh teman bicara. Bicaralah. Akan kudengarkan." Aku menjawab.

Ia mengecup keningku lembut. "Tidurlah, Sayang. Akan kutemani."

"Janji?"

"Janji."

Aku melingkarkan tanganku memeluk tubuhnya. "Cano ..." kutatap pria itu, lembut.

"Ya?" Tatapan kami beradu. Terlihat jelas kedua mata itu sendu. Ada banyak hal yang tak mampu kuselami. Namun satu hal yang pasti, ada cinta di sana. Untukku.

"Jangan ada yang sakit lagi, ya. Ayo kita sama-sama hidup sehat dan bahagia. Oke?"

Mendengar ucapanku, Arcano tersenyum haru. Ia mengangguk. "Oke."

Dan malam itu, aku berhasil membuatnya tertidur hingga pagi.

***

"Badanmu masih panas. Kupanggilkan dokter, ya." Pagi-pagi ketika membuka mata. Arcano sudah heboh, pun begitu dengan Papa. Bergantian mereka membawakanku obat, air hangat, bahkan mondar-mandir membawakan sarapan berupa bubur. Entah siapa yang membuatnya. Aku sudah mengirimkan pesan singkat ke Mas Oky bahwa aku akan ijin dulu beberapa hari.

"Nggak usah. Minum obat saja. Istirahat dua hari paling juga sembuh." Aku meraih obat yang barusan dibawa Arcano lalu menelannya dengan air hangat. Pria itu terlihat akan protes lagi. "Tapi, Ge. Sejak kemarin lho panasmu nggak turun-turun. Ayo, diperiksa di lab aja. Atau biar kupanggilkan dokter."

"Ke dokter saja." Papa menyarankan. "Atau biar kutelpon untuk bisa datang ke sini." Ketika beliau beranjak, aku mencegah, "Pa, nggak usah. Sungguh. Aku hanya demam biasa. Istirahat dan minum obat, pasti segera sembuh." Aku mengerang lirih.

"Ayah benar. Lebih baik ke dokter saja." Arcano menyahut.

Aku menatap dua pria di hapadanku tersebut. Perlu diskusi yang lumayan alot untuk meyakinkan mereka bahwa sakitku nggak parah. Well, aku senang diperhatikan seperti ini. Tapi, ayolah, ini benar-benar demam biasa. Mereka tak perlu heboh seperti ini.

Setelah aku mengeluh sakit kepala dan mengatakan ingin tidur, mereka akhirnya saling tatap lalu menyerah. "Baiklah kalau begitu. Nanti kalau sudah minum obat dan keadaanmu nggak membaik, maka Papa akan membawamu ke dokter," ucap Papa.

Aku mengangguk.

"Arcano, jaga istrimu, ya. Ayah tinggal dulu ke kantor. Jangan ragu untuk menelpon bila butuh sesuatu." Papa berujar tegas seraya menatap putranya. "Tentu, dong, Yah. Aku akan menjaga Ge dengan baik." Arcano menjawab dengan penuh semangat. Setelahnya, Pak Herry beranjak keluar kamar.

"Aku hanya panas biasa. Kalian nggak perlu seheboh ini," ujarku lagi. Aku membenahi selimut, lalu kembali tiduran. Arcano tak bersuara. Ia beranjak dan ikut berbaring di sisiku lalu mengulurkan tangan untuk mengusap lembut lenganku. Kadang ia selingi dengan pijitan kecil di bahu dan juga kepala. Apapun ia lakukan untuk membuatku merasa baikan dan nyaman.

Aku nyaris saja terlelap ketika pria itu melemparkan sebuah pertanyaan yang membuat dadaku berdesir. Di antara sekian banyak hal yang kami obrolkan semalam, entah kenapa hal itu yang ia tanyakan.

"Kenapa kamu menolak pulang ke rumah Mama?" Itu yang ia tanyakan.

Aku membisu. Rasanya belum pernah siap membicarakan segala hal tentang Mama, tentang perlakuannya, maupun tentang masa lalu kami. Tapi, baiklah, mungkin memang sudah waktunya Arcano tahu segalanya. Dengan begini, barangkali luka di hatiku bisa memudar.

"Karena hubungan kami ... buruk." Aku menjawab kemudian.

"Karena dia meninggalkanmu di rumah nenekmu?" Arcano kembali bertanya. Aku memang telah menceritakan padanya bahwa aku menghabiskan masa kecilku di rumah Nenek. Hanya bagian itu yang baru ia tahu.

"Salah satunya." Aku menjawab lagi.

"Yang lainnya?" Pria itu kembali bertanya.

"Sepertinya hanya itu."

"Karena kamu merasa dibuang?" Arcano memotong. Membuatku terkesiap. Pria ini memang sedang sakit, terluka jiwanya. Tapi tak bisa dipungkiri ia perasa.

Aku mengangguk. "Begitulah." Aku menelan ludah sebelum akhirnya bercerita. "Waktu itu, Papa dan Mama bilang, pekerjaan mereka belum bagus, keadaan keuangan mereka juga belum stabil. Itulah alasannya kenapa mereka meninggalkanku di rumah nenek. Karena mereka belum sanggup menghidupiku. Bukankah itu aneh? Lantas kenapa harus punya anak ketika mereka merasa belum sanggup membiayai dan merawat. Kenapa aku nggak digugurkan saja?" Aku terkekeh getir.

Arcano membelai rambutku lembut dan menyelipkan beberapa helai yang berantakan ke belakang telinga.

"Lalu ketika aku sudah bahagia hidup bersama Nenekku, tiba-tiba saja mereka datang mengambilku. Mereka bilang, keadaan mereka sudah membaik, jadi mereka memutuskan untuk merawatku. Karena keluarga seharusnya tinggal bersama," ucapku lagi. Bibirku berdecih. "Dikira aku barang mati yang nggak punya perasaan. Bisa kamu bayangkan itu?" Aku sempat menatap pria tersebut, hanya untuk menantikan sebuah kalimat pembenaran. Nyatanya, dia tetap diam.

"Bahkan ketika nenek mulai sakit-sakitan dan akhirnya pergi untuk selamanya, Mama tetap saja nggak mengijinkanku pulang ke rumahnya. Berkali-kali aku bilang padanya kalau aku ingin tinggal sendiri, di rumah nenek, atau di mana saja, asal tidak di rumah. Karena ..." Kalimatku terjeda.

"Karena Mama memperlakukanku berbeda, layaknya sampah. Sementara Amel dan Patricia, mereka disayang dan dicintai sedemikian rupa. Terkadang aku berpikir, alangkah lebih baik kalau aku nggak punya ibu. Ya, kan?" Aku kembali menatap Arcano dengan dalam. Pria itu membalas dengan menyapukan jemarinya di pipiku lalu mendaratkan kecupan ringan di bibir. Setelahnya, ia merengkuhku erat.

"Ge ... kamu bahagia 'kan hidup bersamaku?" Ia bertanya serak. "Walau aku pun sering menyusahkanmu?"

"Hei, siapa yang bilang begitu?" bantahku. Aku menarik diri lalu menangkup wajahnya dengan kedua tangan. "Aku bahagia bersamamu dan kamu nggak nyusahin. Catat. Oke?"

Dengan wajah sendu, pria itu tersenyum. "Aku akan berusaha membuatmu bahagia, Ge. Aku akan mengganti setiap luka yang terukir di kehidupanmu dengan kebahagiaan yang baru."

Aku tersenyum lalu mengangguk. Kucium bibirnya dalam, lalu kupeluk sosok itu dengan erat.

Aku pun begitu, Cano.

Mari kita saling menyembuhkan. Mengganti setiap luka di masa lalu, dengan kebahagiaan yang baru.

***

Bersambung 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro