21. Broken Inside

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pukul tujuh malam aku sampai rumah dan mendengar sayup denting gitar dari kamar. Ketika aku masuk ke sana, tampak Arcano tengah memeluk gitar dan jemarinya lihai memetik senar. Memang ada beberapa alat musik di ruang terpisah. Tapi baru kali ini aku melihat sendiri pria itu memainkannya. Dan jujur saja, permainannya bagus.

"Wow, aku baru tahu kamu bisa main gitar. Keren sekali, Sayang," pujiku.

Mengetahui akan kedatanganku, Arcano berhenti memetik senar lalu mendongak dan menatapku dengan mata berbinar. "Oh, kamu sudah pulang?" sapanya dengan senyum semringah. "Sudah bertemu atasanmu? Siapa namanya? Mas Oky ya? Sudah bilang padanya kalau kamu berniat berhenti bekerja?"

Well, yeah, aku bohong. Tadi aku mengatakan padanya kalau aku perlu ke studio foto sejenak untuk bertemu Mas Oky. Arcano melarang karena tak ingin aku terlalu capek. Jadi aku bilang padanya bahwa aku perlu bertemu dengan Mas Oky secara langsung karena berniat mengundurkan diri. Lalu akhirnya ia memberikan ijin padaku untuk pergi sendiri.

"Hari ini Mas Oky nggak jadi ke studio foto. Jadi, uhm, begitulah. Kami belum sempat ngobrol tentang ... niatku untuk berhenti kerja." Aku menjawab terbata sambil tersenyum kaku lalu buru-buru melangkah melewati dirinya. Bergerak meletakkan tas ke meja dan melesat ke lemari lalu sok sibuk mencari baju ganti. Sejurus kemudian aku tersadar bahwa Arcano sudah bergerak mendekatiku. Ketika kami beradu pandang, binar di matanya pudar.

"Wajahmu kenapa?" Ia mengulurkan tangan, menyentuh kening dan juga ujung bibirku dengan gerakan cemas.

"Berantem dengan orang." Aku menjawab jujur. Aku tak mungkin mengatakan padanya bahwa ini karena jatuh. Itu alasan yang kekanak-kanakan.

"Kok bisa?" Raut wajah Arcano syok seketika.

"Tadi pulang dari studio, aku mampir ke tempat hiburan sebentar untuk bertemu dengan beberapa teman lama. Dan begitulah, tiba-tiba saja ada orang gila mabuk, kami terlibat adu mulut yang lumayan seru, terjadi saling adu argumen dan beginilah akhrinya." Aku menyeringai. "Kami saling serang, seperti anak kecil."

Rahang Arcano kaku. Ia berbalik menyambar jaket. "Kau ingat bagaimana rupanya? Ayo antarkan aku ke sana."

Aku ternganga lalu buru-buru menyusul langkahnya. "Cano ...."

"Berani-beraninya dia menyakitimu. Akan kupatahkan jari-jarinya." Ia berujar dengan gigi terkatub menahan amarah.

Aku buru-buru menghalau langkahnya. "Masalahnya sudah terselesaikan dengan baik. Security tempat hiburan sudah mengurusnya. Ayolah, ini hanya keributan kecil, Cano. Kami sudah berdamai dan aku baik-baik saja," teriakku.

Langkah Arcano terhenti sejenak. Ia menatapku serius. "Are you kidding me? Bibirmu berdarah, Ge." Sorot matanya berkilat. Terlihat jelas ia tengah dipenuhi emosi yang nyaris meluap. "Dan pelipismu memar parah. Ini bukan keributan biasa. Orang itu pasti menyerangmu dengan brutal." Ia menambahkan. Lalu kaki panjangnya kembali bergerak menyusuri selasar.

"Aku nggak ingat wajahnya." Aku berucap gugup.

"Sebutkan saja nama tempat hiburannya. Akan kucari sendiri." Arcano menjawab tanpa melihat ke arahku.

"Aku juga lupa namanya."

Langkah Arcano terhenti. Ia menelengkan kepalanya dan menatapku tak percaya. "Ge?"

Aku menyeringai. "Aku nggak mau ada keributan," ucapku.

"Tapi aku mau." Ia berucap tegas. "Akan kupastikan ia menerima balasan atas apa yang ia lakukan padamu, tanpa terlewat sedikitpun. Tangannya, jemarinya, akan kuremukkan satu persatu." Dan pria itu kembali melangkah, mengabaikan teriakanku. "Sudahlah, akan kuurus sendiri. Nggak jadi soal jika aku harus mendatangi seluruh tempat hiburan di kota ini." Ia menjawab.

Aku meremas tanganku dengan gusar. Mendatangi seluruh tempat hiburan di kota ini? Tak diragukan lagi, ia pasti melakukannya. Ingat bagaimana setelah kami terlibat dalam one night stand dan ia nekat mencari tahu alamatku, tempat kerjaku, lalu datang meminta pertanggung jawaban dariku untuk dinikahi? Tentu saja ia akan melakukan hal serupa; Mendatangi seluruh tempat hiburan di kota ini, satu persatu, tanpa ragu.

Duh, bagaimana ini?

Mencoba mencari cara untuk mencegahnya pergi, akhirnya tercetus sebuah ide.

"Cano, aku ... sakit."

Lalu aku limbung, dan ... pura-pura pingsan.

***

Cara itu ternyata ampuh untuk mencegah Arcano pergi. Ketika mengetahui aku limbung dan tak sadarkan diri, dia panik luar biasa. Bergegas mengangkat tubuhku dan membawaku ke kamar sembari memanggil namaku berkali-kali dengan rasa frustasi. Ia heboh memanggil papa, dan akhirnya mereka berdua lebih heboh lagi. Mondar-mandir dengan panik, mengambil obat, mengoles minyak kayu putih, mengambil kompres es, lalu memutuskan memanggil dokter.

Serius, akhirnya dokter didatangkan ke rumah untuk memeriksa keadaanku.

Antara geli dan dihinggapi rasa bersalah karena telah membohongi mereka, tapi kemudian aku merasa bersyukur. Setidaknya ini lebih baik daripada membiarkan Arcano berkeliaran ke sana kemari mendatangi tempat hiburan hasil rekaanku.

"Bagaimana? Masih pusing?" Arcano bertanya lembut setelah dokter pergi dan papa juga sudah kembali ke kamarnya. Aku melirik ke arah jam di dinding, nyaris tengah malam.

Aku menggeleng.

"Sudah merasa baikan?" Ia bertanya lagi.

"Ya."

"Butuh sesuatu? Mau minum? Teh hangat? Atau ... merasa lapar?" Pria itu kembali bertanya dengan nada cemas.

Aku menatapnya lembut lalu menggeleng. "Aku ingin tidur," jawabku seraya menepuk sisi tempatku berbaring. Memberikan isyarat pada Arcano bahwa aku ingin ia ada di sana. Sigap pria itu naik ke ranjang dan berbaring di sisiku lalu mendekapku lembut. Aku menyurukkan wajahku ke dadanya. Menghirup aroma cendana yang kusuka.

"Tidur ya," ajakku. Dan terdengar Arcano menyahut pendek sembari mengecup puncak kepalaku. Luar biasa karena ia benar-benar melewati malam itu dengan terlelap. Ah, andaikan setiap malam kami bisa begini.

***

Aku bangun keesokan harinya dengan rasa nyeri di tubuh. Keributanku dengan Aditya kemarin ternyata tidak hanya menimbulkan memar di wajah, tapi juga nyaris di sekujur tubuh. Bahu, lengan, dada, belikat, dan juga paha. Dan aku bisa melihat dengan jelas bagaimana amarah di wajah Arcano manakala mengetahui tentang hal tersebut.

"Jangan khawatir, aku pernah terlibat keributan lebih parah dari ini." Aku bergurau ketika Arcano tengah membantuku berganti baju. Sarapan pun sudah selesai ia siapkan. "Nih, lihat tatoku." Aku menunjukkan tato di lengan bagian atas dengan ekspresi bangga. "Preman, kan?" Aku terkekeh.

Arcano hanya tersenyum tipis dengan celotehanku. Terlihat masih tak terima dengan apa yang menimpa diriku. Mood-nya masih buruk.

"Ayo, nyanyikan lagu untukku. Aku ingin mendengar suaramu." Aku mencoba mengalihkan topik dengan menunjuk ke arah gitar yang Arcano mainkan semalam.

Arcano menatap gitar yang tersandar di kursi. "Aku nggak bisa nyanyi," jawabnya.

"Baiklah, kalau begitu, aku saja yang bernyanyi untukmu."

"Kamu bisa?"

"Bisa dong. Sini." Aku mengulurkan tangan dan Arcano bergerak mengambilkan gitar tersebut. Aku membawa benda tersebut dengan enteng lalu melangkah kembali ke tempat tidur dan duduk bersila dengan nyaman. "Aku hanya bisa memainkan dua lagi. Yang pertama Twinkle Twinkle Little Star, dan yang kedua, Tell Me Where it Hurts by MYMP. Mau kunyanyikan yang mana?" tanyaku.

Arcano terkekeh lalu menjawab, "Yang jelas bukan yang pertama."

Aku ikut terkekeh lalu memintanya duduk di sofa yang menghadap langsung ke arahku. "Baiklah. Duduk di sana dan dengarkan baik-baik, ya. Lagu ini spesial kunyanyikan untukmu." Dan Arcano patuh mengikuti instruksiku.

Kemudian, lagu itu kulantunkan dengan sepenuh hati, khusus untuk Arcano yang terkasih.

♫♫

Why is that sad look ?
Mengapa tatap matamu mengisyaratkan kesedihan?

Why are you crying?
Mengapa kau menangis?

Tell me now, tell me now, Tell me,
Katakan padaku, katakanlah

why you're feelin' this way
Mengapa kau begini

I hate to see you so down, oh baby
Aku benci melihatmu bersedih, oh kasih

Is it your heart oh, that's breakin' all in pieces?
Hatimukah oh, yang hancur berkeping?

Makin' you cry, makin' you feel blue
Membuatmu menangis, membuatmu berduka

Is there anything that I can do?
Adakah yang bisa kubantu?

Why don't you tell me where it hurts now, baby
Mengapa tak kau katakan saja padaku mana yang sakit, kasih

And I'll do my best to make it better
Dan akan kulakukan sebisaku tuk meredakannya

Yes, I'll do my best to make the tears all go away
Ya, akan kulakukan semampuku tuk mengusir air mata itu

Just t, now, tell me
Katakan saja mana yang sakit, katakanlah

And I love you with a love so tender
Dan aku mencintaimu dengan cinta yang begitu lembut

Oh and if you let me stay, I'll love all of the hurt away
Oh dan jika kau ijinkan aku tinggal, aku kan mencintai tuk mengusir sakitmu

♫♫

Lagu yang tengah kunyanyikan belum sepenuhnya usai manakala kudengar suara ribut-ribut di luar. Terdengar teriakan dari Papa, disusul teriakan lain. Suara wanita yang ... familiar di telinga.

Aku berhenti bernyanyi lalu meletakkan gitar dan turun dari ranjang menuju ruang tamu. Arcano bergerak mengikuti. Ketika sampai di sana, adu argumen tengah berlangsung. Antara Pak Hery, Mama dan juga Papa. Tiba-tiba firasatku tak enak. Papa dan Mama, untuk apa tiba-tiba mereka di sini?

"Kenapa anda berbohong tentang penyakit Arcano? Kenapa tidak bicara jujur dari awal kalau dia sakit mental?!"

Teriakan itu menggema ke seluruh ruangan. Mama berteriak histeris dengan berderai air mata sementara Papa berdiri di sisinya berusaha menenangkan. Sementara Pak Herry, duduk linglung di kursi.

Aku berbalik, dan menatap ke arah Arcano yang kini tengah berdiri mematung di balik pintu. Wajahnya pucat. "Cano, pergilah dulu ke kamar. Oke?" Menyadari ekspresi tak biasa di wajahnya, aku menarik lengan pria tersebut dan membawanya ke kamar. Ia menurut, tanpa mengucap sepatah kata.

"Biar aku saja yang menemui Papa dan Mamaku. Kamu tetap di sini, oke?" Setelahnya aku melesat kembali ke ruang tamu, menemui kedua orang tuaku dan Pak Herry.

"Pa, biar saya yang bicara." Aku menggamit lengan Pak Herry yang terkulai lalu memintanya dengan sopan untuk meninggalkan ruang tamu. Pria itu nampak protes dan merasa keberatan, tapi akhirnya memilih menurut ketika aku menyebutkan nama Arcano. "Saya yang akan bicara dengan kedua orang tua saya. Dan sampai itu terjadi, tolong jangan biarkan Arcano datang kemari." Aku berucap lirih. Sebelum meninggalkan tempat tersebut, Pak Herry kembali menatap Papa dan Mama dengan ekspresi putus asa.

"Saya, akan pergi dulu. Mungkin lain kali, saya yang akan datang ke rumah anda untuk berbicara kembali dari hati ke hati." Lalu beliau pergi meninggalkan aku dan kedua orang tuaku. Mama yang tadi nampak kalut sudah terlihat lebih tenang sekarang.

"Apa yang Mama lakukan di sini?" Aku bertanya dengan gigi terkatub. Nyaris saja tak mampu menahan emosi.

"Kami datang menjemputmu." Mama menjawab tanpa ragu. "Ayo pulang. Mama nggak ikhlas kamu menjalani pernikahan yang penuh kebohongan seperti ini." Kedua matanya berapi-api.

"Apa yang Mama bicarakan?" Aku menahan intonasi suaraku serendah mungkin.

"Mama sudah tahu semuanya, Ge. Aditya yang menceritakan segalanya pada Mama bahwa suamimu itu gila. Bisa-bisanya kamu menikahi pria seperti itu." Nada suara Mama pun ikut lirih.

"Mama ..." erangku. "Kenapa harus tiba-tiba begini, sih, Ma? Harusnya Mama menelponku dulu, atau paling enggak menungguku berkunjung ke rumah."

"Karena kamu nggak mungkin pulang kalau Mama minta. Ya, kan?" Kali ini Mama nyaris berteriak.

Aku menatap perempuan itu dengan frustrasi. Sementara Papa yang duduk gusar di sisinya masih saja berusaha membujuk agar beliau mau segera diajak pulang.

"Ketika Aditya menceritakan tentang suamimu, Mama langsung emosi. Mama nggak mampu lagi berpikir jernih selain datang kemari secepat mungkin. Kamu dibohongi kan sejak awal? Mereka merahasiakan tentang penyakit suamimu agar kamu mau dinikahi. Ya, kan? Sekarang ayo pulang sama Mama. Tinggalkan rumah ini." Mama melepaskan diri dari pegangan Papa lalu bergerak duduk di sisiku kemudian menggenggam tanganku erat. "Ayo, pulang, Ge. Kamu lebih aman tinggal di rumah. Di sini berbahaya." Ia kembali berkata.

Layaknya Déjà vu.

Dulu, tiba-tiba saja Mama menjemputku dari rumah Nenek. Padahal aku sudah bahagia hidup bersamanya. Sekarang, ketika aku sudah menemukan rumah baru, harapan baru, ia pun hendak melakukan hal yang sama. Memintaku pergi seperti kehendaknya.

"Aku akan tetap di sini, Ma."

"Tapi, Ge—"

"Kondisi Arcano sudah kuketahui sejak awal, Ma. Nggak ada yang disembunyikan dari sosoknya. Pak Herry sudah mengajakku mengobrol panjang lebar tentang masalah ini dan aku tetap bersedia menikah dengan putranya. Nggak ada kebohongan di antara kami. Jadi, nggak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Sekarang, Mama pulanglah." Aku berusaha memberikan penjelasan sesingkat mungkin. Terlalu banyak bicara di depan Mama pasti akan menguras banyak tenaga. Dan aku capek.

"Lalu bagaimana jika ada hal buruk menimpamu? Orang dengan gangguan mental bisa kalap, bisa melakukan sesuatu di luar batas. Lihatlah---" Ia menyentuh wajahku. "Pasti dia kan yang memukuli wajahmu."

Gigiku terkatub. Nyaris saja aku berteriak di depan wajahnya bahwa yang memukuli wajahku adalah menantunya yang lain, bukan Arcano!

Alih-alih mengatakan hal tersebut, aku memilih untuk menarik napas panjang lalu mengeleng lelah. "Pulanglah, Ma. Kumohon," pintaku lirih.

"Ge ..." Mama mengerang.

"Aku baik-baik saja. Bukanlah selama ini Mama nggak terlalu peduli padaku, tapi kenapa sekarang bertingkah berlebihan kayak gini?" Aku pun mengerang.

"Karena yang kamu hadapi adalah orang dengan gangguan mental yang bisa saja membahayakan orang lain, Ge." Perempuan yang pagi itu hanya mengenakan tunik panjang dan celana kain hitam itu menatapku dalam.

"Tau apa mama soal orang dengan gangguan mental?" Kami beradu pandang. Demi Tuhan, kenapa aku harus terlibat percekcokan seperti ini lagi dengan Mama?

"Pa, tolong ...." Kali ini aku menatap Papa dengan ekspresi menyerah, berharap beliau bisa segera membawa Mama pergi dari rumah ini. "Apapun yang terjadi, aku tidak akan pergi dari sini, aku tidak akan meninggalkan Arcano. Titik." Aku bangkit. Tak kugubris lagi teriakan Mama. Seterusnya, Papa yang berusaha sekuat tenaga untuk membujuk Mama agar mau pulang.

Entah butuh waktu berapa lama, tapi akhirnya mereka pergi.

Terdengar kejam, tapi jika Mama tetap menolak pergi, aku sempat terpikir untuk mengusir mereka dengan bantuan Security.

***

Pintu kamar tertutup, tapi tak terkunci. Pak Herry sabar menunggu di luar, sengaja memberi ruang tersendiri untuk Arcano di dalam sana. Ketika melihat kedatanganku, ia hanya memberikan isyarat mata bahwa Arcano masih dalam pantauan dan baik-baik saja. Setelahnya, beliau beranjak meninggalkan kami.

Aku menemukan Arcano duduk mematung di pinggir ranjang. Wajahnya menunduk, membuat rambutnya panjangnya yang dikuncir asal berjuntaian. Kedua tangannya sibuk saling meremas dengan gusar.

"Cano ...?" panggilku.

Arcano mendongak, wajahnya pucat dan tatapan matanya sendu. Ada banyak luka tersirat di sana. Menyaksikan ia yang seperti ini, hatiku rasanya hancur.

"Ge ...." Bibirnya bergetar. Aku bergegas mendekatinya lalu menyentuh wajahnya dengan lembut.

"Jadi, kamu akan pergi?" Ada nada cemas pada pertanyaan tersebut.

Aku tersenyum lalu menggeleng. "Pergi? Kemana? Tidak ada hal seperti itu di antara kita, ingat? Tempatku adalah di sini, bersamamu. Jadi jangan khawatir, aku nggak akan kemana-mana." Kudekap pria itu dengan erat. Dan aku merasakan ada sebagian dari diriku yang menghilang, ketika tak kurasakan sosok itu membalas pelukanku.

***

Malamnya, Arcano kembali tak mampu terlelap. Terbangun di pertengahan malam, sisi tempat tidurku telah kosong. Ia menghilang lagi.

"Cano?" panggilku seraya buru-buru turun dari ranjang. Ketika tak kutemukan sosok itu di ruangan, aku bergerak menuju kebun dan menyusuri tempat tersebut. Lelah berkeliling, tak ada sosok itu di sana.

Akhirnya aku memutuskan untuk mencari Arcano di kamar ibunya, walau sempat ragu. Karena akhir-akhir ini perkembangannya sudah bagus. Ia jarang sekali membicarakan tentang sosok ibunya. Bahkan berkunjung ke kamarnya pun sudah lama tak ia lakukan. Tapi karena tak kutemukan sosoknya di manapun, maka tempat itu adalah pilihan akhir.

Dan ... ternyata benar.

Sosok itu ada di sana. Disinari lampu temaram, ia duduk meringkuk di bawah tempat tidur. Punggung ia sandarkan pada salah satu kaki ranjang, sementara wajahnya ia sembunyikan di atas lipatan tangan yang tertumpu di lutut. Bahunya terguncang, dan sayup kudengar ia terisak.

Arcano menangis.

"Cano?" panggilku hati-hati.

Pria itu mendongak, dan wajahnya sudah basah oleh air mata. Aku menggigit bibir, dadaku sesak seketika. Rasa-rasanya ada yang hancur lagi di dalam sana.

"Ge ...." Ia memanggilku dengan bibir bergetar. "Aku sudah minum obat dengan teratur. Tapi ... aku tetap merasa nggak baik-baik saja." Air matanya terus berjatuhan.

Dengan suara serak, ia kembali berujar lirih, "I feel ... broken inside."

Dan pada akhirnya, tangisku pun meledak. Aku menghambur ke arahnya, berlutut di hadapannya, lalu memeluknya erat. Kami bertangis-tangisan.

Demi Tuhan, jika ada yang mampu kulakukan untuk membuatnya merasa lebih baik, akan kulakukan.

Apapun.

***

Bersambung  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro