19. Ayo pulang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Minggu nanti adikmu mau lamaran. Datanglah.]

Pesan singkat dari Mama. Aku membaca tulisan itu beberapa kali, menarik napas sejenak, lalu memilih untuk tak membalas. Sedang menimbang apakah aku perlu hadir dalam acara lamaran itu atau tidak. Sebenarnya ada niat ingin memperbaiki hubunganku dengan Mama ataupun Amel. Tapi, jika mengingat apa yang pernah aku lakukan dengan Aditya, perutku rasanya mual seketika. Itu sebuah kesalahan besar, dan fatal. Berkali-kali aku mengutuk perbuatan tersebut.

Bagaimana mungkin aku bisa tidur dengan pacar adikku sendiri sementara mereka akan menikah dan aku pun juga akan membina kehidupan rumah tangga dengan Arcano?

Pantaskah aku dimaafkan untuk dosa sebesar itu?

"Ada sesuatu?" Arcano yang menyadari perubahan pada raut wajahku bergerak lalu ikut menjatuhkan tubuhnya di sofa, tepat di sisiku.

Aku meletakkan ponsel tersebut ke meja lalu membalas menatap pria tersebut. Aku sudah baikan dari sakit. Tapi sejak beberapa waktu lalu aku belum masuk kerja. Kuhabiskan waktu untuk istirahat saja. Ketika Arcano tak membantu Papa, ia akan menemaniku seharian penuh. Kami menghabiskan waktu untuk bergelung di tempat tidur, di sofa, lalu berjalan-jalan di kebun bunga, kemudian berteduh di bawah pohon Angsana.

Sore ini, setelah lelah berjalan-jalan mengitari rumah, kami menghabiskan waktu menikmati teh dan cemilan sambil bergelung di sofa. Ia baru saja selesai membuatkanku roti bakar.

"Dari Mama," jawabku.

Kening Arcano berkerut. Ketika menyadari raut wajahnya yang cemas, aku buru-buru berkata, "Minggu nanti Amel lamaran. Mama memintaku datang."

Pria itu manggut-manggut. "Kamu sudah sehat, kan? Datang aja. Itu acara penting, lho."

"Kamu mau menemaniku?" potongku.

"Tentu." Ia menjawab renyah. "Ayo, aku akan menemanimu datang ke sana."

Karena Arcano meyakinkanku untuk datang, akhirnya aku pun memutuskan untuk pulang ke rumah Mama.

***

Beberapa bulan tak berkunjung, rumah Mama nampak sedikit berubah. Dulu hanya ada satu pintu masuk. Tapi sekarang, sisi kanan ada selasar yang lumayan lebar sebagai akses lain untuk memasuki rumah. Sementara sisi kiri, terdapat taman kecil yang cukup untuk ditempati meja panjang beserta kursinya. Patricia bilang, rumah memang sedang direnovasi untuk persiapan pernikahan Amel kelak.

Aku tersenyum miris. Pernikahan anak kesayangan, bisa kubayangkan pesta itu akan berlangsung mewah dan meriah.

Ketika datang, Arcano menolak untuk masuk ke dalam rumah ataupun bergabung bersama tamu lain. Ia bilang, terlalu berjubel. Dan aku menangkap raut tak nyaman di wajahnya.

"Apa pulang saja?" tanyaku cemas. Jujur, aku khawatir ia akan terkena Panick Attack atau hal buruk lainnya.

Arcano menggeleng. "Oh, enggak. Nggak usah, Ge. Aku cuma malu karena bertemu banyak keluargamu. Aku bingung harus memulai obrolan seperti apa." Ia meringis dan tetap menolak masuk untuk bergabung dengan yang lain.

Acara inti belum dimulai. Setiap orang masih sibuk berlalu lalang untuk menyiapkan banyak hal. Aku hanya menatap mereka berseliweran karena sejujurnya, aku pun bingung harus membantu apa.

"Di sini dulu, ya. Akan kuambilkan minum di dalam," ucapku kemudian. Arcano mengangguk. Aku bergerak menyusuri selasar menuju dapur kotor. Nyaris semua orang sedang ada di ruang tengah menyiapkan hantaran balasan. Aku menyapa mereka sebentar lalu berbalik kembali ke dapur, membuatkan teh tawar hangat untuk Arcano. Sampai akhirnya suara itu menghampiriku.

"Bagaimana kabarmu?"

Tubuhku mendadak kaku. Mengatur napas sejenak, aku berbalik dan melihaat Aditya bergerak ke arahku. Ia bersedekap angkuh dan tatapannya mengintimidasi.

"Apa pentingnya kamu tahu tentang kabarku?" Aku menjawab cuek. Meletakkan gelas kembali ke meja, aku bersedekap sambil membalas tatapannya yang mengintimidasi. Aku ingin menghadapinya dengan benar, agar ia tahu aku tak gentar.

"Lama nggak bertemu denganmu, Ge. Kamu makin ... cantik. Dan ...." Pria itu menggigit bibirnya dengan gerakan sensual. "Seperti dugaanku. Selalu menggoda." Tatapannya singgah ke seluruh tubuhku, lalu bergerak kembali ke arah tato di lenganku yang sengaja ku pamerkan.

Aku tak terlalu suka dengan hampir seluruh keluarga besar papa dan mama. Mereka kerapkali menganggapku sebagai perempuan tak berguna, beban keluarga, dan murahan. Termasuk juga karena tatoku. Karena itulah, aku suka sekali memamerkannya. Agar mereka semakin suka membicarakanku. Mulut yang senantiasa merasa lapar untuk menghakimi orang, memang sebaiknya kukasih makan. Biar puas.

"Terima kasih atas pujiannya, Adikku. Tapi aku tetap nggak tertarik denganmu." Aku terkekeh sinis.

Rahang Aditya terganggu, terlihat sekali ia terganggu dengan panggilan 'Adik' yang kusematkan. Tapi biarlah, aku memang sengaja melakukannya, agar ia tahu posisinya.

Aditya tersenyum lalu kembali memperpendek jarak di antara kami. Ia tersenyum lagi, lalu berbisik, "Penasaran saja, kamu nggak sedang hamil, kan, Kak Gloria?"

Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba tersebut, rahangku kaku. "Apa urusanmu menanyakan hal itu?" tanyaku dengan gigi terkatub.

Pria itu kembali terkekeh. "Jika kamu hamil, bisa saja yang kamu kandung itu adalah anakku." Ia berucap lirih.

Dan kesabaranku habis. Aku merangsek ke arah Aditya, mendorong tubuhnya ke arah tembok dengan kasar dan mencengkeram kerah bajunya. "Kuperingatkan sekali lagi, jaga bicaramu." Aku berucap pelan, takut bahwa obrolan kami akan terdengar oleh beberapa anggota keluarga lain yang berada di ruang tengah.

Aditya mengembuskan napasnya, lalu terkekeh lirih. "Kita bercinta tanpa pengaman, ingat? Jadi jika kamu hamil, bisa saja yang ada di dalam perutmu, adalah benihku," jawabnya. Nada suaranya pun lirih.

"Dan itu nggak ada hubungannya denganmu, kan?"

"Ada. Karena jika itu benar anakku, maka akan kupastikan, aku yang akan merawatnya dengan baik."

Aku membelalak. "Apa kamu gila?"

Ia manggut-manggut, bibirnya melengkung sinis. "Tidur dengan kakak dari calon istriku sendiri? Well, yeah, sepertinya aku memang cukup gila."

Aku kembali mencengkeram kerah lehernya. Kutatap pria itut ajam. "Enyahlah dari kehidupanku."

"Sudah kucoba, nyatanya aku tak mampu." Ia kembali berbisik, tepat di depan wajahku. Lidahnya bergerak sensual membasahi bibirnya sendiri. Menyadari aroma berbahaya dari dirinya, aku buru-buru menarik diri. Nyatanya, pria itu sigap melingkarkan lengannya ke tubuhku dan memelukku erat. "Hubungan kita sepertinya tak akan bisa selesai begitu saja. Karena sepertinya, aku masih ingin ini berlanjut." Kembali ia berujar dengan suara serak.

"Lepas, atau aku akan berteriak?" peringatku.

Ia terkikik. "Kamu pikir aku nggak suka? Teriak saja. Aku suka keributan. Terutama jika itu berhubungan denganmu."

Aku nyaris saja meludah ke wajahnya. Tapi ingat hari ini adalah acara penting, akhirnya aku menahan diri. Menghentakkan sepatuku ke kakinya, pria itu meringis. Lalu kesempatan itu kupakai untuk melepaskan diri.

"Aku tak akan menolerir perbuatanmu. Jika kamu berani kurang ajar padaku lagi, tanganku sendiri yang akan menghabisimu." Aku berbalik. Aku urung melangkahkan kakiku ketika tanpa sengaja mendengar obrolan berbisik dari beberapa saudara jauh yang berkumpul di ruang tengah. Ada beberapa Bibi dari pihak Papa dan juga Mama, Ada pula Bibi Tati.

"Kamu sudah dengar gosip tentang suami Gloria?"

"Apa?"

"Kudengar ia stres."

"Hah? Masa? Padahal ia cakep, lho."

"Iya. Katanya sih ia punya masalah mental. Semacam gangguan jiwa, gitu."

"Duh, pantesan pernikahan mereka dilakukan secara diam-diam."

"Kasihan ya Gloria. Punya suami kaya raya, tapi gila."

"Mungkin ia terpaksa melakukannya. Daripada jadi perawan tua."

Dan obrolan berbisik mereka terus saja berlanjut. Tanganku terkepal. Aku melirik ke arah Aditya yang masih bersandar di tembok dengan tatapan mengintimidasi. Ia mengangkat bahu cuek, lalu tersenyum puas.

Aku merutuk dalam hati. Bedebah!

Mengangkat dagu tinggi-tinggi, aku berjalan melewati gerombolan para bibi yang masih saja belum menyadari keberadaanku.

"Eh, Ge? Di sini rupanya? Se-sejak kapan?" Bude Tati berujar gugup ketika melihat diriku. Wajahnya seketika pucat. Aku hanya tersenyum. Ingin rasanya berteriak di depan wajahnya bahwa Arcano baik-baik saja, tapi akhirnya aku memilih untuk menjawab. "Nggak, kok, Bi. Baru saja." Lalu beranjak.

Perempuan itu gugup, beberapa bibi yang lain pun begitu. "Oh, anu, gitu. Gimana kabarnya?" Ia mengalihkan pembicaraan.

"Baik."

"Datang bersama siapa?"

"Bersama Arcano. Dia menunggu di luar. Bibi mau bertemu dan mengobrol dengannya?"

Bibi Tati terbatuk. "Oh, iya, Ge. Nanti bibi akan ke sana untuk mengobrol dengan suamimu." Ia menjawab.

"Baiklah, kalau begitu, saya keluar dulu ya, Bi." Dan aku pamit. Melangkah cepat meninggalkan tempat tersebut.

Ketika mencari sosok Arcano, aku menemukan sosok itu masih menyendiri di luar rumah. Terlihat raut tak nyaman dari wajahnya. Rasa takut dipadu dengan kebingungan yang begitu nyata.

Ia seolah kehilangan arah. Belakangan, aku sering menemuinya seperti ini manakala berada di tengah-tengah kerumunan banyak orang. Atau mungkin memang aku saja yang baru tahu dengan dirinya yang seperti ini.

Tiba-tiba aku ingin berlari ke arahnya lalu memeluknya erat. Membuatnya merasa nyaman dalam dekapanku.

"Cano?" panggilku. Langkahku berderap cepat ke arahnya.

Arcano tergagap lalu menoleh. Dan aku melakukannya. Menghambur ke arahnya dan memeluknya erat dengan penuh kasih. "Ge?" Pria itu menatapku bingung. Ada rasa bersalah menyinari wajahnya.

Dan aku Cuma tersenyum lagi, tanpa melepaskan tanganku yang melingkar di lehernya. "Pengen peluk aja," ucapku.

Ia balas tersenyum kaku. "Sorry. Aku ... di sini aja, ya. Bingung mau ngobrol apa sama mereka di dalam sana." Ia mengangkat bahu. "Biasanya aku nggak kayak gini, kok, sumpah. Cuma ..."

Aku tersenyum. "Ayo pulang," ajakku.

Kedua mata Arcano membulat. "Pulang? Apa acaranya sudah selesai?"

Aku tersenyum lagi, tak menjawab pertanyaannya. "Kita pulang saja." Aku menggamit lengannya dan mengajaknya keluar.

Ya, ayo pulang.

Tempat ini ... tak cocok untuk kita.

***

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro